02. Pelukan Hangat

295 19 0
                                    

"Ayo maju! Kita tidak bisa terus mundur seperti keledai," ucap sang panglima perang.

Dengan sisa kekuatannya dia menunggangi kudanya sembari mempersiapkan pedangnya yang tajam. Targetnya kini adalah sang pemimpin pasukan, seorang Duke yang terkenal dengan keangkuhannya dan kekejamannya.

Tanpa ragu dia mengayunkan pedangnya ke arah dadanya, namun dengan cepat sang Duke menahan pedang itu dengan tangannya dan menghempaskan pedang itu sehingga panglima perang terjatuh dari kudanya dengan keadaan mengenaskan.

Karena kesalahan yang fatal kini pasukan mereka harus berlutut di hadapan musuh. Duke itu tersenyum, dia mendekati panglima dan berjongkok di hadapannya yang tengah terkapar tak berdaya.

"Sudah kubilang, lebih baik kau menyerah dan bergabung dengan wilayahku, mungkin kau tidak akan kehilangan tanganmu yang berharga," ucapnya dengan senyum yang mengerikan.

"Tidak!" Dia membantah dengan tegas meskipun setelahnya dia terbatuk dan mengeluarkan darah.

"Sudah cukup, sekali lagi kau berbicara nyawamu akan segera di cabut oleh malaikat."

"Aku tak peduli ... Uhuk... Uhuk... meskipun aku mati, setidaknya keindahan surgalah yang menantikanku-"

Duke segera menancapkan belati pada dadanya, seketika panglima itu menghembuskan napas terakhirnya.

"Kau pikir manusia kotor sepertimu akan masuk ke dalam surga? Tidak sialan! Kau akan kukirim ke neraka!"

Para ksatria yang tersisa menatap takut dan kasihan secara bersamaan. Kapten yang memimpin mereka harus merenggut nyawa dengan cara yang begitu keji. Mereka pikir rumor Duke yang berhasil membunuh naga makhluk mitologi itu hanyalah sebuah omong kosong belaka. Namun kini mereka melihat secara nyata bagaimana kekuatan dan kehebatannya dengan mata kepalanya sendiri.

"Apakah ada yang ingin melawanku lagi?!"

Teriakannya seketika mampu membuat bulu kuduk mereka berdiri, bernapas pun mereka takut. Sejauh ini tidak ada yang bisa mengalahkannya. Kekuatannya seperti dibantu para dewa, tepatnya oleh dewa kematian.

"Bagus! Sampaikan pada Count Exterm bahwa besok aku akan meminta surat kuasa wilayahnya, dan aku harap tidak ada pemungutan liar lagi dalam wilayah Exterm. Jika ada lagi laporan mengenai pemungutan liar, akan kupastikan wilayah kalian hanya akan menjadi bongkahan sampah. Mengerti?!"

"Mengerti Lord yang Agung!"

Duke berdecih pelan. "Aku tak suka dengan nama itu! Ulangi!"

"Mengerti Tuan Duke Draven of Morven yang Agung!"

Dia tersenyum lalu berdiri dan kembali menunggangi kudanya dan memacunya kembali ke kediamannya, diikuti para pasukannya yang tersisa.

"Kurasa kita harus berterima kasih pada Duke Morven," ujar seorang ksatria berambut ikal.

"Kau benar, dia membebaskan kita dari rasa bersalah."

Yang lain mengangguk menyetujui perkataan temannya. "Dingin, namun tidak kejam."

****

Greta membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Nyaman dan dia rasa akan menghabiskan seharian di dalam kamarnya yang mewah ini.

"Bagaimana bisa Greta sebodoh itu mencintai Kael yang tampannya tak seberapa," ucapnya sambil menatap langit-langit kamarnya.

"Tapi... Kurasa, Kael memang cukup tampan."

Greta tak bisa menyangkal ketampanan Kael. Rahangnya yang tegas, alis hitam lebat dengan hidung mancung membuatnya seakan manusia sempurna yang ada di bumi. Greta tersihir dengan tubuhnya yang tegap dan tinggi, sangat-sangat tipe idaman Grasia di dunia nyata. Namun kini sepertinya dia akan cari aman saja untuk menghindari Kael. Greta yakin, di luar sana masih banyak laki-laki tampan yang akan senang hati menerima dan mencintainya.

Brakkk...

Pintu kamarnya terbuka dengan sangat keras, Greta sampai terbangun dari tempat tidurnya. Jangan bilang kini Greta sedang digrebek oleh para bawahan Kael karena dia sudah sangat lancang terhadapnya.

Namun, seketika Greta membuka matanya lebar ketika sebuah pelukan merangkul tubuh mungilnya. Hangat.

"Apa kau sudah baik-baik saja putriku?" tanya Marquess Alexander Ravenswood.

"Apa kau merasakan sakit? Pusing? Katakan pada Ibu, Greta," tambah Marchioness Eliza.

Greta tak mampu berkata apa-apa, rasanya dia tak mau melerai pelukan ini. Di kehidupan sebelumnya, dia tidak tahu bagaimana rupa ibunya, bagaimana pelukan ibunya, bagaimana kasih sayang ibunya. Hanya penderitaan yang dia dapat setiap harinya. Kini, seperti sebuah mimpi yang menjadi nyata, namun apakah kebahagiaan ini bisa abadi? Apakah Greta akan kembali sengsara seperti dulu?

"Sayang, kau menangis?" tanya Eliza ketika melihat putrinya terdiam dengan air mata yang mengalir di pipinya.

"Kau masih merasa sakit, putriku?" tambah Alexander.

Greta dengan cepat menggeleng. Dia tersenyum lantas segera memeluk keduanya. "A–aku merindukan kalian," bisiknya.

Eliza mengusap surai panjang putrinya sambil tersenyum. "Sejak kapan Greta menangis hanya karena merindukan orang tuanya ini? Bukankah kau selalu menginginkan kami menjauhimu?"

Greta yang mendengar itu semakin terisak. "T–tidak, sejak kapan aku mengatakan itu, Ibu?"

"Sejak kau mulai tumbuh dewasa, Putriku," jawab Alexander dengan lembut.

Keduanya merasa aneh dengan putri mereka satu-satunya. Sepertinya rumor bahwa Greta hilang ingatan itu benar. Karena jika Greta— putri mereka yang selalu ingin menyendiri, hanya berdua dengan pelayannya, Steffie. Mungkin mereka sekarang tidak akan mendapatkan pelukan ini.

Greta akhirnya melepas pelukannya, dia menyeka air matanya dengan perlahan, ditatapnya dua orang yang selalu dia rindukan. Alexander dan Eliza begitu mirip dengan ayah dan ibunya di kehidupan sebelumnya. Greta sempat melihat foto ibunya di rumah neneknya, dan ia begitu mirip dengan Eliza. Mungkinkah, ini surga?

"Pelayan bilang, kau hilang ingatan Gret," ujar Alexander menyadarkannya.

"Iya, Ayah. Aku melupakan separuh ingatanku, aku hanya bisa mengingat Ayah dan Ibu, juga Steffie."

Eliza membawa Greta untuk duduk di atas tempat tidur. Dia mengusap pelan wajahnya yang pucat. "Istirahatlah sayang, besok adalah hari pertunanganmu dengan Lord Kael, kau tidak lupa kan?"

Dia membulatkan matanya. Sejak kapan diadakan pertunangan? Ia rasa di buku tidak seperti itu.

"Kenapa? Kau terlihat terkejut," ujar Alexander.

"Bagaimana bisa aku bertunangan dengan Kael?" tanya Greta, menatap keduanya secara bergantian.

"Ah, iya, Ibu lupa kalau kau hilang ingatan."

"Dua hari sebelum kau tenggelam di danau, Duke Orion mengajukan pertunangan putranya denganmu. Karena kami adalah teman lama, jadi kami memutuskan untuk menikahkan kalian agar hubungan kami semakin dekat," jelas Alexander.

Greta tahu hubungan ayahnya dengan ayah Kael. Namun, rasanya di dalam buku tak ada yang menjelaskan bahwa Kael dan Greta akan melakukan pertunangan karena Kael sudah lebih dulu mencintai Steffie. Lalu, jika dia melewatkan part terpenting itu, seharusnya Greta yang asli tidak perlu mendorong Steffie ke danau kan? Karena dia sudah menang dengan bertunangan dengan Kael. Terkecuali, jika Steffie mengatakan hal yang menyakiti hati Greta.

"Gret, kenapa kau melamun?" tanya Eliza, menatap putrinya cemas.

Greta menggeleng. "Tidak, Ibu. Aku rasa pertunangan itu harus diundur saja, atau sebaiknya kita jangan berhubungan dengan keluarga Orion saja."

Choose Your Own Storyline [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang