Another Way: 5 (21+)

173 10 0
                                    

              Nindya merasa ada yang aneh dengan dirinya hari ini. Kepalanya sakit sekali dengan hidung yang tersumbat disertai dengan bersin yang tidak kunjung henti, dia sudah tidak bisa menghitung berapa banyak tisu yang dia gunakan untuk menghalau ingusnya yang tidak habis-habis. Seharian ini dia hanya bergelung di kasurnya, tidak berminat untuk melakukan apa-apa. Ibunya hanya masuk sebentar, memberinya obat untuk dia minum agar flu yang menyerangnya bisa mereda.

Dia juga tidak nafsu untuk makan sama sekali, makanan yang Citra siapkan untuknya tidak tersentuh. Bahkan ketika hari sudah mulai gelap, matahari perlahan menghilang untuk menerangi bagian bumi yang lain, tubuhnya masih belum juga membaik. Setidaknya dia hanya ingin berhenti bersin-bersin saja.

Aroma dari bubur ayam yang ibunya buatkan tercium tipis-tipis. Tapi tetap saja masih belum berselera, lagi pula indera pengecapnya pasti tidak berfungsi sekarang. Makan pun hanya akan berasa hambar. Lebih baik dia tidak makan sekalian, toh, perutnya belum mengeluh juga. Dia masih merasa aman.

Nindya baru saja terpikirkan Galen, sejak kemarin pria itu tidak pernah menghubunginya. Mungkin Galen terlalu sibuk. Tapi baguslah, karena dengan kondisinya yang seperti ini, dia rasanya tidak mampu untuk meladeni segala ketidak stabilan emosi pria itu.

Nindya bersyukur karena Galen menghilang disaat yang tepat.

Ketukan dari pintu kamarnya segera menoleh, "masuk, Bu." Jawabnya dengan suara parau. Bahkan untuk mengeluarkan suaranya dia kesusahan.

Begitu masuk ke dalam kamar putrinya, Citra menggeleng melihat mangkuk bubur yang tadi dia antarkan masih sama seperti tadi. Nindya tidak menyentuhnya sama sekali. "Kamu ini gimana mau sembuh kalau nggak makan sih, Nak?" kata Citra terdengar kesal.

"Nanti aku makan Bu, belum selera aja sekarang." Jawab Nindya seadanya.

Citra terdengar menghela nafasnya, tangannya terjulur untuk menyentuh dahi putrinya yang terasa hangat. Dia sudah bisa menebak kemana ujung dari flu yang sejak kemarin dialami Nindya. Ini semua pertanda akan demam. "Kamu ini sebenarnya kerja apa sih? Kamu kayaknya kecapean, jangan maksa diri kamu terlalu keras, Nak."

Nindya menggeleng pelan yang seketika membuat kepalanya semakin sakit. "Nggak kok, Bu. Emang lagi rentan aja cuaca ini," kilahnya. Tetapi dia pun sebenarnya mengapa dia tiba-tiba terserang flu. Saat bangun pagi tadi, kepalanya terasa berat dan hidungnya gatal yang berakhir bersin-bersin tiada henti.

Saat Nindya sedang menutup matanya, menikmati elusan lembut di kepalanya, dia terkejut karena bunyi dari ponselnya membuat keduanya segera menoleh pada asal suara, pada benda kecil yang tergeletak tidak jauh darinya. Awalnya Nindya tidak mempedulikannya, mengira itu hanya pesan dari teman atau mungkin pesan grup yang sungguh tidak penting.

Tetapi ketika tidak lama pesan itu berubah menjadi panggilan suara, dia tahu bahwa orang yang menelfonnya adalah orang yang sama sekali tidak punya kesabaran itu.

"Siapa?" tanya Citra ketika melihat putrinya yang segera bangkit, mengambil ponsel di meja kecil samping ranjang.

Nindya meletakkan telunjuk di depan bibirnya. "Ini bos aku, Ibu boleh keluar dulu?" pintanya yang segera diangguki oleh Citra, wanita itu berdiri lalu keluar dari sana seperti permintaan putrinya.

Sedetik setelah ponsel itu menyentuh daun telinganya, helaan nafas kesal dari pria itu langsung terdengar. "Kemana aja kamu?" suara kekesalan Galen terdengar jelas.

"Aku di rumah Mas, sama Ibu." Jawabnya dengan suara berat.

"Kamu sakit?" tanya Galen cepat bahkan sebelum Nindya menyelesaikan kalimatnya. Dari suara perempuan itu yang sangat berbeda, tentu dia tahu ada yang salah di sana.

IF ONLY WE MET IN ANOTHER WAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang