- ❤️ -

138 20 131
                                    
















Selamat Membaca ❤️



















Ini,” seorang perempuan bersnelli putih bersih menyerahkan segelas kopi yang ia seduh dari pantri kantin rumah sakit.

Thanks, Ghea,” ucap laki-laki berjas putih yang baru saja mendapat panas dari rekan kerja, sekaligus teman sekolahnya dulu.

Pria itu tersenyum tipis menyambut cangkir berisi kopi pahit untuknya. Kebetulan dirinya sudah makan siang, dan betapa beruntungnya ia karena ia dapat menikmati pemandangan kota dari lantai sepuluh tempat ia bekerja.

Rambut ikalnya yang sedikit panjang membuatnya terlihat sangat tampan dan menjadi pujaan pasien perempuan. Belum lagi petugas medis perempuan yang suka mencari perhatian padanya. Sayang, ia tidak tertarik pada mereka.

Entah kenapa ia lupa caranya jatuh cinta seperti apa. Hatinya sudah terkunci untuk satu orang yang benar-benar membuatnya tidak ingin jatuh cinta pada siapapun. Ia bahkan tidak pernah berjanji untuk menjadi laki-laki setia untuk seseorang itu, tapi hatinya memilih untuk tidak terbuka pada siapapun yang berusaha masuk.

“Masih mikirin dia?” senyum Ghea terukir. Tangannya yang tak memegang gelas kopi, bertumpu pada meja makan berbahan stainless steel.

Suasana kantin tampak sepi, begitupula hatinya. Kejadian itu sudah sangat lama, tapi begitu membekas dalam ingatannya. Gadis itu... Benar-benar membuatnya merasa bahwa masa SMA adalah masa yang paling indah, sekaligus masa yang paling menyakitkan.

“Bohong kalo gue bilang gak mikirin dia. Saking mikirin dia, gue sampe mutusin pacar-pacar gue karena gak bisa kayak dia,” lelaki itu mendengus kecil. Tersenyum dengan hati yang bimbang. Ia ingin menjalin hubungan serius dengan orang lain, tapi entah kenapa ia masih teringat bayang-bayang gadis itu. Entah mantra apa, atau kutukan apa yang ia dapat. Hatinya selalu tertuju pada satu orang gadis yang tidak tahu kabarnya seperti apa. Ia juga tidak tahu orang itu masih itu hidup atau tidak. Tidak satupun orang yang tahu karena gadis itu pergi tanpa berpamitan.

Ghea menepuk pundak lelaki berjas putih itu, mencoba untuk menenangkannya. “Jangan terlalu dipikirin, entar kasian hati Lo.”

“Lo juga pasti mikirin dia kan makanya ngambil kardiolog,” tuduh lelaki itu.

Ghea tertawa kecil. “Gak juga. Spesialis jantung dan pembuluh darah bikin gue tertarik. Nah, Elo? Ngapain ngambil BKTV? Ngarep ketemu dia kalo jantungnya mau dibedah?”

Lelaki berhidung mancung itu tergelak. “Ya enggaklah. Gue juga gak tau dia masih ada apa enggak di dunia ini.”

Hening.

Keduanya terdiam dengan pikiran masing-masing.

“Dia masih hidup. Gue yakin. Cuma kita gak tau aja dia dimana sekarang,” cetus Ghea.

Hening kembali menyergap.

Mereka memandang gedung-gedung yang ada di depan mata di balik dinding kaca yang tebal sambil menyesap kopi. Memikirkan segala hal yang mungkin seru untuk dipikirkan dalam kepala untuk mengusir banyaknya beban pikiran.

Ghea menoleh. “Nikah, Bas. Keburu jadi bujang lapuk entar berabe.”

“Iya bawel Lo, ah. Kayak Zahra sama si Jamal.”

“Gak kayak si ehem?” tanya Ghea tanpa menyebutkan namanya. Sudah rahasia umum kalau ehem yang dimaksud adalah gadis yang pernah mengisi hari-hari Baskara sebelum akhirnya pergi menghilang bagai ditelan bumi. Tidak ada satupun teman-teman mereka yang tahu kabarnya.

3. J - ✓ Jangan Baper, Ya!™Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang