Part 27: Arletta's Anger

65 4 0
                                    

𝓐𝓻𝓵𝓮𝓽𝓽𝓪'𝓼 𝓐𝓷𝓰𝓮𝓻

۫ ꣑ৎ Happy Reading, Love ۫ ꣑ৎ

Seorang gadis bersurai kelam turun dari Aston Martin Vantage berwarna onyx black dengan nafas yang memburu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seorang gadis bersurai kelam turun dari Aston Martin Vantage berwarna onyx black dengan nafas yang memburu. Kilatan amarah terlihat di jelas di mata kucingnya. Kaki jenjangnya memasuki kafe dengan lampu-lampu neon yang menerangi fasad bangunan, menciptakan nuansa hangat di tengah malam.

Dari luar, terdengar suara tawa, denting gelas, dan obrolan ringan dari pengunjung yang sedang menikmati malam mereka. Di dalam, suasana terasa kontras dengan kegelapan malam di luar. Cahaya hangat dan lembut memancar dari lampu gantung, menciptakan suasana yang nyaman dan intim.

Meja-meja kayu dipenuhi sekelompok pemuda dan gadis yang sedang asyik bercengkerama. Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan wangi manis kue-kue dari dapur terbuka di sudut kafe. Matanya langsung tertuju pada satu meja di pojok ruangan, tempat seorang pemuda dengan rambut hitam legam duduk sambil tertawa.

Tanpa peringatan, Arletta mendekat dengan langkah tegas, dan sebelum ada yang sempat bereaksi, ia melayangkan pukulan keras ke wajah pemuda itu. Dentuman tinjunya mengenai pipi pemuda itu begitu kencang, membuat suara kafe yang tadinya dipenuhi tawa dan obrolan ringan terhenti seketika.

Gelas-gelas di meja hampir jatuh, percikan minuman tumpah, dan semua mata kini tertuju pada Arletta yang berdiri dengan nafas memburu di tengah kericuhan yang baru saja ia ciptakan. Pemuda itu terhuyung dari kursinya, kedua tangannya menyentuh wajahnya yang memerah karena pukulan.

“What the hell!” teriaknya terkejut, namun sebelum ia sempat membela diri, Arletta sudah kembali mengayunkan tangannya.

Pukulan kedua menghantam pipinya dengan keras, disusul oleh yang ketiga. Setiap pukulan penuh amarah, tanpa belas kasihan. Orang-orang di sekitar mereka terperangah, tidak ada yang berani mendekat untuk melerai. Matanya yang berkilauan dengan warna onyx penuh kemarahan tak lepas dari pemuda itu.

Dia terus memukuli pemuda tersebut, seolah menyalurkan semua rasa sakit dan pengkhianatan yang ia rasakan. Baru setelah pukulan kelima, seseorang akhirnya berhasil menahan tangan Arletta. Seorang gadis dengan wajah panik menariknya ke belakang, mencoba meredakan situasi. Tapi Arletta tak langsung tenang. Napasnya memburu, bahunya bergetar karena adrenalin yang membanjiri tubuhnya.

Dengan pandangan yang begitu tajam, hampir membakar, dia menatap pemuda yang kini terduduk di lantai, wajahnya memar dan matanya melebar karena terkejut. “How in the hell did you dare to cheat on my friend!” teriaknya dengan suara yang bergetar karena marah.

Semua mata tertuju pada Arletta, gadis yang biasanya tenang kini berubah menjadi badai yang tak bisa dihentikan. Tepat saat itu, suasana di kafe benar-benar berubah. Tak ada lagi tawa, hanya bisik-bisik pelan dan tatapan takut dari para pengunjung. Semuanya terpaku, tak berani mendekat, tak ingin terjebak dalam kemarahan Arletta yang membara.

Last but Not Least Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang