Seminggu berlalu dari hari itu. Anin tidak berhenti untuk kembali melamar di perusahaan-perusahaan lainnya. Berbagai macam posisi pekerjaan yang hanya mensyaratkan ijasah setingkat SMA sudah dia coba semuanya. Seminggu itu pula Anin masih juga mencari ijasahnya. Namun masih juga tidak ketemu. Hal itu semakin membuatnya pasrah dan bahkan menganggap bahwa ini semua adalah takdirnya. Takdir bahwa dia gagal untuk mencapai impiannya. Dia memang berhasil lulus namun tidak ada satu informasi legal yang bisa membuktikan bahwa dia telah lulus dari kuliahnya.
"Kamu itu ngapain? Dari tadi mbak liat mulut manyun terus. Pengen mbak kuncir itu mulut" Vani yang baru saja pulang kerja mendapati Anin yang terus saja memanyunkan bibirnya tanda kalau dia sedang kesal.
"Belum ada panggilan wawancara lagi mbak. Ini udah semingguan kan dari yang wawancara di Persada...." Belum selesai Anin berucap Vani langsung memotong ucapan Anin,
"Ya gimana mau dipanggil lagi? Suruh bikin kopi sama bikin teh aja kamu gak bisa?" Vani merasa gemas dengan Anin. Dia baru dua minggu lalu lulus dan sekarang sudah bingung. Banyak orang yang bahkan sudah menganggur setahun lebih, tapi tidak terlihat putus asa seperti Anin.
"Ihh.. Mbak Vani kok ngingetin itu sih. Kan malu mbak kalo inget lagi soal itu. Mana bapak-bapak yang wawancara itu bilangnya sinis gitu" Merasa Vani sedang mengejeknya, Anin malah lebih memanyunkan bibirnya. Anin adalah sosok yang perfectionist yang tidak membiarkan dirinya berbuat kesalahan, maka saat kemarin dia ditanya apakah dia bisa membuat kopi atau teh, tapi saat diminta praktek dia tidak bisa menunjukkannya, dia merasa gagal.
"Lagian kamu ini juga aneh, Nin. Kamu itu disuruh bikin minuman buat bos-bos di sana. Bukan buat kamu. Mana bisa mereka minum kopi sachet atau teh celup yang biasa kita minum. Mules perut mereka minum minuman kita"
Anin semakin merajuk. Bukan hanya bibirnya yang sudah maju beberapa senti tapi kakinya juga di hentak-hentakkan. Melihat itu, Vani hanya tersenyum ringan dan kemudian dia duduk dan menyamakan posisinya dengan Anin.
"Mbak Vani udah nanyain belum ke mas Pandu? Ada gak lowongan di tempatnya mas Pandu kerja?" Seolah ingat kalau Anin pernah menitip pesan ke Vani. Pandu sendiri adalah pacar Vani. Sama seperti Vani, Pandu juga sudah menganggap Anin adalah adiknya sendiri.
Vani hanya mengangguk kecil beberapa kali. Menandakan jika dia memang sudah melakukan pesanan Anin. Lantas dia menyahut "Udah. Udah mbak sampein ke mas Pandu. Kalo mas Pandu bilang sih, jangan di tempatnya. Perusahaan tempat mas Pandu kerja kan start up. Emang sih gajinya gedhe, tapi risiko buat tutup juga gedhe"
Sekarang, gantian Anin yang menganggukkan kepalanya. Dia paham jika mencari pekerjaan juga tidak bakalan mudah.
"Sebenernya gak apa-apa sih mbak. Buat Anin sekarang, yang penting dapat kerja dulu. Misal nih, kalau ntar gak cocok di tempat kerja, kan Anin bisa resign. Biar kalo nulis cv gak kosong gitu riwayat kerjanya. Kemarin juga bingung pas ditanyain sekolah ngapain aja?"
Obrolan mereka terhenti sejenak saat lampu notifikasi ponsel Anin bekedip beberapa kali menandakan jika ada panggilan masuk. Sedikit mengernyitkan mata karena nomer yang tertera di layar ponselnya tidak dia kenal, tapi Anin memutuskan untuk menjawab panggilan telepon itu.
"Halo selamat sore"
"Selamat sore. Apa betul ini dengan saudari Anindita Wahyuningsih?" Suara seorang lelaki dari seberang dengan nada bicara yang resmi segera masuk ke ruang dengar Anin.
"Dengan saya. Ini siapa ya?"
"Perkenalkan, saya Deni dari Persada Group. Setelah melalui beberapa pertimbangan, kami memutuskan untuk menerima saudari sesuai dengan lamaran yang sudah masuk ke kami dan sesuai dengan hasil walk in interview minggu kemarin." Saat mendengar kalau orang yang menelponnya adalah perusahaan tempatnya wawancara kemarin, Anin langsung membolakan matanya. Apalagi saat penelpon tadi mengatakan jika dia diterima bekerja di tempat itu.
"Lho, saya diterima ya pak?" Setelah kejadian dimana dia tidak bisa membuat kopi dan teh, Anin sudah tidak berharap apapun. Jadi, jika sekarang dia menerima kabar jika dia diterima, tentu sangat wajar jika Anin menjadi kaget dan sangat senang.
"Iya, mbaknya diterima. Jadi, apakah mbak Anindita akan menerima tawaran pekerjaan ini atau tidak?"
"Oh, iya pak. Saya terima. Lalu ini saya harus bagaimana ya?" Buru-buru Anin menyobek kertas asal saja dan bersiap mencatat semua hal yang harus dia lakukan untuk besok. Dia tidak mau melewatkan satupun informasi.
"Baik, jika demikian, silakan besok bisa datang ke kantor kami untuk penjelasan lebih lanjutnya. Kami tunggu setelah jam makan siang. Nanti langsung saja bilang ke resepsionis untuk ke HRD"
Setelah menyelesaikan percakapan mereka, Anin lalu menutup telponnya. Dengan mata yang berbinar senang dia dengan spontan memeluk Vani. Bahkan dia tidak sadar jika beberapa bulir air mata lolos dari matanya. Anin terlalu gembira saat ini.
"Akhirnya mbak... Aku ketrima juga kerja juga. Gak jadi pengangguran lagi mbak mulai besok! Anin gak jadi beban buat bapak ibu lagi! Anin seneng mbak.." Anin berucap dengan nada bicara yang sedikit bergetar. Sangat terlihat dia ingin menangis gembira sewaktu menerima kabar gembira itu.
Walaupun ada kelegaan dan kegembiraan setelah menerima telpon tadi, tapi ada sedikit sesak di hati Vani mendengar apa yang dikatakan Anin. Vani sangat tahu jika pekerjaan ini bukan yang diinginkan Anin. Dia berhak untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Pekerjaan yang memang sesuai dengan bidang dan pendidikanya. Hanya saja, kehilangan ijasah mengacaukan semuanya.
"Wah.. Selamat ya Nin.." Ucap singkat Vani sambil tangannya mengelus punggung Anin pelan. Mencoba untuk menyalurkan kekuatan pada Anin.
"Gak apa-apa ya mbak kalo Anin kerjanya cuman office girl. Anin janji, kalo ijasahnya Anin udah ketemu, Anin bakalan cari kerja lagi. Kerjaan yang cocok sama ijasahnya Anin"
Vani membiarkan Anin yang masih terus memeluknya. Dia tahu Anin sangat membutuhkan pekerjaan ini. Diterima di pekerjaan itu tentu sangat melegakan untuk Anin.
Malam ini sepertinya Anin bisa tidur dengan lebih nyenyak. Hari-hari sebelumnya, Anin seperti tidak bisa tidur dengan nyenyak. Selalu saja terbangun di tengah malam atau pagi dini hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
High Quality Office Girl
RomanceKehilangan sesuatu yang penting membuat hidup seorang Anindita Wahyuningsih menjadi jungkir balik. Anin, demikian dia biasa disapa, bahkan harus menjadi seorang office girl walaupun dia seorang lulusan sarjana bisnis. Namun, Anin tetap bersyukur unt...