29. Berwisata

316 43 1
                                    

“Eh, Pak, Pak, sebentar!”

“Kenapa, mbak?”

“Boleh tolong minggir dulu, nggak, Pak? Kayaknya itu temen saya.”

Supir taksi itu menuruti keinginan penumpangnya. Mobil itu menyisi dan seseorang yang duduk di kursi belakang membuka pintunya.

“Kak Adel!”

Adel menoleh. Christy?

Kak! Ngapain jalan kaki? Udah malem, lho! Masa mau jogging jam segini?”

Christy berani bertanya seperti itu karena wajah Adel nampak sendu dan jalannya seperti orang mabuk. Tanpa tujuan. Ia pikir itu dapat menghiburnya meski sedikit, dan benar saja. Adel tersenyum.

“Ngapain ya...? Nggak tahu. Cari angin malem aja.”

Christy berpikir sejenak.

“Keliling kota Jakarta, yuk, Kak?”

***

Dan kita berjanji untuk berwisata
Dengan kereta menuju ke Stasiun Kota
Berjalan melewati gedung-gedung tua
Berdua, oh, senangnya

Kita melanjutkan dengan bis TransJakarta
Ke pemberhentian di dekat Istana Negara
Menikmati suasana kota Jakarta
Berwisata

Lagu 48 detik dari The Adams itu berhasil membuat Adel terlelap di tengah-tengah perjalanan. Perjalanan tanpa tujuan.

“Mbak, ini ke arah pulang di PIK aja apa gimana?”

Toya memandang Adel. Kepalanya mengarah ke atas, bangun-bangun langsung pegel nih pasti. Toya berinisiatif.

“Keliling Jaksel lagi aja, Pak. Gapapa lebih mahal juga.” Toya memiringkan kepala kakak kelasnya dengan perlahan menuju bahunya agar tidurnya tidak terusik.

Kak, kaka cantik banget. Kalo Toya jadi supir taksi, bisa-bisa kaka aku culik, kak.

Toya terus memandangi wajahnya. Ia sudah lelah, tapi terus berusaha terjaga agar terhindar dari kemungkinan terburuk. Ia juga tidak ingin melewatkan kesempatan dalam kesempitan ini. Kapan lagi ka Adel nyender di bahu aku?

Supir itu diam-diam tersenyum. “Mbak, makasih, ya.”

“Buat apa, Pak? Saya 'kan belum bayar...” Supir itu terkekeh mendengarnya. Sementara Toya kebingungan.

“Karena... Saya tahu mbak orang baik. Dan... Ini orderan pertama saya hari ini, mbak.”

Tiba-tiba saja suasana berubah menjadi mellow.

“Akhirnya saya dapat penghasilan lagi, mbak... Nggak akan dimarahin istri.”

Kedua ujung bibir Christy seolah ditarik saat mendengarnya. Membuatnya tersenyum.

***

“Jadi 750 ribu ya, Pak?”

“Iya, mbak.”

Christy segera merogoh dompetnya dengan niat menambahi lima puluh ribu. Lho, kok...?

“Eh, ini di mana...?” Adel baru terbangun, dan melihat Christy yang tampak sibuk mencari sesuatu. Ia mengucek matanya sedikit, lalu selintas ia melihat nominal 750.000. Ia mengucek sekali lagi dan melihatnya lagi di bagian depan. 750.000 pas.

HAH??

“Chris, Christy! Psst!”

“Apa, kak?” Toya masih sibuk mencari dompetnya.

“Ini... Ini beneran, hei? 750 ribu?” Adel berbisik padanya karena merasa tidak enak kepada supir.

“Iya, wajarlah. Sebentar, ya, kak. Mau cari cash dulu...”

Adel tak habis pikir. Ia yang semula masih sedikit mengantuk kini sudah sangat segar begitu melihat jumlah harga yang tertera.

Semenit kemudian Christy menemukan dompetnya, namun tidak dengan isinya. Puji Tuhan... lupa ke ATM...

“Mbak... Aman, nggak?”

Christy menelan ludahnya.

Entah dari mana tiba-tiba seseorang mengetuk kaca jendela supir.

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang