BAB 22: Kembali pada Fakta yang Mengejutkan

710 60 23
                                    

"Jadi, kan, Nav?" tanya Archer saat ranselnya sudah tersangkut sempurna di punggungnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jadi, kan, Nav?" tanya Archer saat ranselnya sudah tersangkut sempurna di punggungnya.

Navy yang masih menyalin catatan milik Archer pun menganggukkan kepalanya. "Jadi, dong. Gue juga bosen banget di rumah."

Ya, akhirnya rencana Navy untuk datang ke rumah Archer dapat terlaksanakan hari ini. Berhubung mama Archer sedang di rumah dan wanita itu memang sejak lama ingin sekali bertemu dengan Navy.

"Bareng aja, gue dijemput sopir, nanti ganti pake baju gue dulu gapapa, Nav." Pemuda itu masih setia duduk di bangkunya sembari menunggu Navy yang tampaknya mulai lelah menyalin catatannya.

"Gue pinjem dulu, ya? Entar malem gue lanjut catet lagi, pegel banget tangan gue,"ucap Navy sambil mulai membereskan perlengkapan belajarnya. Saat ia hendak memasukkan buku Archer ke dalam tas, tangan Navy tiba-tiba saja seperti mati rasa sesaat membuat buku tersebut jatuh. "Maaf, Ar." Navy mengambil buku Archer yang jatuh, untungnya itu hanya sebuah buku yang tidak akan rusak jika hanya terjatuh ke lantai.

"Santai, Nav. Tangan lo tremor gitu, kecapean keknya." Archer membantu Navy mengemasi berang-barang pemuda bersurai kecokelatan tersebut. 

"Iya." Sebenarnya Navy tahu, semua hal ganjal yang ia alami beberapa hari ini adalah gejala-gejala penyakit yang mungkin saja bertambah parah. Nyatanya, Navy tak pernah meminum obat yang ia dapat dari dokter, ia hanya sesekali melihat beberapa jenis  obat yang ada di dalam plastik, tanpa ada niat sedikit pun untuk meminum obatnya.

"Lo juga keknya harus mulai pake kaca mata, deh," ujar Archer memberikan pendapatnya. Lagi-lagi Navy hanya menjawab seadanya karena kini ia merasa tubuhnya sangat lelah.

"Yok!" ucap Navy saat ia sudah menyandang ranselnya.

Kedua pemuda yang dengan tinggi badan yang sama dan berperawakan mirip itu melangkah bersamaan melewati koridor yang hanya diisi oleh siswa kelas dua belas yang masih mengikuti kelas tambahan. Navy dan Archer berjalan ke luar sekolah, hingga tatapan keduanya mendapati sebuah fortuner berwarna hitam terparkir apik di area luar. 

"Nah, itu jemputannya. Ayo, Nav!" 

Navy berjalan mengikuti Archer yang tampak antusias saat sopir keluarganya membukakan pintu. Mobil ini jelas adalah mobil yang Navy lihat sering Jena unggah di media sosial, Navy hafal plat mobilnya, berharap dapat bertemu pemuda itu di jalan, tetapi bukan dalam situasi seperti ini. 

Begitu fortuner hitam itu melaju dengan kecepatan sedang pemuda dengan mata rubah itu hendak mengajak Navy berbicara. Akan tetapi, Archer yang melihat Navy tampak pucat dan murung pun bertanya, "Lo oke? Kalo ga enak badan biar gue anter pulang aja, Nav."

Navy dengan cepat menggelengkan kepalanya, meski kini tubuh Navy terasa lemas dan jantungnya berdetak sangat cepat, ia tidak mau pulang tanpa melihat dengan mata kepalanya sendiri siapa ayah dan kakak tiri Archer. "Gue gapapa, cuma agak cape. Tapi gapapa, kok, ga enak sama mama lo kalo ga jadi." Karena Navy tahu, seperti mamanya dulu yang selalu antusias menyiapkan banyak camilan jika teman Navy akan bermain ke rumah, mama Archer mungkin saja melakukan hal yang sama.

"Kalo emang mau istirahat bilang aja, Nav, keknya di rumah cuma ada Mama aja, soalnya kakak sama Naka masih ada kelas tambahan. Papa juga biasanya pulang pas udah malem gitu," tutur Archer yang sebenarnya membuat Navy sedikit kecewa.

"Gapapa, Ar, kita juga cuma mau main aja karena gue bosen di rumah. Bang Jevas juga ada kelas tambahan, jadi sepi banget di rumah."

Keduanya asyik berbincang, hingga tak sadar jika mobil yang mereka kendarai sudah memasuki kompleks perumahan mewah,  gerbang rumah dengan tiga lantai yang terlihat sangat asri itu terbuka secara otomatis, membuat Navy mau tak mau berdecak kagum. "Keren rumah lo, Ar," ucap Navy yang tanpa diketahui siapa pun terselip perasaan iri untuk hal yang ia katakan. Di saat Navy sama Mama bahkan kesusahan, Papa sama Abang kayaknya malah bahagia banget.

"Papa gue males buka gerbang, jadi, ya gitu ...."

"Gapapa, sih, mama gue juga dulu males buka gerang, makanya rumah gue ga peke gerbang-gerbangan." Navy membumbui tawa kecil di akhir kalimatnya yang mampu memancing tawa Archer.

Saat mobil sudah berhenti di depan pintu masuk, sopir yang sejak tadi hanya fokus mengemudi pun keluar dari mobil untuk membukakan pintu untuk Navy dan Archer.

Setelah dua pemuda itu turun dari mobil, sopir yang bertugas kembali masuk ke dalam mobil untuk memarkirkan fortuner hitam milik majikannya.

"Itu kalo Pak Cecep ketahuan bawa mobil Kak Nathan orangnya bisa ngamuk," ucap Archer dengan wajah sedikit sarkas. 

Navy hanya tertawa kecil, menutupi perasaan gugup yang singgah di hatinya. Meski kini rasa percaya jika papanya adalah papa tiri Archer sudah sampai di angka tujuh puluh persen, Navy masih ingin mencari bukti lain. Kalo emang bener, gue harus bersikap gimana sama Archer? Karena tidak mungkin Navy masih bisa bersikap biasa saja setiap mendengar cerita Archer tentang keluarganya.

"Ayo, masuk, Nav," ajak Archer saat seorang asisten rumah tangga membukakan pintu untuk mereka berdua. 

Navy mengikuti langkah Archer yang membawa mereka masuk ke dalam lift, Navy hanya mengikuti tanpa tahu ke mana tujuan mereka saat ini. Hingga, tanpa diminta Archer menjelaskan dengan kemauannya sendiri di mana mereka akan menghabiskan waktu bersama. 

"Di lantai dua aja mainnya gapapa, kan? Di bawah ga ada apa-apa soalnya," ucap Archer, "sama kita ganti baju dulu bentar, kamar gue di lantai dua juga deket sama ruang santai." Navy tak memiliki hak untuk menolak ajakan pemuda tersebut, ia hanya akan mengikuti setiap langkah Archer.

Pintu lift kembali terbuka, hanya dalam waktu kurang dari satu menit mereka sudah tiba di lantai dua. Archer berjalan di depan Navy, membawa Navy memasuki sebuah kamar yang didominasi warna putih dan tampak penuh dengan berbagai barang yang tersusun rapi.

"Duduk dulu, Nav, gue ambilin baju." 

Navy hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban, ia juga hanya diam saja saat Archer membuka sebuah pintu di dalam kamarnya yang mungkin saja menjadi ruangan tempat pemuda itu menyimpan semua pakaian dan aksesoris.

Pemuda yang sejak tadi duduk di sofa kini berdiri mengitari kamar Archer, mungkin saja ada sesuatu yang ia temukan. Langkah Navy berhenti di dekat nakas yang tak jauh dari ranjang Archer. Di atas nakas tersebut ada dua pigura dengan ukuran sedang, satu berisi foto tiga anak kecil berbeda usia, sedangkan yang satu lagi berisi foto empat pria dan satu wanita dengan pakaian formal.

Kini Navy benar-benar merasa jantungnya berhenti berdetak untuk sesaat. Dua foto dalam pigura yang berbeda itu mampu membuat Navy sadar jika ia memang sudah tak akan pernah merasakan keluarga bahagia hingga akhir hidupnya. Ma, kayaknya Navy bakal mati sendirian ....

 Ma, kayaknya Navy bakal mati sendirian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Maaf, ya, kalo pendekkkkk ... 

Hiraeth [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang