04. Died

251 49 4
                                    

“Ini bukan hanya kebetulan,” bisik hati kecilnya. “Ada sesuatu yang lebih jahat yang mengintai.”

Dongjun terhuyung mundur ketika melihat pemandangan di depan matanya. Tubuh-tubuh pepohonan yang layu, anjing mati, dan penduduk yang panik, semuanya berpusar menjadi satu, menciptakan kekacauan tak terkendali. Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang lebih jahat, sesuatu yang lebih mengerikan—seolah udara di sekelilingnya dirasuki oleh kekuatan yang tidak bisa dijelaskan.

Di tengah histeria yang melanda, angin malam tiba-tiba berubah, membawa serta aura yang mengancam. Suhu turun dengan cepat, embun beku merambat di atas tanah, menutupi pepohonan yang sudah layu. Teriakan penduduk mulai mereda, bukan karena keadaan membaik, tetapi karena sesuatu yang lebih menakutkan muncul di hadapan mereka.

Dari kejauhan, langkah-langkah berat terdengar. Di bawah cahaya bulan yang redup, sosok yang familiar mulai tampak. Dongjun memicingkan mata, berusaha memastikan siapa yang datang, tetapi tubuhnya membeku ketika akhirnya menyadari siapa yang berdiri di tengah kerumunan yang kini sunyi—Ye Dingzhi.

Namun, ada yang berbeda dari sosok itu. Mata Ye Dingzhi yang dulunya tenang kini bersinar merah seperti bara api, dan senyum tipis yang biasanya penuh kelembutan kini berubah menjadi seringai jahat yang membuat bulu kuduk Dongjun meremang.

"Ye Dingzhi...?" bisik Dongjun, suara hatinya bergemuruh penuh ketakutan dan kebingungan. Mengapa? pikirnya, seolah mencoba meraba alasan di balik perubahan drastis ini.

Tanpa memberi kesempatan kepada siapa pun untuk bertanya atau melawan, Ye Dingzhi mengangkat tangannya dengan anggun, dan sebuah gelombang energi hitam menyapu sekelilingnya. Dalam sekejap, sisa-sisa kehidupan yang masih tersisa di kota Hóng Yún tampak terhisap, seolah-olah kota itu dilahap oleh kegelapan yang tak berujung. Tawa jahatnya menggema, memenuhi setiap sudut kota.

"Orang-orang Hóng Yún," serunya dengan suara rendah namun penuh kekuatan, "malam ini, nasib kalian berubah."

Dongjun memandangnya dengan kengerian yang semakin menjadi-jadi. “Apa yang kau lakukan?” teriak seseorang dari kerumunan, suaranya pecah dalam ketakutan.

Ye Dingzhi hanya tersenyum lebih lebar, langkahnya perlahan mendekati pusat kota, tatapannya menyapu para penduduk yang gemetar. "Kalian semua adalah milikku sekarang," katanya dengan nada yang begitu tenang namun mematikan. "Hóng Yún sekarang berada di bawah kekuasaanku."

Dongjun menahan napas, pikirannya kalut dengan ribuan pertanyaan. Bagaimana mungkin? Mengapa ini terjadi?

Ye Dingzhi berhenti di tengah-tengah alun-alun, tepat di depan patung Raja Lei Mengsha yang megah. Dengan tatapan dingin, ia melirik patung itu, sebelum berbalik menghadap orang-orang yang ketakutan. “Lei Mengsha... rajamu... sudah mati,” ucapnya pelan, seolah setiap kata adalah kutukan yang menggema dalam hati setiap orang.

Teriakan kaget dan tangis kesedihan memenuhi udara. Dongjun tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Raja Lei Mengsha, pemimpin yang mereka hormati, yang melindungi kota dengan kekuatannya—telah dibunuh?

“Kau... membunuhnya?” tanya Dongjun, suara kecilnya bergetar di antara deru napas yang semakin cepat.

Ye Dingzhi hanya menoleh sekilas ke arah Dongjun, matanya menyala seperti api. "Ia bukan lawanku, dan sayangnya, ia tidak cukup kuat untuk melawan takdir. Sekarang, akulah yang memegang kendali."

Dongjun merasa tubuhnya lemas, hatinya berdenyut-denyut penuh ketakutan. Aura gelap yang mengelilingi Ye Dingzhi semakin tebal, dan Dongjun merasakan kehadiran kekuatan jahat yang jauh lebih besar dari sekadar ambisi pribadi. Ada sesuatu yang mengerikan di balik senyuman mengerikan itu.

“Aku tidak percaya…,” gumam Dongjun pelan, kepalanya terasa berputar. Bagaimana mungkin Ye Dingzhi yang ia temui semalam bisa menjadi monster seperti ini? Apa yang telah terjadi pada pria yang penuh kehangatan dan kebijaksanaan itu?

Dengan gerakan cepat, Ye Dingzhi mengangkat tangannya, menciptakan pusaran angin yang berwarna gelap. “Sekarang, waktunya bagi kalian untuk memilih,” katanya, suaranya penuh dengan ancaman. “Apakah kalian akan tunduk padaku, atau memilih untuk hancur bersama kota ini?”

Dongjun menatapnya, tubuhnya bergetar hebat. Ia tahu, pilihan itu bukanlah hal yang mudah. Kegelapan telah merasuki setiap sudut kota ini, dan ia bisa merasakan bahwa tidak ada tempat yang aman lagi di bawah kendali Dingzhi. Namun, di lubuk hatinya, Dongjun tahu ia tidak bisa hanya berdiam diri.

Sesuatu harus dilakukan—tapi apa?

To be continue

Betrayed | YebaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang