Another Way: 9

101 8 0
                                    

Matanya perlahan terbuka, disambut dengan langit yang sudah ditemani matahar meski malu-malu. Ntah sudah jam berapa sekarang, tetapi rasanya dia sudah tidur terlalu lama. Nindya melirik jam di sampingnya, sudah hampir pukul lima pagi dan dia menyadari bahwa dia masih pada posisinya yang semalam. Tertidur di atas lengan Galen.

              Dia tersenyum, perasaan bahagia seketika memenuhi isi hatinya. Semalam dia banyak bercerita dengan Galen. Walau tidak ada yang benar-benar berarti, tetapi dia senang, dia seperti melihat sisi lain pria itu. Galen masih tertidur di sampingnya, dengan raut wajahnya yang tenang seperti biasa. Seolah pria itu tidak tau bagaimana menggunakan emosinya saking tenangnya wajah pria itu kala tertidur seperi ini.

              Nindya turun dari ranjang, dia masih sama seperti semalam, hanya bra yang tertinggal di tubuhnya, menuruti permintaan Galen. Dia masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan dirinya lebih dulu, sebelum melakukan kegiatannya pagi ini. Dia ada kuliah siang nanti, dia tidak ingin pergi sebenarnya, tidak ingin meninggalkan Galen, dia masih ingin berada di sisi pria itu. Tapi mata kuliahnya ini juga penting, dia tidak bisa seenaknya absen di kelas.

              Begitu selesai dan dia sudah keluar hendak mengambil air di luar, ketiga pegawai Galen yang lain juga sudah di sana, sedang melakukan kegiatan mereka masing-masing yang segera berbalik ketika melihat kedatangannya.

              "Gimana keadaan Bapak?" tanya Bi Lila cepat.

              "Masih seperti kemarin Bi."

              "Bapak sudah bangun belum? Saatnya sarapan sekalian minum obat." Kata Bi Lila lagi. Setelah mengenal dan bekerja dengan Galen selama ini, dia sudah menganggap pria itu sebagai anaknya juga. Meski Galen tidak pernah bertingkah seolah mereka dekat seperti keluarga, tetapi ntah bagaimana Bi Lila bisa merasakan itu.

              Pria dengan tampang yang selalu serius itu dia yakini mempunyai hati yang baik.

              "Kalau gitu kamu ajalah yang anterin sarapan buat Bapak." Ujar Sena, dia memberikan nampan berisi mangkuk dan gelas kepada Nindya.

              "Kamu bisa ganti perban?" tambah Sena lagi, dia menatap perempuan itu meminta jawaban.

              Nindya mengangguk cepat. "Bisa. Semalam saya yang gantiin perbannya Mas Galen,"

              Sena mengangguk mengerti begitu mendengarnya, kalau begitu tidak ada lagi yang harus dia khawatirkan. "Iya baguslah kalau begitu. Sekalian gantikan perbannya Bapak setelah mandi." Pria itu menambahkan sebuah kotak berisi alat medis yang semalam ia beli karena melihat yang kemarin sudah hampir habis.

              Nindya setuju atas tugas yang diberikan kepadanya. Dia lalu berpamitan kepada orang-orang yang ada di sana untuk kembali ke kamar, menemui Galen yang belum keluar sampai sekarang. Ntah pria itu sudah bangun atau belum. Dia masuk ke dalam kamar begitu Pak Manik membukakan pintu dengan sigap sehingga dia tidak perlu repot karena dua tangannya memegang nampan.

              Matanya mendapati Galen yang sudah terbangun, pria itu duduk di pinggiran ranjang. Mereka saling melempar senyum. Nindya mendekat padanya, meletakkan nampan yang tadi dia bawa di atas nakas. Tangannya terjulur menyentuh dahi Galen, meski dia tahu Galen tidak demam tapi dia hanya ingin melakukan itu. Tanpa alasan.

              Galen menatapnya penuh tanya atas perlakuan perempuan itu. "Saya nggak demam Nindya." Ucapnya lalu meraih pergelangan tangan perempuan itu.

              "Aku cuman mau periksa aja Mas, takutnya Mas demam pengaruh lukanya, kan." Kata Nindya menjelaskan maksudnya.

              "Saya nggak apa-apa, Nindya. Saya lebih tersiksa karena mau kamu."

IF ONLY WE MET IN ANOTHER WAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang