Happy reading!!
.
Tandain kalo ada yang typo!
.
Sudah seminggu Malik bersekolah di sini, namun hari-harinya berada di ruang osis bersama Lintar dan yang lain untuk membahas kasus yang sama. Entah kenapa semakin hari korban semakin bertambah, entah itu siswa yang hilang, atau pun yang meninggal secara misterius. Mereka harus mengumpulkan seluruh data tentang korban-korban itu dan menyerahkannya kepada pembina osis mereka.
Kepintaran Lintar dalam mengumpulkan berita ini adalah, menyalin seluruh informasi tadi ke dalam ponselnya, dengan cara meng-scan kemudian di jadikan file yang nantinya bisa ia print, jaga-jaga jika pembina osis mereka malah menyalahgunakan seluruh data itu. Pasalnya, seluruh informasi itu harus cepat-cepat diserahkan dan jangan sampai ada yang tertinggal, seperti tengah terburu-buru, untung saja Lintar masih sempat meng-scan itu semua, dibantu juga oleh para anggota osis yang lain.
Setelah lama berkutik di ruang osis, akhirnya mereka bisa kembali ke kelas masing-masing, sepanjang jalan Malik memijat kedua pelipisnya yang terasa pusing. Adakah pekerjaan osis yang seberat ini? Atau karena ini pertama kali dirinya baru menjadi anggota osis?
“Lin, gue ngerasa ada yang aneh sama pembina tadi,” cetus Malik tiba-tiba. Kakinya tetap melangkah menuju kelas tanpa terhenti sekali pun. “Gue ngeliat dia ada megang semacam secarik kertas lain, selain berkas-berkas informasi yang kita kumpulin tadi.”
Lintar mendelik, matanya menatap Malik seperti orang yang seakan ingin mengajukan banyak pertanyaan, tapi kakinya terus berjalan menyetarakan dengan langkah teman di sampingnya ini. “Lo tau itu kertas apa, atau mungkin lo ngeliat isi yang tertera di kertas itu?”
Malik menggeleng kuat, “Gue gak tau pasti, Lin. Sekilas yang gue liat tadi, mereka itu pake semacam sandi angka gitu sebagai kodenya, kalo dari urutan kayaknya si lumayan banyak.”
“Isinya apaan ya kira-kira? Apa itu nama-nama korban yang hilang atau meninggal itu, ya?” Beo Lintar. Malik hanya mengendikkan bahunya.
Tak terasa kelas mereka sudah berada di pelupuk mata, tak ada guru yang mengajar di sana, seperti biasanya. Terakhir ada guru adalah di hari rabu kemarin, itu pun hanya menjelaskan sedikit tentang Pelajaran sejarah setelah itu gurunya pergi entah kemana. Lintar dan Malik menghembuskan napas kasar secara bersamaan, lalu menuju kearah tempat duduknya.
“Eh iya, Lin, ngomong-ngomong soal korban, Lin, kenapa lo gak setujuin aja usulnya Shaka untuk ngelakuin penyelidikan? Kalo semuanya kebongkar kan kita gak perlu cape-cape lagi sama tumpukan berkas di ruang osis nanti.” Usul Malik.
Lintar yang baru saja meminum air mineralnya seketika dibuat tersedak oleh perkataan Malik. “Gak semudah itu, Lik, Kafka bilang kasus ini berbahaya, lagian kita ini cuma anak sekolah, bukan detektif, bukan juga seorang intelijen.”
“Itu dia, Lin, kenapa kita gak coba jadi keduanya aja? Detektif dan intel. Kita bisa mengintai apa yang mereka lakuin layaknya intel, dan kita juga bisa nyelidikin kasus ini layaknya seorang detektif.” Lagi-lagi Malik mengusulkan agar penyelidikan ini tetap dilaksanakan, entah ada keberanian dari mana ia bisa berbicara seperti itu. “Lin, makin hari korban semakin bertambah banyak, kita gak bisa terus diem gini aja, kalo kita gak bertindak lama-lama satu sekolah bakal jadi korban,” Lirihnya di akhir kalimat seraya memegang bahu Lintar.
“Kita bertindak pun satu sekolah bakal jadi korban juga.” Lintar menjawab dengan singkat. Ia muak jika harus dipaksa untuk melakukan penyelidikan itu, lagi pula kasus ini sangat berbahaya untuk anak sekolah seperti mereka, tapi kenapa Malik dengan rasa penasarannya itu malah semakin memaksa Lintar untuk menyetujuinya?
KAMU SEDANG MEMBACA
7 DEATH CHALLENGERS
Mistério / SuspenseMalik adalah seorang siswa yang mengikuti kegiatan pertukaran pelajar di kota Bandung. Kedatangannya di sebuah SMK terkenal di kota Bandung itu disambut baik oleh keenam temannya. Tak berselang lama setelah Malik memasuki sekolah itu, kejadian-kejad...