Part 12: Know Your Place

101 24 0
                                    

𝓚𝓷𝓸𝔀 𝓨𝓸𝓾𝓻 𝓟𝓵𝓪𝓬𝓮

۫ ꣑ৎ Happy Reading, Love ۫ ꣑ৎ

Suara jam dinding terdengar seperti dentingan halus namun terus-menerus, "tik-tak, tik-tak," dengan ritme yang stabil dan tak terputus. Setiap detaknya menciptakan resonansi kecil di udara, seolah-olah setiap detik yang berlalu meninggalkan jejak yang tak terlihat. Di luar, sebagian besar jendela gelap, dengan hanya beberapa unit yang menyalakan lampu.

Iris cokelat itu kembali melihat jarum jam yang tertempel di dinding. Hari sudah berganti, bahkan saat ini jarum panjang itu sudah hampir berada di angka dua belas, sementara jarum pendeknya telah tiba di angka tiga. Ia kembali menatap ponselnya, pesan yang tiga jam lalu ia kirimkan ternyata masih belum dibalas.

Kantuk mulai menyapa, ia menaikkan kedua kakinya di atas sofa dan mulai merebahkan dirinya di atas sofa. Saat baru saja sepasang iris indah itu hendak memejam, bunyi halus pintu resident's private elevator yang terbuka membuat gadis bersurai kecokelatan itu kembali terjaga.

Seorang laki-laki beriris biru datang, langkah lebarnya berjalan acuh melewati dia begitu saja. Michele bangkit dari sofa, ia menghampiri Louis yang hendak masuk ke kamar. “Kamu dari mana? Kenapa pesanku gak kamu balas?” tanya Michele halus.

Louis menghentikan gerakan ibu jarinya yang hendak membuka fingerprint door lock kamarnya. “Who the fuck are you?”

“Setidaknya kabari aku kalau kamu mau pulang terlambat atau tidak menginap di apartemen. Jadi aku tidak perlu menunggu,” ujar Michele.

“Why should I do that?” Louis melangkah pergi menuju meja makan saat merasa lapar. Dia membuka setiap tutup dari wadah saji keramik yang ternyata sama sekali tidak ada isinya. “Apa kamu tidak masak? Aku hanya memintamu mengurus apartemen dan memasak, Why can't you do that?” murka Louis.

“Aku pikir kamu tidak pulang ke apartemen malam ini. I've been sending you messages since this afternoon asking what you want me to cook, but you haven't replied yet,” kilah Michele.

Louis melempar tutup dari wadah saji keramik ke Michele, gadis itu terkejut tidak sempat menghindar sehingga bahunya terasa nyeri karena terkena lemparan Louis. "How dare you talk back, apa kamu lupa jika bukan karena aku kamu sudah jadi gelandangan saat ini,” tukas Louis.

Michele menundukkan kepalanya takut. “Maaf, Louis. What do you want to eat? Let me cook now,” ujar Michele berharap Louis akan berhenti menghardiknya.

Kaki jenjang Louis melangkah lebar menghampiri Michele. Tangan kanannya mencengkeram dagu Michele kuat, ia mendongakkan kepala Michele agar melihatnya. Mata cokelat itu menatapnya takut, tapi tidak ada rasa belas kasihan dari dalam diri Louis. Ia justru merasa ingin menghajar gadis itu karena kesal.

“Lain kali mau aku pulang atau tidak kamu tetap wajib memasak untukku. Kalau pun aku tidak pulang, tinggal buang saja masakanmu. When I return to the apartment, it should be clean and there should be food on the table,” cerca Louis kesal.

Air mata Michele meluruh menahan rasa sakit karena cengkeraman kuat dari Louis. “Apa dengan kamu menangis kamu berharap aku akan kasihan sama kamu? Jangan harap, Michele. Know your place, you have to pay for what your mother did to my family,” peringat Louis.

“Maaf, Louis.” Louis melepas cengkeramannya dengan kasar. Dia meninggalkan Michele begitu saja yang masih menangis karena takut.

ִֶָ 𓂃˖˳·˖ ִֶָ ⋆۫ ꣑ৎ⋆  ִֶָ˖·˳˖𓂃 ִֶָ

Arunika mulai menyapa pertiwi, sinar indahnya menyingkirkan cakralawa petang. Pagi-pagi sekali Michele sudah berkutat di dapur. Dia tampak sibuk mencicipi sup jagung yang baru selesai ia masak, setelah merasa sempurna akhirnya dia mematikan kompor.

Makanan di meja makan sudah tersaji semua, tinggal menunggu Louis keluar kamar untuk sarapan. Sembari menunggu Louis, Michele memutuskan untuk melanjutkan membersihkan apartemen. Sayangnya saat jarum jam telah menunjukkan pukul sebelas siang Louis tak kunjung keluar kamar membuat Michele khawatir.

Michele mengetuk kamar Louis. “Louis, I've finished cooking a while ago. Aren't you awake yet?” Tidak ada jawaban, tapi beberapa detik setelah itu pintu kamar Louis terbuka.

Paras tampan milik Louis tampak segar pagi ini, rambut kecokelatannya masih setengah basah berantakan. Iris biru itu menatap dingin Michele membuatnya mundur beberapa langkah karena takut. Louis meninggalkan Michele begitu saja, sementara Michele bergegas mengikuti Louis untuk menyiapkan makanan laki-laki itu.

“Supnya sudah dingin, apa kamu mau aku hangatkan supnya dulu?” tawar Michele lembut.

Louis hanya mengangguk acuh, dia memainkan ponselnya acuh menunggu Michele menyiapkan makanannya. Melihat Louis fokus dengan ponselnya, membuat Michele teringat kejadian lusa lalu. Ingatannya tampak samar-samar karena semua terjadi saat dia mabuk.

“Lusa lalu apa kamu yang menjemputku di club?” tanya Michele membuka pembicaraan.

“Iya, aku melakukan itu karena Arletta yang memaksaku,” balas Louis ketus.

Michele mengangguk paham. “Yang mengganti pakaianku juga Arletta?”

“Tentu saja, aku tidak sudi menyentuhmu. If it weren't for Arletta, I wouldn't even care if you came home that night or not,” timpal Louis pedas.

Bibir Michele merapat, ada rasa sakit saat mendengar jawaban pedas dari Louis. “Are you close to Arletta?” tanya Michele membuat Louis berhenti memainkan ponselnya dan beralih menatapnya.

Kedua alis tebal milik Louis menyatu. “Why are you suddenly asking that?”

“It's not like you menuruti permintaan orang lain,” ujar Michele.

“I told you she forced me,” kilah Louis.

“Menurutmu Arletta itu bagaimana?”

“She’s attractive,” celetuk Louis tanpa sadar. “Are you attracted to her?” Bukan hanya tertarik, Louis justru telah jatuh cinta dengan Arletta, tapi dia tidak mungkin mengatakan hal itu pada Michele.

“Kenapa tiba-tiba bahas Arletta?” ucap Louis mengalihkan pembicaraan.

“Aku pikir kalian dekat atau bahkan mempunyai hubungan.”

𓇼 ⋆.˚ 𓆉 𓆝 𓆡⋆.˚ 𓇼

˚ 𓇼

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Last but Not Least Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang