BAB 40: Raden dan Penyesalan Tiada Akhir

1K 67 34
                                    

"Papa keluar dulu, ya? Nanti Navy sama Bunda di sini," ujar Raden sesaat setelah melirik jam tangannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Papa keluar dulu, ya? Nanti Navy sama Bunda di sini," ujar Raden sesaat setelah melirik jam tangannya. Hari ini papinya mengatakan jika ia ingin bertemu dengan Raden, meski awalnya menolak pada akhirnya Raden memutuskan bertemu dengan ayah kandungnya tersebut saat semua foto yang  menjadi bukti perselingkuhan Sesilia selesai diselidiki.

Navy tak menjawab, pemuda yang kondisinya masih belum menunjukkan perubahan tersebut hanya mengedipkan matanya sebagai jawaban. Raden mengusap rambut Navy, kemudian mengecup kening anaknya sebelum beranjak pergi meninggalkan ruangan tersebut.

Raden melepas pakaian steril yang ia kenakan di ruangan khusus, lalu menarik napas panjang. Saat ia menginjakkan kaki di luar ruangan, Raden dapat melihat di kursi tunggu Naya dan seorang pria lanjut usia tampak tengah berdebat.

Langkah Raden yang mendekati dua orang tersebut pun mengalihkan perhatian. "Ma, kamu jagain Navy aja. Biar aku yang ngomong sama Papi.

Pria lanjut usia yang diketahui sebagai ayah Raden tersebut menatap marah pada putra tunggalnya. "Mana anak haram itu?" tanya Wisnu-ayah Raden- dengan tangan yang memegang erat tongkatnya.

"Anak haram yang papi sebut itu punya nama, Pi. Dia juga bukan anak haram." Raden berusaha berbicara dengan pelan, karena bagaimana pun sosok di depannya ini adalah ayah kandungnya.

"Oh, jadi kamu udah berani nentang Papi? Semua ini gara-gara anak ga guna itu, kan? Dulu kamu juga durhaka sama Papi dan Mami karena perempuan murahan itu! Anak sama ibunya sama saja, sama-sama bawa sial!" bentak Wisnu dengan tangan yang menunjuk wajah Raden.

Raden menghela napas, berusaha menahan diri agar tidak ikut terbawa emosi. Pria paruh baya itu memegang tangan Wisnu, lalu menuntun pria tersebut agar duduk di kursi yang tersedia di koridor. "Duduk dulu, Pi. Tenangin diri Papi, aku mau bicara baik-baik tanpa melibatkan amarah, bisa, kan, Pi?" tanya Raden dengan sabar, berharap pria tua di hadapannya ini mau mengerti.

Wisnu tampak membuang wajah, lalu menghela napasnya kasar. Pria itu tak lagi mengatakan sepatah kata pun pada anaknya dan berusaha menetralkan detak jantung yang mulai tidak stabil karena amarahnya.

"Pi, aku mau Papi jujur. Buat apa Papi fitnah Sesil?" tanya Raden saat suasana telah hening untuk beberapa saat.

"Maksud kamu? Untuk apa juga Papi fitnah wanita murahan itu? Asal kamu tau, harusnya kamu bersyukur Papi ngasih lihat kebusukan wanita itu ke kamu. Terutama bukti kalau anak haram itu bukan anak kamu. Harusnya dia mati aja sama ibunya biar ga nyusahin kamu kayak sekarang." Wisnu berbicara dengan nada angkuh dan wajah yang menatap lurus ke depan, berusaha menunjukkan wibawanya. "Papi doain dia mati hari ini biar ketemu sama ibunya yang murahan itu."

"Pi!" bentak Raden, membuat Wisnu menatap tak percaya pada anaknya dengan tangan yang bergerak mengusap dada karena jantungnya yang berdetak kian cepat.

"Papi bisa denger aku ngomong dulu, kan?  Aku udah kirim e-mail ke Papi, e-mail yang jadi bukti kalau semua bukti yang dulu Papi kasih ke aku itu palsu! Semuanya editan, kan, Pi?" Raden menatap marah pada papinya, tetapi sebisa mungkin berbicara dengan nada rendah agar tak membuat Wisnu terkejut seperti tadi.

Wisnu tampak diam memaku di tempat, menatap putranya dengan tatapan tak percaya. Meski wajah tua itu sedikit memperlihatkan kepanikan di awal, sebisa mungkin ia tak menunjukkan hal itu di depan anaknya. "Maksud kamu, Papi fitnah wanita itu? Ga mungkin Papi lakuin hal ga guna kayak gitu, Raden!" Wisnu mulai kembali terpancing emosi, sehingga membentak Raden dan berdiri dari duduknya.

Raden menahan tangan Wisnu saat menyadari papinya akan beranjak pergi tanpa menjelaskan apa pun. "Papi mau bohongin aku lagi? Belum cukup selama ini Papi bohongin aku? Aku telantarin anak kandungku, Pi, cuma karena keegoisan Papi? Kenapa? Kenapa harus Navy?" Suara Raden terdengar bergetar saat mengucapkan kalimat tersebut.

Wisnu masih berdiri di tempatnya tanpa berani menatap Raden yang masih menahan tangannya agar ia tidak beranjak. "Papi lakuin ini karena wanita itu bukan orang baik Raden! Dia cuma manfaatin kamu, wanita dari kalangan rendah seperti dia dengan asal-usul ga jelas ga mungkin tulus!"

"Oke, aku terima alasan ga masuk akal Papi, tapi untuk Navy? Kenapa bisa Papi bilang kalo Navy bukan anak aku?" tanya Raden dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Berbicara dengan papinya yang keras kepala benar-benar menguras emosi.

"Karena anak itu bodoh! Dia penakut, bodoh, ga berguna! Papi ga mau ada orang ga berguna di keluarga kita. Puas kamu?" Tanpa mengatakan apa pun lagi, Wisnu langsung menarik tangannya saat genggaman Raden tak sekuat di awal.

Raden menatap kepergian papinya dengan raut penuh kekecewaan. Hatinya sakit saat kembali mengingat betapa mudahnya ia memercayai semua tipu daya sang papi hingga membuat Navy harus menjalani hari-hari yang berat.

Tangis penuh kecewa Raden pecah saat itu juga. Ia menangkup wajahnya dengan telapak tangan. Koridor ruang ICU yang sepi membuat Raden menjadi pusat perhatian oleh beberapa dokter dan wali pasien yang lewat. 

Raden hancur, saat orang yang paling ia percaya di muka bumi kini justru terbukti benar-benar menipunya, membuat ia menjadi  orang jahat dengan menelantarkan anak dan mantan istrinya yang tidak bersalah.

"Maafin Papa, Nav ... maaf ... harusnya Papa bisa lebih tenang waktu itu, harusnya Papa ga langsung percaya gitu aja, harusnya Papa cari tau semua kebenarannya dari awal ...." gumam Raden diiringi tangis yang terdengar pilu. Meski rasanya memalukan jika seorang pria paruh baya menangis di tempat umum, Raden sudah tak peduli, ia sudah tidak bisa menahan rasa kecewa pada dirinya sendiri sejak Navy mengatakan fakta jika tuduhan perselingkuhan Sesilia di masa lalu merupakan fitnah.

"Sesil, maaf ... maaf ...."

Tangis Raden berhenti saat mendengar suara alarm darurat dari ruang ICU, tatapannya mengedar dengan ling-lung saat beberapa tim medis mulai berdatangan. Tatapan cemas Raden semakin terlihat saat Dokter Senja datang dengan berlari memasuki ruang ICU, lalu setelahnya Naya keluar dari ruangan tersebut dengan wajah yang sudah banjir air mata.

"Pa ... Navy, Pa ... Navy ...." Naya memeluk erat tubuh Raden, menenggelamkan wajah di dada bidang suaminya.

Tangan bergetar Navy bergerak mengusap punggung Naya. "Ma, kenapa? Navy kenapa, Ma?"

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Naya, wanita itu hanya terus menangis tersedu-sedu, membuat Raden yang memang tengah kalut pun mau tak mau ikut menangis.

Jangan ambil Navy, Ya Allah, hamba mohon beri hamba kesempatan untuk menebus semua rasa sakit yang selama ini Navy rasakan karena keegoisan manusia yang penuh hawa nafsu ....

Jangan ambil Navy, Ya Allah, hamba mohon beri hamba kesempatan untuk menebus semua rasa sakit yang selama ini Navy rasakan karena keegoisan manusia yang penuh hawa nafsu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Maaf yaa aku up malem bgt 😭😭

Hiraeth [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang