03. An unforgettable meet

451 71 4
                                    

Ia merasa seolah nasibnya sedang menunggu untuk ditentukan, dan mungkin, hanya mungkin, malam ini adalah titik balik dalam hidupnya. Namun, entah kenapa, ketidakpastian yang menyelubungi hatinya membuatnya tidak bisa sepenuhnya menikmati momen tersebut.

Dongjun terhanyut dalam lamunan, merenungi masa depannya yang tidak pasti, ketika tiba-tiba suara lembut memecah keheningan. “Apa yang sedang kau pikirkan?” tanyanya, nada suaranya membawa kehangatan yang menenangkan.

Dongjun terkejut, langsung menoleh ke arah suara itu. Jantungnya berdegup kencang saat melihat sosok yang ia tabrak semalam—yang mulia. Detak jantungnya semakin cepat, merasakan kedekatan mereka yang begitu nyata, deru napas masing-masing terhampar di antara mereka.

“Ah… tidak ada apa-apa,” jawab Dongjun, berusaha menenangkan diri meskipun raut wajahnya pasti menunjukkan kebingungan.

Yang mulia mengangkat alisnya, terheran. Tanpa banyak bicara, ia mengambil tempat di sebelah kiri Dongjun. Mereka duduk dalam keheningan yang cukup lama, hanya suara pesta yang menggema dari kejauhan mengisi ruang di antara mereka. Dongjun merasa canggung, tetapi sekaligus terpesona oleh kehadiran yang mulia yang kini duduk di sampingnya.

Akhirnya, yang mulia membuka suara, memecah keheningan. “Bukankah kau yang menabrakku semalam? Karena mabuk, bukan?”

Dongjun menelan ludah, merasakan wajahnya memanas. “Iya, itu diriku. Maafkan aku… aku tidak sengaja,” jawabnya, berusaha terlihat tenang meskipun rasa malu menyelimuti.

Yang mulia tertawa lembut, suaranya meredakan ketegangan di antara mereka. “Tidak apa-apa. Malam itu memang penuh dengan kegembiraan, bukan? Aku melihatmu di kerumunan, tapi tidak menyangka kita akan bertemu lagi di sini.”

Dongjun menatapnya, merasa sedikit lebih nyaman. “Aku hanya… ingin menikmati perjamuan ini. Dan mungkin menemukan tujuan baru.”

“Tujuan baru?” tanya yang mulia, menekankan setiap kata. “Apa sebenarnya tujuan barumu?”

Dongjun mengedikkan bahunya, tanda bahwa ia tidak benar-benar tahu. “Aku belum bisa menjelaskannya. Hanya merasa perlu untuk menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar hidup sehari-hari.”

Pangeran mengangguk, memahami kebingungan Dongjun. “Terkadang, perjalanan itu lebih penting daripada tujuan itu sendiri. Mungkin kau akan menemukan jawabannya di tempat yang tidak terduga.”

Setelah percakapan yang penuh makna itu, keduanya terdiam, menikmati suasana pesta. Musik yang ceria dan tawa tamu-tamu membaur dengan pemandangan kembang api yang memukau di langit malam. Kembang api meledak dengan warna-warni yang indah, menciptakan momen magis di antara mereka.

Dalam keheningan, Dongjun merasakan kedamaian yang aneh, seolah waktu berhenti dan hanya ada mereka berdua. Namun, saat suara kembang api semakin redup dan malam semakin larut, realitas kembali menyapa.

Akhirnya, Dongjun menatap yang mulia. “Sebelum aku pergi, bolehkah aku megetahui namamu?”

“Nama ku adalah Ye Dingzhi,” jawabnya dengan senyum.

Dongjun tersenyum kembali, merasakan suatu ikatan yang aneh. “Aku tidak akan melupakan namamu, Pangeran Ye Dingzhi.”

Pangeran terlihat sedikit kecewa, tetapi ia mengangguk. “Tentu, Dongjun. Senang bisa berbicara denganmu malam ini. Semoga kita bertemu lagi.”

Dengan langkah mantap, Dongjun meninggalkan tempat itu, merasa bahwa malam ini telah membawa sebuah harapan baru, sekaligus pertanyaan yang masih harus dijawab. Namun, ia tahu satu hal—pertemuan ini tidak akan terlupakan.

Setelah meninggalkan pintu gerbang Hóng Yún, Dongjun sempat menengok ke belakang, berharap melihat sosok Ye Dingzhi. Namun, pemuda itu sudah menghilang dalam sekejap, seolah ditelan oleh kerumunan. Dengan senyum tipis di bibirnya, Dongjun melanjutkan langkahnya, hatinya bergetar dengan kenangan indah malam itu.

Ia berhenti di sebuah kedai arak kecil, terletak di sudut jalan yang tidak terlalu ramai. Bau harum arak menyambutnya saat ia masuk, dan ia merasakan suasana hangat dari lampu-lampu yang redup.

“Selamat datang, Nak,” sapa seorang wanita tua yang mengelola kedai itu. Senyum manisnya menghangatkan hati. “Apa yang bisa ku bantu?”

Dongjun menatap wanita itu. “Mengapa kau tidak hadir di pesta yang diadakan Sang Raja? Bukankah itu kesempatan yang baik?”

Wanita tua itu menggelengkan kepala, senyumnya tidak pudar. “Ah, aku sudah tidak muda lagi. Aku takut jika datang ke sana, hanya akan mengganggu orang-orang muda yang sibuk berpesta. Aku lebih memilih di sini, tempat yang nyaman.”

Dongjun memahami perasaannya dan mengangguk setuju. “Memang, terkadang kebahagiaan sederhana lebih berarti.”

Malam itu, ia memesan lima arak khas daerah selatan. Harganya selangit, tetapi Dongjun tidak terlalu peduli. Uang hasil menipunya dalam ramalan membuatnya merasa berani.

Setelah beberapa gelas, efek arak mulai terasa. Dia merasa hangat di dalam, tetapi seiring berjalannya waktu, penyesalan mulai menyelinap. “Kenapa aku tidak memilih mabuk di pesta tadi?” pikirnya. “Mungkin aku tidak akan mengeluarkan uang sebanyak ini.”

Kepalanya berdenyut-denyut, rasa sakit yang mengganggu membawanya kembali ke kenyataan. “Baiklah, sudah saatnya pulang,” gumamnya, meraba kantong sompetnya yang mulai menipis.

Dengan langkah goyah, Dongjun meninggalkan kedai, merenungkan keputusan yang ia buat malam ini. Dingin malam menyapa wajahnya, dan ia berharap dapat kembali ke gubuk tuanya tanpa terlalu banyak keributan di kepalanya.

Saat ia berjalan pulang, wajah Ye Dingzhi terus menghantui pikirannya. Mungkin pertemuan mereka bukanlah kebetulan. Mungkin, justru ada sesuatu yang lebih besar menantinya di masa depan. Dalam benaknya, ia juga teringat pesan wanita tua yang mengingatkan bahwa ia akan mengandung seorang anak kembar, itu sangat lucu.


Ketika Dongjun akhirnya sampai di gubuk tua yang dianggap rumahnya, ia merasakan sesuatu yang aneh. Bau aneh menyengat hidungnya, dan ia mencium kejanggalan di udara. Tanaman di depan rumahnya layu, daun-daun yang seharusnya hijau segar kini tampak tercabik-cabik, seolah-olah sesuatu yang buruk telah terjadi. Meskipun pandangannya kabur akibat efek arak, ia bisa merasakan ada yang tidak beres.

Dengan hati-hati, Dongjun membuka pintu gubuknya dan melangkah masuk. Ia mengawasi langit-langit yang rendah, berharap menemukan jawaban. Di dalam, suasana tampak tenang, tidak ada yang aneh. Namun, pikirannya masih terbebani oleh pemandangan tanaman yang sekarat di luar. “Apa yang terjadi di sini?” pikirnya. “Seolah-olah malapetaka mengintai.”

Belum sempat ia memecahkan kebingungan itu, suara teriakan seorang wanita terdengar dari luar. Dongjun terkejut dan berlari terhuyung, menembus pintu gubuk untuk melihat apa yang terjadi.

Di luar, keributan semakin membesar. Ia melihat seorang wanita berteriak histeris, berdiri di samping anjing peliharaannya yang tergeletak tak bernyawa. Anjing itu tampak lemas, seolah-olah tersihir oleh sesuatu yang jahat. Hatinya tercekat melihat pemandangan itu, dan ia merasa seolah ada sesuatu yang sangat salah dengan keadaan di sekitarnya.

Pepohonan dan tanaman di sekitar gubuknya juga ikut layu dan mati, menambah suasana mencekam di malam yang seharusnya damai ini. “Apa yang terjadi?” tanyanya, mendekati kerumunan yang semakin panik.

Semua orang mulai berteriak histeris, mengabaikan euforia yang mereka rasakan di pesta istana beberapa saat lalu. Mereka merasakan bahwa sesuatu yang lebih besar sedang mengancam kota. Kengerian melanda, dan Dongjun merasakan getaran yang dalam di dalam dirinya.

“Ini bukan hanya kebetulan,” bisik hati kecilnya. “Ada sesuatu yang lebih jahat yang mengintai.”

To be continue

Betrayed | YebaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang