12. Trauma

793 130 44
                                    

Narael duduk kaku di kursinya, matanya tajam menatap layar presentasi di hadapannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Narael duduk kaku di kursinya, matanya tajam menatap layar presentasi di hadapannya. Tidak ada senyum yang terukir di wajahnya yang tegang, meski karyawannya sedang bersemangat mempresentasikan pameran yang akan digelar. Pameran ini, yang dulu ia nantikan dengan penuh harap, kini hanya meninggalkan rasa getir yang menusuk hatinya.

Setiap slide yang berganti seolah mengingatkannya pada rencana manis yang kini hancur berkeping-keping. Awalnya, pameran ini ia dedikasikan sebagai hadiah pernikahan untuk Alana, wanita yang ia cintai sepenuh hati. Namun kini, harapan itu pupus - pernikahan itu tak pernah terjadi, meninggalkan luka menganga di hatinya.

"Bang," suara Aji, asisten kepercayaannya, membuyarkan lamunan Narael.

Narael hanya melirik sekilas, matanya kosong tanpa emosi. Dengan gerakan lambat namun pasti, ia beranjak dari kursinya. "Cancel pameran itu," ucapnya dingin, setiap kata terasa berat dan final.

Aji, yang tidak siap mendengar perintah mengejutkan ini, terkesiap. Matanya membelalak tak percaya. "Tapi Bang, pameran ini gak bisa dibatalin begitu aja!" serunya, suaranya naik beberapa oktaf. Ia berusaha menahan Narael, mencegahnya melangkah lebih jauh.

Narael berhenti sejenak, membelakangi orang-orang yang ada hadir di rapat itu. "Lo paling tau alasan gue buat pameran itu," katanya dengan suara berat, membelakangi Aji.

Aji menelan ludah, menyadari beratnya situasi ini. "Gue tau, Bang," ucapnya hati-hati. "Tapi pameran ini udah direncanain lama. Banyak sponsor yang udah tanda tangan kontrak. Lo juga harus pikirin dampaknya ke studio dan reputasi lo."

Narael tetap tidak tergerak. Ucapan Aji seolah menguap di udara, tak mampu menembus dinding tebal yang telah ia bangun di sekeliling hatinya. Tanpa menoleh, ia melangkah keluar dari ruang rapat, meninggalkan atmosfer berat dan penuh ketegangan.

Staf lain yang ada di ruangan hanya bisa terdiam, saling melempar pandang cemas. Mereka bisa merasakan aura keputusasaan yang menguar dari bos mereka.

"Ji, gimana itu bos?" tanya Willy, salah satu staf, suaranya bergetar menahan kekhawatiran.

Aji menggaruk kepalanya frustasi. "Entar deh gue bicara lagi. Mood bang Narael kayanya jelek banget."

"Kata gue sih ini gara-gara Alana," celetuk salah satu staf lain, suaranya penuh spekulasi.

"Menurut lo salah siapa emang? Itu pameran dapat sponsor hampir 2M. Ya kali batal gara-gara mantan calon istrinya," keluh staf lainnya, nada suaranya campuran antara kesal dan tak percaya.

Aji hanya bisa menghela nafas berat. Tidak ada yang menyangka pameran yang telah disiapkan selama lebih dari setengah tahun ini akan berakhir dengan cara yang begitu mengenaskan.

"Alana kenapa deh sampai kabur dan ninggalin cowok sebaik bos. Dia gak ingat apa siapa yang bantu namanya naik?" Willy bertanya-tanya, matanya menerawang. "Lo tau gak Ji alasan Alana itu kabur?"

BLACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang