"Mbak jangan lupa ya titipannya Anin ke mas Pandu. Tanyain di tempatnya mas Pandu ada lowongan apa enggak ya.." Entah sudah berapa kali kalimat permintaan yang sama itu keluar dari mulut Anin.
"Iya.. Iya Nin.. Nanti mbak sampein ke mas Pandu. Mbak berangkat kerja dulu. Kalo mau keluar, jangan lupa kunci pintunya. Nanti mbak usahain pulang gak malam-malam" Setelah berpamintan dan memberikan pesan pada Anin, Vani berangkat ke kantornya. Tidak lebih dari lima langkah, Vani menghentikan langkahnya dan kembali ke kamarnya. Dia hanya ingin memastikan satu hal ke Anin.
"Nin, kamu ntar jadi ngelamar ke Persada Group?" Tanya Vani saat mendapati Anin yang sedang mempersiapkan berkas-berkas yang akan dibawanya.
"Jadi mbak. Nanti walk in interview. Doain ya mbak biar ketrima. Gak apa-apa jadi office girl, yang penting Anin bisa dapet duit. Syukur-syukur bisa ngirim ke bapak sama ibu" Ujar Anin mantab.
Vani lantas menganggukkan kepala beberapa kali. Dia paham mengapa Anin begitu kuat keinginannya untuk mendapatkan pekerjaan, apapun itu pekerjaannya. Dia sudah lulus dari kampusnya, otomatis beasiswa dan uang saku untuknya juga sudah selesai.
Vani mengeluarkan dompet dari tas ransel kecil yang ditaruh di depan. Dia mengeluarkan beberapa lembar uang dan lalu disorongkannya ke Anin.
"Ini, nanti buat kamu pake bus sama buat beli makan kalo walk in interview-nya sampe sore. Inget, jangan sampe maag kamu kambuh gara-gara gak makan siang" Sudah tentu Anin langsung mengambil dua lembar uang berwarna merah yang disorongkan di depannya. Wajahnya langsung sumringah sambil tentu saja mengucapkan terima kasih kepada Vani.
Selesai dengan itu semua, Vani kembali berangkat ke tempatnya bekerja.
"Jangan lupa nanti kabari mbak kalau ada apa-apa di jalan." Bahkan sebelum benar-benar berangkat kerja, Vani masih sempat untuk memberi pesan tambahan ke Anin.
Satu setengah jam kemudian, Anin sudah duduk rapi. Berjajar dengan beberapa pelamar yang sebelumnya datang. Tampilan mereka semuanya sama. Rapi, dengan make up yang sederhana dan berpakaian warna putih dengan bawahan hitam. Semuanya menampilkan senyum simpulnya, dan sangat jelas terlihat bagaimana mereka menginginkan pekerjaan ini.
"Ya Tuhan, sebenernya bukan ini yang Anin mau. Anin sekolah bukan buat jadi office girl seperti ini. Tuhan, tolong temuin dong ijasahnya Anin. Biar Anin bisa daftar kerjaan yang cocok sama sekolahnya Anin" Walaupun wajah memang menunjukkan senyum tapi jauh di hatinya, Anin sebenarnya cukup merasakan kekalutan dengan ijasahnya yang sekarang ini entah dimana.
"Tuhan, nanti kalo beneran ilang ijasahnya Anin, gimana ya Tuhan? Nanti kalo Anin pulang kampung trus ditanyain bapak ibu? Anin bingung harus jawab apa Tuhan" Anin terus saja bermonolog dalam hatinya. Kalau boleh jujur, dia sebenarnya tidak bisa fokus dengan walk in interview kali ini. Otaknya terus saja memikirkan bagaimana dia bisa menemukan kembali ijasahnya yang hilang itu. Banyak pikiran-pikiran buruk yang tiba-tiba saja masuk dan memenuhi isi otaknya.
"Saudara Anindita Wahyuningsih?" Sedikit tergagap, Anin segera berdiri waktu namanya dipanggil. Dia lalu mengikuti seseorang yang tadi memanggilnya. Sedikit memutar dari tempat lobby utama, tempatnya tadi dia menunggu bersama dengan yang lain dan sekarang dia tiba di salah satu ruangan. Seperti ruang rapat dengan ada tiga orang yang duduk di sana dan di depan mereka ada satu meja yang di atasnya sudah ada satu toples kopi, teh, gula dan beberapa gelas.
"Oke, silakan duduk ya." Lagi, Anin hanya bisa mengikuti arahan orang yang sedari tadi mengarahkannya.
"Saudara Anindita Wahyuningsih? Biasa dipanggil siapa?" Tanya seorang interviewer membuka sesi wawancara di siang hari itu. Selanjutnya, wawancara berlangsung sebagaimana layaknya wawancara untuk mencari seorang pekerja. Pertanyaan-pertanyaan yang standar seperti mengapa melamar di posisi tersebut, darimana mendapat informasi jika ada lowongan, sudah pernah bekerja atau belum, bersedia atau tidak jika harus lembur di kantor. Semua pertanyaan-pertanyaan itu bisa dengan lugas dijawab Anin.
"Gini ya mbak Anin, mbaknya ini kan mau melamar jadi office girl. Jadi mbaknya harus bisa bikin kopi, teh atau minuman lain yang mungkin diminta sama atasannya mbak Anin." Ucap salah satu interviewer.
"Oh, bisa kok pak. Kan setiap hari Anin juga bikin teh sama kopi. Jadi, ya gak masalah sih pak kalau hanya bikin teh atau kopi aja" Jawab Anin dengan rileks.
"Baik, jika seperti itu, di sebelah mbak Anin sudah ada mini pantry. Bisa tolong buatkan saya green tea. Saya mau yang tidak terlalu pekat teh hijau-nya"
"Dan untuk saya, buatkan saya long island coffee with ice"
Anin terdiam. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali. Benar, jika dia setiap pagi membuat kopi atau teh, tapi kopi yang biasa dia buat hanyalah kopi sachet yang hanya bermodal air panas saja. Teh yang biasa dia nikmati juga tidak lebih dari teh celup yang hanya diseduh dengan air panas dan kemudian ditambah gula atau madu.
Dengan langkah sedikit ragu, Anin menghampiri mini pantry. Matanya lalu menyisir beberapa jenis toples yang ada di atasnya. Entah, apa itu, Anin juga tidak tahu.
"Kalo namanya green tea kan harusnya warnanya hijau ya, tapi kok ini sama semua warna daun tehnya. Duh, gak pernah seduh daun teh langsungan gini pula." Anin masih terus membatin karena memang dia tidak tahu bagaimana harus membuat teh hijau dan kopi sesuai dengan permintaan interviewer tadi.
Melihat Anin yang kebingungan, lantas seorang dari interviewer lantas berucap: "Bagaiamana mbak Anin, bisa tidak?"
"Pak, tadi kan mintanya green tea. Ini kok gak ada yang warnanya hijau ya pak? Trus itu kopinya kok masih bijian?" Sontak saja petanyaan lugu dari Anin membuat ketiga interviewer langsung tersenyum.
"Tadi katanya udah biasa bikin teh atau kopi?" Tanya balik salah satu interviewer.
"Hm.. Saya biasanya bikin kopi sachet aja pak. Kalau teh, biasanya juga hanya pakai teh celup. Kalau itu kan bikinnya gampang pak." Kembali, jawaban polos dan apa adanya membuat tiga orang interviewer tersenyum. Kali ini senyum mereka bahkan lebih lebar dari sebelumnya.
"Oke mbak Anin, sepertinya sesi wawancara siang ini udah selesai. Nanti akan kami hubungi kembali jika memang kualifikasi mbak Anin memang memenuhi apa yang kami cari." Ujar salah satu dari mereka.
Mendengar itu, Anin lalu tersenyum. Dia menunduk sedikit, menunjukkan hormat dan terima kasih kepada ketiga orang di depannya. Segera, Anin berjalan meninggalkan ruang wawancara. Setelah semua sesi wawancara dia lalui, sejujurnya dia pesimis untuk bisa diterima bekerja di perusahaan ini. Tapi itu semua tidak membuat Anin melunturkan semangatnya. Di benaknya, dia berencana akan mencari lagi lowongan pekerjaan lainnya. Tidak masalah jika harus capek, yang penting dia bisa kerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
High Quality Office Girl
RomanceKehilangan sesuatu yang penting membuat hidup seorang Anindita Wahyuningsih menjadi jungkir balik. Anin, demikian dia biasa disapa, bahkan harus menjadi seorang office girl walaupun dia seorang lulusan sarjana bisnis. Namun, Anin tetap bersyukur unt...