Keangkuhan Bangsawan

292 23 2
                                    

Mentari perlahan mengangkat tubuhnya, kembali menaiki tahtanya di angkasa, mengusir sisa-sisa kegelapan malam dengan keanggunan cahaya keemasan yang lembut, namun penuh wibawa. Sinarnya menari di antara dedaunan yang masih basah oleh embun pagi, sementara udara hangat mulai menghapus dingin yang menyelimutinya. Di kejauhan, terdengar suara dentingan logam yang bergema di arena latihan istana, seperti alunan simfoni perang yang tenang, namun memancarkan ketegangan yang menggantung di udara. Dua pemuda gagah tengah saling mengadu kemampuan berpedang mereka, tubuh mereka melesat cepat dalam gerakan yang penuh kehormatan dan ketegangan.

Pemuda yang lebih muda, tampak kehabisan tenaga. Keringat membasahi dahinya, sementara napasnya memburu, tak beraturan. Setiap tarikan napas seperti menambah beban pada langkahnya yang mulai goyah. Di sisi lain, lawannya pemuda bermanik obisidian tetap berdiri teguh, memancarkan ketenangan dan keyakinan yang mengintimidasi. Setiap ayunan pedang dari adiknya tertahan dengan sempurna, seolah ia hanya bermain-main, menikmati pertarungan tanpa sedikit pun beban.

Di kejauhan, dua makhluk adam muncul dengan langkah tergesa-gesa, menyusuri jalan setapak menuju arena. Mata mereka menyiratkan urgensi, namun ketidakberanian menahan langkah mereka. Sesuatu yang penting mereka bawa, tidak cukup kuat untuk menghentikan adu senjata di hadapan mereka.

Jagsha, pemuda bermata dengan hidung prosotan, yang sadar akan kehadiran mereka, memilih untuk mempercepat tempo serangannya. Pedangnya berkilat di bawah sinar matahari, gerakannya menjadi lebih cepat dan mematikan, bagaikan bayangan yang mengintai dalam keremangan. Membuat sang adik semakin terdesak, hingga akhirnya pedangnya terlepas dari genggaman dan jatuh ke tanah, tenggelam dalam debu, sebuah simbol kekalahan yang tak terbantahkan.

Saat itulah Rakan dan Saka melangkah lebih dekat. "Gendhis kemarin bertemu dengan gadis itu," bisik Rakan perlahan, suaranya mengambang di udara, menyelinap masuk ke telinga Jagsha yang selalu waspada.

Mendengar kata-kata itu, raut wajah Jagsha yang biasanya dingin dan tak tersentuh tiba-tiba merekah, sekelabat cahaya melintas di matanya yang hitam pekat. Penantian panjang itu akhirnya usai. Gadis yang selama ini ia sebut Dhiajeng, sosok yang telah menghilang dari hidupnya tanpa jejak, kini kembali menampakkan diri. Gadis yang selama ini menghantui pikirannya, membangkitkan kebingungan di hatinya yang kokoh.

Penjaga Rumah amal yang menjadi saksi pertemuan mereka pun hanya menyajikan jawaban yang penuh ketidakpastian, seolah-olah gadis itu hanyalah bayangan yang hilang bersama angin. Namun, ia tidak memaksa—tak pernah memaksa. Dia memilih mencari dengan caranya sendiri.

Bahkan di tengah kesibukan tugasnya sebagai Yuwaraja, menjelajahi desa-desa yang berada di bawah naungan kerajaannya, demi menyelesaikan berbagai persoalan yang menuntut kehadirannya, ia tetap menyisihkan waktu untuk mencarinya. Setiap desa yang ia kunjungi, setiap tempat yang ia singgahi, adalah harapan kecil untuk menemukan si gadis. Namun, harapan itu selalu pupus—hingga hampir membuatnya putus asa. Namun kini, setelah perjalanan panjang itu, secercah harapan kembali muncul. Gadis itu telah kembali.

~o0o~

"Anda tidak menemuinya?" Saka bertanya dengan nada penuh keheranan, matanya menyusuri sosok sang yuwaraja yang terlihat begitu tenang di tengah kekacauan tumpukan dokumen kerajaan yang berserakan di atas meja kayu, sebuah pemandangan yang kontras dengan rasa heran yang mengendap di benak orang-orang di sekitarnya.

"Tidak sekarang," jawab Jagsha singkat, suaranya datar, namun sarat dengan kelelahan yang tak terucap. Tangannya bergerak mengurut pelipis, mencoba mengusir sisa-sisa rasa letih yang menggantung di tubuhnya seperti bayang-bayang malam yang enggan pergi.

"Kapan waktu yang tepat itu, Yuwaraja? Anda telah mencarinya selama berbulan-bulan, namun setelah akhirnya anda mengetahui keberadaannya, kenapa justru berdiam diri di sini?" Rakan berseru, nada kesal menyusup dalam setiap katanya meski ia berusaha menjaga sopan santun di hadapan sang Yuwaraja. Kebingungannya semakin jelas terpancar dalam sorot matanya.

Panggung Kraton: Mahkota Untuk Sang SelirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang