BAB 23: Menahan Sakit Seorang Diri

849 56 24
                                    

Setelah mengganti baju seragam dengan kaos oblong dan celana pendek yang hanya beda warna, Navy dan Archer kini duduk di ruang santai rumah Archer sembari menikmati minuman dingin yang dibawakan oleh salah satu ART

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah mengganti baju seragam dengan kaos oblong dan celana pendek yang hanya beda warna, Navy dan Archer kini duduk di ruang santai rumah Archer sembari menikmati minuman dingin yang dibawakan oleh salah satu ART. Navy sendiri tidak tahu ada berapa ART yang bekerja di sini, Navy tahu persis bagaimana papanya memanjakan keluarga sejak dulu, jadi ia yakin akan lebih dari tiga orang.

"Lo kek ga semangat gitu, Nav, ga suka sama minumannya?" tanya Archer setelah menyadari Navy hanya menjawab semua topik pembicaraan yang Archer keluarkan dengan gumaman.

Navy tersadar dari lamunannya, lalu meletakkan gelas yang sudah setengah kosong itu ke atas meja. "Sory, gue agak ga enak badan aja rasanya." Nyatanya, Navy hanya bingung harus bersikap bagaimana saat kini ia berada di rumah papanya. Ya, di rumah sosok yang sejak dulu sangat ingin ia jumpai. 

"Kalau sakit, kan, gue udah bilang istirahat aja. Gimana, sih, Nav ...." Archer beranjak dari duduknya untuk mengambil selimut tipis yang tersampir di sofa tak jauh dari sofa yang ia dan Navy duduki.

"Ga tau, Ar, tadi gue ngerasa baik-baik aja. Cuma sekarang badan gue kayak lemes banget."Navy menerima selimut yang Archer ulurkan,lali menggunakan kain tersebut untuk menutupi tubuhnya yang memang terasa dingin.

"Lo ga sakit parah, kan, Nav?" tanya Archer curiga dengan mata yang memicing.

Navy sejenak terdiam, merasa terkejut mengapa orang-orang di sekitarnya amat peka dengan kondisi tubuhnya melebihi dirinya sendiri. "Ngawur." Begitu ujar Navy dengan tawa kecil yang ia harap dapat meyakinkan Archer.

"Ya, lo kek kurusan, istirahat di kantin juga udah jarang, terus muka lo kayak pucet terus, ga ada semangat hidup." Archer menjawab dengan gurauan, ia sendiri berharap tak ada hal buruk yang terjadi pada teman dekatnya tersebut.

"Gue emang lagi banyak pikiran aja keknya, lo tu harusnya hibur gue dikit-dikit, Ar, biar temen lo ini ga stres," jawab Navy yang masih berusaha bersikap siapa saja di hadapan anak tiri papanya. Gue stres karena kalian semua, Ar.

"Nav, tapi gue jadi pengen tau, deh," Archer kembali mengalihkan topik, kini ia menatap Navy dengan wajah serius. "Kenapa ga ikut papa lo buat tinggal sama dia aja, Nav? Gue ga tega liat lo hidup mandiri gini," ujar Archer.

Navy tersenyum pedih, menatap selimut berwarna biru yang ia kenakan, lalu berkata, "Gue mau aja, sih. Tapi, keknya terlalu tamak kalau gue minta buat ikut Papa lagi, gue cuma pengen ketemu dan selesaikan kesalahpahaman antara Mama dan Papa aja." Navy dan Archer kini seolah terhubung.

"Kalau misal papa lo mau ajak lo buat tinggal sama dia lagi gimana?" tanya Archer lagi.

Navy tertawa kecil, lalu menatap Archer dengan mata berkaca-kaca. "Ga mungkin, Ar. Udahlah, jangan bahas ginian lagi."

Archer hendak kembali menimpali ucapan Navy, tetapi belum sempat hal itu terjadi, sosok wanita dengan pakaian rumahan dan hijab instan berwarna merah muda menghampiri keduanya. Meski wanita tersebut tampak berpenampilan biasa saja, Navy tentu langsung tahu jika wanita tersebut adalah mama dari Archer, melihat dari wajah keduanya yang sangat mirip.

"Eh, ini Navy, ya? Aduh, maaf Tante baru bisa temuin, tadi habis mandi soalnya." Wanita itu mendekat dan duduk di sofa yang berhadapan dengan Navy dan Archer.

Navy dengan sopan berdiri, lalu menyalami wanita yang tampak masih sangat muda meski sudah memiliki tiga anak, ralat ... dua anak kandung dan satu anak tiri. "Sore, Tante, makasih untuk sambutannya." Navy memang merasa marah saat melihat wanita yang menjadi istri papanya saat ini, tetapi, Navy pun tak bisa melakukan hal lain selain menyapa dan berperilaku sopan pada wanita tersebut.

"Panggil Bunda Naya aja, Nav, temen-temen Ace yang lain juga panggil gitu, kok." Naya sangat baik dan tampak lembut, Navy tidak mungkin bisa membenci sosok yang tidak tahu apa pun tentang keluarganya ini. Begitu pun dengan Archer, meski terdapat setitik perasaan iri di hatinya, Navy tidak bisa membenci orang yang tidak tahu apa-apa. 

"Iya, Bunda, terima kasih."

"Omong-omong, Bunda turut berduka cita atas meninggalnya mama Navy, ya? Bunda ga nyangka banget hari itu mama kamu kecelakaan, padahal sebelum beliau dikabarkan kecelakaan Bunda baru aja telepon buat pesan kue karena ada acara di kantor suami Bunda."

Navy tersenyum lembut, ia menganggukkan kepalanya, lalu berkata, "Maafin Mamaa kalo ada salah, ya, Bun, makasih juga udah jadi pelanggan mama Navy."

"Sama-sama, Nav," Naya beranjak dari duduknya, ia akan melanjutkan kegiatannya yang tertunda. "Bunda masih ada yang mau dikerjain, Navy sama Ace aja gapapa, ya? Kalau butuh apa-apa bilang aja jangan sungkan."

Navy menganggukkan kepalanya dan menunduk sopan, Naya pun sudah masuk ke dalam lift, menyisakan dua pemuda tersebut dalam satu ruangan yang sama. "Ace ...," panggil Navy berniat menggoda nama panggilan Archer yang Naya sebutkan tadi.

Archer yang tengah sibuk dengan ponselnya menatap Navy terkejut. "Jangan coba-coba sebarin nama itu ke siapa pun!" ucapnya dengan wajah sangar yang tak menyeramkan.

Navy terkekeh, "Iya-iya, santai, Ce."

Mereka kemudian kembali melanjutkan kegiatan, terkadang mereka membahas beberapa hal yang tengah viral. Hingga tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul lima sore, yang artinya Navy harus segera pulang agar tidak terlalu larut tiba di rumah.

***

Kini Navy sudah tiba di rumah, ia sudah membersihkan diri dan sudah makan malam. Jevas sepertinya tidak pulang malam ini, sehingga Navy terpaksa hanya makan dengan nasi dan telur dadar seadanya.

Tubuh Navy yang memang sudah terasa lemas sejak masih di sekolah tadi kini bahkan sudah seperti mati rasa. Navy pikir setelah makan ia akan kembali sehat, tetapi sepertinya tidak, ia kini bahkan merasa kepalanya sangat sakit seperti ditusuk ribuan jarum.

Navy hanya berbaring menatap langit-langit kamar Sesilia dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya. Meski sudah sering merasakan sakit yang serupa belakangan ini, Navy bahkan tidak pernah terbiasa..

"Ma, Navy bingung. Navy ga mau bikin Archer sedih kalau tau yang sebenarnya."

"Apa Navy diem aja?"

"Tapi Navy kangen Papa sama Abang, Ma ...."

Di tengah-tengah rasa sakitnya, Navy merenungi semua yang kini telah ia ketahui, semua fakta yang awalnya masih ia ragukan kini menjadi jelas saat ia melihat foto keluarga yang ada di kamar Archer hari ini.

Navy kini tahu kenapa Raden dan Jena tidak lagi menginginkannya. Archer lebih pinter, lebih baik, dia bisa bikin semua orang bahagia, Ma ... Archer berhak dapetin semua ini, Archer ga salah, tapi kenapa Navy iri? Navy jahat, Ma, Navy jahat karena iri sama kesenangan orang lain.

 Archer berhak dapetin semua ini, Archer ga salah, tapi kenapa Navy iri? Navy jahat, Ma, Navy jahat karena iri sama kesenangan orang lain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ini Raden sama Jena lama amat, ya, munculnya T_T

Hiraeth [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang