Another Way: 14

126 7 0
                                    

Rambutnya yang sedikit kecokelatan masuk ke dalam sela-sela jaring sisir yang dipegang Citra, membelahnya hingga sampai pada pangkal rambutnya. Dia baru saja pulang ke rumah setelah berapa hari ini terus terkungkung bersama pria itu. Dan setelah mandi yang dia lakukan, Citra tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya dan menawarkan diri untuk menyisir rambutnya.

              "Rambut kamu halus banget, Nak." Ucap Citra terkagum dengan betapa indahnya putri sematawangnya ini.

              "Turunan dari Ibu."

              Citra terkekeh, meski mungkin benar, tapi dia tidak langsung mengakuinya. Nindya memang jauh lebih sempurna dibanding dia. Putrinya itu punya alis yang tebal dengan bentuk yang indah, seperti diukir dengan sangat teliti. Hidungnya memang tidak begitu tinggi, namun kecil, bentuknya terlihat sangat pas di wajah putrinya itu. Dia merasa bahwa Tuhan menciptakan putrinya disaat yang begitu indah hingga lahirnya seorang anak yang begitu sempurna seperti ini.

              "Gimana kuliah mu, Nak?" tanya Citra lagi, dia mengeringkan rambut panjang putrinya dengan handuk abu-abu.

              "Lancar kok Bu. Ibu gimana kondisinya? Obatnya nggak pernah lupa diminum, kan?"

              Citra mengangguk meski tahu bahwa putrinya tidak melihatnya. "Iya Ibu selalu minum kok. Rugi dong kamu udah capek-capek kerja buat Ibu berobat tapi malah nggak diminum obatnya."

              Nindya mengangguk mengerti. Bibirnya tersenyum mendengar apa yang ibunya katakan. Dia sangat senang jika memang dia berguna seperti apa yang dia harapkan. "Baguslah kalau begitu, Bu."

              "Nindya..."

              Anak perempuan itu menoleh, dia menaikkan kedua alisnya. "Kenapa, Bu?"

              "Kamu masih belum mau bilang ke Ibu kamu kerja apa? Kenapa sampai nggak pulang berhari-hari?" ungkap Citra, dia berharap semoga pertanyaannya kali ini bisa mendapat jawaban.

              Nindya membalas tatapan ibunya. Butuh beberapa waktu sampai dia bisa mengeluarkan suaranya. "Aku kerja ikut sama orang Bu. Semacam asisten pribadi, jadi mesti ikut dia kemana-mana Bu. Emang lumayan capek kerjanya karena jadwal dia padat, tapi yah gajinya cukup Bu." Jawab Nindya setelah seluruh rangkaian kebohongan berhasil tercetus di kepalanya.

              Citra menyipitkan matanya, dia terdiam sebentar berusaha mencerna kalimat yang putrinya sampaikan. Memang terdengar sangat masuk akal. Tapi jika itu yang Nindya kerjakan, mengapa anaknya itu baru mau mengungkapkannya sekarang? Mengapa Nindya tidak mau jujur sejak kemarin-kemarin?

               "Kamu beneran kerja itu? Siapa orang yang kamu maksud?"

               "Ada Bu. Semacam artis tapi bukan yang di TV."

              Citra mencoba mencernanya lagi.

               "Kenap sih Bu, kok tiba-tiba nanyain itu lagi?"

               "Nggak ada apa-apa sih, Ibu dari dulu emang udah penasaran kamu sebenarnya kerja apa kok bisa dapat uang banyak begitu."

              Nindya menatap ibunya lagi, dia menarik senyum di bibirnya. "Ibu harus berhenti pikirin itu deh. Yang harus Ibu pikirin itu gimana supaya bisa cepet sembuhnya."

               "Ibu kayaknya bisa sembuh kalau kamu sudah ditempat yang aman, Nak. Sudah punya seseorang yang bisa menjaga kamu, yang bisa menyayangi kamu. Ibu akan tenang."

               "Ini juga nih, Ibu harus berhenti mikirin iniiiii. Aku kan punya Ibu dan Ibu punya aku. Kayaknya kita nggak perlu orang lain lagi Bu."

IF ONLY WE MET IN ANOTHER WAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang