12. Kegaduhan

212 9 0
                                    

Setelah yang terjadi hari ini, Greta semakin menatap pelayannya malas, eh, tidak, ralat perkataan Greta sekarang! Karena gadis itu kini bertransformasi menjadi saudara angkatnya. Benar-benar menjadi saudaranya, karena gadis itu kini mengenakan gaun mewah yang sama dengannya, tidur di kamar yang sama dengannya dan kini terlihat dia menatap sinis ke arahnya.

"Kenapa kau menatapku seperti itu?" Suara Greta memecah keheningan di antara mereka. Dia kesal ditatap terus-menerus seperti ini oleh seorang yang lebih rendah darinya, ya meski sekarang ayahnya telah menaikkan derajatnya, sih.

Steffi menggeleng, dia menunduk memberikan hormat padanya dengan anggun. Heh, tampaknya gadis itu mencoba meledek Greta karena sekarang dia sudah menjadi bangsawan.

"Ya, ya, tidak perlu kau menunduk seperti itu padaku," ujar Greta. Dia menghela nafasnya sejenak untuk kembali berkata," aku tahu kau sekarang adalah saudariku, tapi jangan harap aku memperlakukanmu seperti saudara kandung."

"Aku bahkan tidak ingin menjadi saudarimu Lady, itu adalah sebuah beban bagiku," balas Steffi dengan nada tenang.

Gadis itu ... bisa-bisanya menyebut Greta beban, huh dasar tidak tahu diuntung!

"Akan lebih baik jika aku hanya sebagai pelayanmu saja, Lady. Karena seperti perkataan Lord Kael, bahwa diriku adalah anak seorang duke dan aku lebih baik darimu," terang Steffi. Terdengar nada angkuh dalam setiap kata yang diucapkannya.

Greta tertawa sinis. "Benarkah? Lalu mengapa pernikahanmu tidak terjadi? Lord menyukaiku, kan? Dan, bahkan setelah kau menjadi putri Marquess. Astaga, kau sangat menyedihkan Steffi," Greta menutup mulutnya seolah perkataannya salah. "Ups, maapkan aku, maksudku Lady Steffi." Kembali gadis itu meledakkan tawanya, apalagi ketika melihat wajah merah padam dari saudari angkatnya.

Namun Greta salah mengartikan sifat Steffi selamanya. Rupanya dia dapat mengendalikan diri lebih baik daripada dirinya. Ya, tidak heran jika dia dipandang baik oleh orang-orang karena dia sangat pandai bersandiwara.

"Aku tidak ingin membuat kegaduhan di hari pertamaku menjadi seorang lady, jadi izinkan aku menyampaikan pesan dari ayahanda," ujar Steffi sambil tersenyum. Greta yakin, senyum itu hanya sebuah topeng belaka.

"Setelah pesta yang kau hancurkan, hubungan ayahanda dengan Duke Orion memburuk dan itu menjadi sebuah ancaman bagi wilayah Ravenswood. Aku rasa kau tidak terlalu bodoh untuk memahami situasi kerajaan kita saat ini," katanya lagi.

Greta tidak menjawab, dia membiarkan Steffi kembali berbicara menuntaskan semua pesan yang disampaikan oleh ayahnya.

"Sekarang pilihannya adalah, antara kau menikah dengan Lord Kael atau dengan Duke Morven. Tentu saja resiko keduanya besar. Jika kau tidak menikah dengan Lord maka dipastikan kerajaan kecil kita akan diserang oleh kerajaan Orion. Kemudian jika kau tidak menikah dengan Draven, bisa saja dia juga mengirimkan pasukan untuk meluluhlantakkan kerajaan kita sampai berkeping-keping."

"Ya sudah, lebih baik menikah dengan Draven dan kau menikah saja sana dengan Lord Kael. Lieur aku mah! {Aku sudah pusing!}" balas Greta cepat dengan nada frustasi.

"Sayangnya seperti yang kau katakan, Lord hanya ingin ... menikah denganmu."

Greta memijat pelipisnya, dia tidak mengerti mengapa kedua kakak-beradik itu menginginkan Greta. Harusnya dalam novel keduanya itu tidak tertarik padanya, dan malah lebih senang melihatnya dalam penderitaan. Jadi, apakah cerita ini berubah karena kehadirannya? Karena tingkah konyolnya?

"Gak tau, aing mah capek! Mending you kaluar dari sini, rasanya otak aing mau meledak!" teriak Greta.

"Gak tau, aku capek! Lebih baik kamu ke luar dari sini, rasanya otakku ingin meledak!"

Greta mendorong Steffi keluar dari kamarnya. Dia begitu pusing, belum lagi memikirkan dalang percobaan pembunuhnya beberapa waktu lalu. Argh! Sial! Kenapa kehidupan keduanya lebih rumit dari kehidupan sebelumnya?

Pintu besar itu ditutup dengan kuat menimbulkan suara nyaring yang memeluk ditelinganya. Steffi terdiam di depan pintu dengan jantung yang berdegup kencang dan pikiran yang masih memproses segala perkataan yang diucapkan Greta. "Apa yang dikatakannya barusan? Bahasa asing darimana itu?"

*****

Seorang gadis menyered gaunnya memasuki halaman istana yang berkilau dengan keramik emas dan permata, serta beberapa air mancur dengan ornamen klasik menghiasi sepanjang perjalanan menuju gerbang bangunan megah di depan sana. Mungkin jika orang awam melihatnya akan menganga dan mengagungkan tempat ini, namun baginya tempat ini tak lebih dari tempat yang sangat menyebalkan, lebih dari apapun.

Akhirnya dia sampai di depan gerbang kemudian mendorong pintu besar yang menjulang tinggi dengan ukiran dan pernak-pernik yang mewah. Matanya menatap malas, lagi dan lagi perjalanan menuju singgasana raja adalah sebuah perjalanan panjang, dia harus kembali berjalan dengan sekuat tenaganya. Jika orang biasa mungkin mereka akan pingsan di pertengahan jalan dan pingsan sebelum bisa menapakkan kaki di ruang singgasana raja.

Dia menghela napas panjang setelah akhirnya sampai di tempat tujuannya. Dia langsung menatap datar sang raja yang memiliki janggut putih panjang, serta tawa menyebalkan khasnya.

"Ada apa lagi kau kemari?" tanyanya dengan diiringi tawa.

"Kau–sebenarnya apa yang kau rencanakan?" tanya gadis itu geram.

Raja tersenyum sambil memegang janggutnya. "Kenapa kau terlihat marah Ghea? Apa ada sesuatu yang salah di dunia manusia?" tanyanya seolah tak tahu apa yang sedang dikeluhkan oleh Ghea.

"Kau tidak usah pura-pura tidak tahu pak tua! Anakku, ah, maksudku Grasia, kenapa kau memberikan kehidupan kedua padanya jika hanya untuk membuatnya lebih menderita?" tanya Ghea dengan nada marah.

"Kenapa kau begitu sangat peduli padanya? Bukankah dia sama seperti manusia lainnya?"

"Aku hanya kasihan padanya, dia telah ditinggalkan oleh orang tuanya lalu sekarang kau malah membuat hidupnya menderita dengan beban besar. Kau mau apa sebenarnya? Kesempatan kedua untuk menderita?!"

Dada Ghea naik turun, dia mencoba meredam emosinya namun gagal. Raja tua itu benar-benar membuatnya naik darah, dia selalu melakukan hal sesuka hatinya, mentang-mentang penguasa.

"Ini bukan kehidupan keduanya Ghea, ini adalah kehidupannya yang sesungguhnya," ujar Raja yang tak lain adalah Zeus.

Ghea tampak berpikir mencerna ucapan atasannya. "Apa maksudmu? Jelas-jelas dia itu sudah mati," katanya tak paham.

Zeus tertawa sebelum menjawab seperti biasanya, ya sebuah ciri khas raja dari para dewa ini. "Nanti kau juga tahu."

Lihat, lihat! Ghea rasanya ingin memukul kakek tua itu. Padahal Ghea sudah menunggu dengan sangat antusias, tapi dia malah membuatnya naik darah. Memang, datang ke sini hanya membuatnya semakin emosi.

"Benar sekali, harusnya aku tidak berharap pada dewa tua menyebalkan sepertimu!" ujar Ghea geram.

Sang dewi kehidupan pun melenggang pergi keluar dari ruang singgasana raja dengan perasaan meledak-ledak. Bagaimana tidak marah? Niat hati ingin meminta penjelasan, malah membuatnya semakin pusing. Zeus sialan!

Sedangkan Raja hanya duduk sambil tertawa di singgasananya menatap kepergian salah satu dewi kesayangannya. Dia menghentikan tawanya dan menggantinya dengan senyum yang mencurigakan. "Kau akan tahu sebentar lagi, Ghea."

Choose Your Own Storyline [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang