13. Pria Misterius

78 8 0
                                    

Beberapa waktu lalu, dunia ini terasa asing bagi Greta. Namun, setelah beberapa waktu beradaptasi, semuanya terlihat sama saja, membosankan. Kehidupannya berubah drastis, jauh dari kata bahagia. Orang tuanya, yang dulunya begitu dekat dengannya, sekarang menghindar. Kekecewaan mereka jelas tampak di setiap tatapan, dan yang lebih menyakitkan, mereka justru menunjukkan kasih sayang terhadap Stefii, anak angkat mereka.

Greta sekarang berada di ruang makan, yang dulunya hanya diisi oleh dirinya dan kedua orang tuanya. Namun, sekarang ada satu orang lagi di sini, seorang pelayan yang telah diangkat menjadi saudara. Stefii, dengan senyum manisnya, duduk di meja makan bersama mereka, tampak begitu diterima. Sementara itu, Greta hanya bisa memutar bola mata, merasa tidak nyaman. Setiap kali melihat pemandangan ini, perasaan frustrasi semakin mendalam.

"Makanlah, Steffi. Kau harus banyak makan agar tubuhmu kuat," kata Alexander dengan lembut, nada suaranya penuh perhatian.

"Iya, Ayahanda, terima kasih, tapi aku sudah kenyang," jawab Steffi sambil tersenyum.

Greta menahan napas, merasa mual melihat pemandangan itu. Bagaimana bisa mereka begitu mudah menerima Steffi, sedangkan dirinya, yang telah bersama mereka bertahun-tahun, kini dianggap asing? Ini bukan pertama kalinya Greta melihat adegan ini. Bahkan, sudah seminggu sejak Steffi datang, setiap kali makan, suasananya selalu seperti ini.

Greta mendesah pelan dan memutuskan untuk berhenti makan. Ia berdiri dan melangkah pergi dari meja. Eliza, ibunya, memanggilnya untuk menghabiskan makanannya, namun Greta mengabaikannya. Cukup sudah hidup dalam bayang-bayang rasa kecewa ini. Greta tahu, dia harus melakukan sesuatu untuk mengubah keadaan ini.

Langkah kakinya pelan menyusuri lorong kastil. Tanpa seorang pelayan yang mengikuti atau penjaga yang menjaga, sepertinya lorong ini memang sengaja dibiarkan sepi. Hatinya merasa lebih tenang dengan suasana yang begitu damai. Namun, ketenangan itu hanya sesaat. Tiba-tiba, kejadian tak terduga mengganggu perenungannya. Seorang pria berjubah hitam dengan wajah tertutup kain tengah menyeret seorang prajurit yang terkapar di lantai.

Greta berhati-hati mengikuti sosok itu. Ia mengangkat gaunnya dan menenteng sepatu kacanya agar tidak menimbulkan suara. Jalur ini, jalan tersembunyi yang masuk dari taman terbengkalai, adalah tempat yang sangat dikenal oleh Greta. Dulu, ia pernah menggunakan jalan ini untuk menyelinap keluar dari istana Draven. Jalan yang sama, yang mengingatkan Greta pada kejadian yang membuat hidupnya berbalik menjadi kacau.

Alexander, ayahnya, sempat menodongkan pisau padanya, mengira Greta adalah seorang pembunuh, padahal Steffi masih hidup dan baik-baik saja bersama Kael. Namun, apa yang sebenarnya Greta cari di kastil ini? Kenapa ia melupakan sebagian dari kenangannya? Ia menggelengkan kepala, berusaha mengusir segala pertanyaan yang mengganggu pikirannya. Kali ini, ia harus fokus pada orang di depannya—sosok berjubah hitam yang jelas tengah melakukan sesuatu yang mencurigakan.

"Putri itu, kenapa dia tidak mati saja!" terdengar suara pria itu, begitu berat dan marah.

"Padahal aku yakin racun itu adalah barang asli. Tapi kenapa? Kenapa dia tidak mati!" lanjutnya, suara penuh kebingungannya.

Greta menahan napas, menyaksikan pria itu mengeluarkan belati dari saku celananya dan menyayat tangan penjaga yang terkapar, membangunkannya dengan rasa sakit. Suara rintihan dari penjaga itu semakin menggema di lorong yang gelap, dan Greta merasa semakin bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.

"Usahaku sia-sia! Kau tahu, seberapa mahalnya racun itu!" pria berjubah hitam itu teriak frustasi, memegang belatinya dan terus bermain-main dengannya. "Wilayah Ravenswood harus menjadi milikku. Harus ada di genggamanku!"

Beberapa asumsi mulai memenuhi pikiran Greta. Mungkinkah ini adalah bagian dari rencana Kael dan ayahnya? Mungkin mereka ingin Greta mati, untuk membuat Alexander dan Eliza terpukul, agar mereka bisa merebut kekuasaan Ravenswood. Namun, rasanya itu terlalu berisiko, terutama mengingat Alexander yang tenang dan bijaksana. Tidak mungkin dia akan depresi hanya karena kehilangan Greta.

Tunggu, bukankah pria itu pernah berkata bahwa ada musuh di dalam kastil? Namun, musuh itu bukan Steffi. Jadi siapa yang sebenarnya menjadi musuh sekarang?

"Juancok!" tanpa sengaja Greta mengumpat keras. Ia terkejut sendiri dengan kebiasaannya yang tiba-tiba keluar di saat seperti ini.

Ia langsung menutup mulutnya, bersembunyi di balik semak yang ada di sepanjang lorong, berharap pria berjubah itu tidak mendengar. Namun, harapannya sia-sia.

"Siapa di sana?" suara pria itu menggema di seluruh lorong, menambah ketegangan yang sudah terasa semakin mencekam.

Greta merasa semakin takut. Langkah kaki pria itu semakin mendekat, dan dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah ini akhirnya akan menjadi akhir hidupnya. Akankah ia mati dengan cara yang konyol seperti ini?

Tiba-tiba, terdengar suara batuk dari penjaga yang terkapar di lantai. "Uhuk... uhuk... Apa yang sebenarnya kau inginkan?" suaranya lemah, namun cukup untuk menarik perhatian pria itu.

"Ah, aku? Aku ingin Greta," jawab pria itu, nada suaranya penuh kebencian.

"Untuk apa? Kenapa kau ingin sekali membunuh Nona Lady?" tanya penjaga itu, meski tubuhnya sudah sangat lemah dan penuh luka.

"Singkat saja. Aku ingin menghancurkan Alexander dan Ravenswood," kata pria itu sambil mengamati belatinya, seolah bermain-main dengan nasib.

"Greta sangat cantik. Tapi aku ingin melenyapkannya," lanjutnya dengan nada yang jauh lebih menakutkan.

Penjaga itu teriak marah, "Jangan pernah sentuh Lady!" Namun, teriakan itu sia-sia. Ia sudah terlalu lemah untuk melakukan apapun selain merasakan rasa sakit.

"Tak pernah aku menyentuhnya, aku selalu bermain aman. Tapi, sepertinya racun itu kebal bagi Lady Greta. Pedangku harus bertemu dengannya," pria berjubah itu berkata dengan yakin.

Greta membelalakan matanya. Kenapa kehidupan keduanya menjadi begitu menyeramkan? Hidup yang dulu diaa impikan, yang penuh dengan romansa dan petualangan, sekarang berubah menjadi mimpi buruk yang tak ada habisnya. Dia hanya ingin hidup tenang, jauh dari kekacauan ini, bersama seorang pangeran tampan, seperti dalam cerita-cerita transmigrasi yang selalu dia baca. Namun, kenyataannya jauh dari itu—semuanya penuh bahaya dan kekacauan. Menyebalkan sekali!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Choose Your Own Storyline [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang