Another Way: 11

109 7 0
                                    

Nindya menenteng sebuah rantang berisi makanan yang dia ambil dari rumah Galen ketika pria itu telah berangkat tanpa menyentuh sedikit pun masakannya. Ntahalah apa yang terjadi dengan Galen pagi ini, pria itu tampak sangat kalut, dengan alasan yang tidak Nindya ketahui.

              Tapi baguslah, setidaknya dia bisa membawakan makanan itu untuk Ibunya. Dengan senyum yang merekah di bibirnya, Nindya membuka pintu rumah setelah memberi salam. Dia mendapati Citra yang sedang menjemur pakaian, wanita itu baru saja selesai mencuci sepertinya.

              "Bawa apa kamu, Nak?" tanya wanita itu, yang segera mendekat kepada putrinya yang baru pulang setelah lagi-lagi tidak terlihat selama dua hari.

              "Makanan Bu, tempat kerja ku hari ini ngasih banyak. Ada beberapa bahan makanan juga buat di rumah." Jawabnya lalu berjalan masuk ke dalam rumah bersama Citra yang akan melanjutkan jemurnya nanti.

              Nindya meletakkan rantang dan kantongan di atas meja makan kecil mereka. Ada beberapa lauk makanan semalam yang tidak habis lalu dia masukkan ke dalam kulkas, yang kemudian paginya dia bungkus untuk dia bawa pulang ke rumah karena dia sudah sangat paham bahwa Galen tentu tidak akan sudi memakannya lagi. Pria itu hanya suka makanan yang baru dimasak saat itu juga.

              "Banyak banget makanannya Nak, atasan kamu emang bolehin diambil begini?" ucap Citra yang baru saja duduk di kursi, dia menatap putrinya bingung bagaimana bisa Nindya selalu membawa pulang makanan sebanyak ini setiap kali pulang.

              Nindya menatap ibunya, dia tersenyum tipis. "Iya dong Bu, kalau nggak dibolehin tentu aku nggak ambil."

              "Iya juga yah. Berarti atasan kamu baik banget, salamin Ibu yah, Nindy."

              "Iya Bu, nanti Nindy sampein. Ibu udah makan?" tanya Nindya, dia menatap ibunya, menunggu sebuah jawaban dari wanita itu.

              Ini sudah hampir pukul satu siang dan jika dilihat dari meja makan yang kosong melompong begini sepertinya ibunya memang belum makan. Lalu ketika melihat wanita itu menggeleng pelan, Nindya seketika menghela nafasnya. Dia selalu menyediakan beberapa lauk di kulkas, serta dia juga memberi uang kepada ibunya. Memang tidak banyak, namun masih cukup untuk wanita itu membeli makanan.

              "Ibu kenapa belum makan sih? Gimana mau minum obat kalau Ibu nggak makan siang begini?" ujar Nindya dengan kesal, dia menghela nafasnya sekali lagi.

              "Ibu baru mau makan Nak, abis jemur pakaian selesai, Ibu langsung mau makan kok."

              Nindya memilih untuk tidak menanggapi, dia hanya menatap ibunya sebentar lalu mengalihkan pandangannya, dia memasukkan beberapa barang ke dalam kulkas serta memindahkannya beberapa ke piring agar ia dan ibunya bisa makan siang bersama.

              "Gimana kondisi Ibu? Besok mau ke rumah sakit lagi, kan?" tanya Nindya setelah berhasil memasukkan satu sendok nasi ke dalam mulutnya. Dia sedang makan bersama ibunya. Sebuah makan siang sederhana yang selalu membuatnya merasa senang.

              "Ibu sudah sehat, Nak. Kayaknya kita nggak usah ke rumah sakit lagi. Gimana kalau uangnya buat kamu kuliah aja, kurangi lah kerjamu, nanti kamu sakit, Nak." Ucapnya lembut, dia menatap putrinya dengan mata berkaca. Dia sedih melihat bagaimana putrinya harus menjadi tulang punggung keluarga diusia semuda ini.

              Nindya buru-buru menggeleng, dia tentu tidak setuju dengan apa yang ibunya sampaikan. "Bu, Ibu nggak usah pikirin Nindy. Aku baik-baik aja, aku masih bisa kuliah sekarang, bisa ngobatin ibu dan bantu ayah. Aku sama sekali nggak masalah. Aku nggak sakit. Justru kalau aku nggak bisa bantu kalian, itu yang bikin aku lebih sakit, Bu." Nindya menghela nafasnya panjang, jauh dari lubuk hatinya, dia memang tidak mempermasalahkan ini.

IF ONLY WE MET IN ANOTHER WAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang