Another Way: 1 (21+)

681 13 0
                                    

Hujan yang turun sore ini membuat langit gelap lebih cepat. Matahari sudah menghilang sejak tadi, meninggalkan bumi dengan cahaya yang tidak seberapa. Langit abu-abu itu menangis, menjatuhkan air matanya dalam bentuk tetesan kecil yang orang sebut gerimis. Hujan lebat sudah lewat, menyisahkan gerimis kecil yang akhirnya bisa Nindya tembus.

                Dia harusnya berangkat dari tadi, kuliahnya bahkan sudah selesai berapa jam yang lalu. Namun karena hujan yang begitu deras dengan angin bertiup kencang, dia tidak bisa kemana-mana dan hanya terdiam di sebuah halte tempatnya singgah agar tidak kebasahan. Dia tau bahwa dia telah melakukan kesalahan besar dengan datang terlambat ke sebuah tempat yang harusnya dia datangi sejak tadi. Dan dia tahu bahwa dia tidak akan baik-baik saja setelah ini.

                Ponselnya sudah mati kehabisan daya dan dia tidak menemukan tempat untuk bisa mengisi dayanya. Yang bisa dia lakukan adalah berharap serta terus memanjatkan doa agar pemilik dari tempat yang akan dia datangi itu belum tiba sama seperti dirinya. Nindya bergerak gelisah di dalam bus yang dia naiki, meski dia duduk di sana bersama beberapa orang lainnya, dia sama sekali tidak merasa aman. Karena dia tahu nasibnya tidak akan baik-baik saja.

                Bus itu berhenti di pemberhentian yang Nindya tuju. Dia segera turun, dengan ransel berisi beberapa keperluan kelasnya tadi masih menempel di punggungnya dia segera berlari sekuat dan secepat yang dia bisa. Langkahnya dengan terburu-buru menuruni beberapa anak tangga yang mengeliling, di kanan dan kirinya banyak tumbuhan dengan berbagai jenis yang Nindya tidak tau apa namun di matanya semuanya terlihat indah. Tapi untuk kali ini dia tidak peduli dengan itu.

                Nindya menekan deretan angka yang sudah dihafalnya sejak satu tahun terakhir. Dengan rambut dan tubuhnya yang sedikit basah, dia melangkah masuk lalu ketika matanya akhirnya menangkap seorang pria yang duduk menyilangkan kaki sembari bersandar di sofa, dia sontak menutup matanya. Tuhan lagi-lagi tidak mengabulkan doanya.

                "Kurang jelas apa yang tadi saya bilang?" suara pria itu masuk ke dalam telingnya. Sangat tajam sampai Nindya merasa getir di dalam dadanya.

                "Hujan Mas, nggak ada bus sama sekali." Ucapnya berusaha untuk membela diri dan apa yang dia ungkapkan memang sesuai dengan apa yang terjadi padanya tadi.

                Pria itu berdiri, kameja putihnya sudah tampak kusut menandakan bahwa pria itu sudah tiba sejak tadi dan artinya kesalahn Nindya semakin besar. Langkahnya mendekat pada perempuan yang berdiri tak jauh darinya dengan kepala menunduk, satu senyum tertarik di ujung bibirnya. Tangannya terangkat untuk menyentuh dagu perempuan itu, membuatnya mendongakkan kepala untuk mempertemukan tatapan mereka.

                "Kamu tau saya tidak peduli itu kan, Anindya?" sekali lagi Nindya merutuki dirinya sendiri, seharusnya dia memang menerjang hujan saja, peduli setan dengan tubuhnya yang akan basah kuyub karena dia seharusnya sudah tahu dengan ini. Bahwa Galen tidak akan peduli dengan alasannya, apa pun itu. Yang Galen tahu hanya dia terlambat berarti dia bersalah.

                "Maaf Mas," ucapnya. Dia tidak punya hak untuk membela diri lagi. Jalan yang paling mungkin dia lakukan hanyalah meminta maaf. Sembari tetap berdoa agar Galen bisa bermurah hati kepadanya kali ini.

                Tangan besar itu menyentuh lehernya, bertingkah seolah sedang mencekiknya walau Galen melakukannya tanpa tenaga. Mata mereka kembali bertemu saat tadi Nindya lagi-lagi menundukkan pandangannya. "Saya suruh kamu ada di sini sebelum saya ada. Bukan saya yang malah nungguin kamu. Tolol!" bentaknya keras. Tangannya yang tadi hanya berada di leher perempuan itu kini mengerat dengan perlahan, membuat syaraf-syaraf di leher Nindya terasa terjepit dan dia mulai merasakan sakit.

IF ONLY WE MET IN ANOTHER WAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang