Cahaya Ilahi

1.3K 51 4
                                    

"Ini adalah penghinaan yang tak terperi! Bagaimana mungkin seorang bangsawan mulia dijadikan Bendara Raden Ayu, sementara rakyat jelata yang hina dina diangkat menjadi Gusti Kanjeng Ratu?" teriak salah seorang bangsawan, suaranya menggelegar, sementara urat-urat lehernya menonjol seakan siap meledak. Seruan itu segera disambut oleh sorakan setuju dari para bangsawan lainnya, suara-suara mereka membuncah dengan kemarahan dan ketidakpercayaan. Siapa yang rela ditempatkan di bawah kaki rakyat jelata, yang barangkali tak tahu cara mengeja namanya sendiri?

Kericuhan ini meledak ketika Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom, dengan langkah tegas, menggandeng seorang wanita berpakaian lusuh dari tempat yang tak dikenal, menaiki altar agung penobatannya. Dengan sikap penuh keyakinan, ia mengabaikan gadis bangsawan yang turut berada di sana dengan kepala tertunduk, ia masih mengenakan gaun pengantin yang bahkan belum sempat diganti. Gaun itu, yang beberapa saat lalu memancarkan kemegahan, kini hanya menjadi saksi bisu dari takdir yang berbalik begitu kejam dan tak terduga.

~o0o~

"Bendara Raden Ayu Bhintari Arundaya, telah melakukan pengkhianatan keji dengan meracuni Ratu Gendhis, hingga merenggut nyawa bayi yang masih suci dalam kandungannya. Maka dengan ini, aku, Prabu Jagsha Abhitra, mencabut gelar Bendara Raden Ayu darinya dan menjatuhkan hukuman mati atas dosa yang tak termaafkan ini," ujar sang Prabu, suaranya serupa es yang tajam dan mematikan, tak sedikitpun bergetar dalam kekakuannya.

Iris obisidiannya menyala dingin, seperti bara hitam yang tersembunyi di balik ketenangan mematikan. Tatapan tajam itu menusuk tanpa ampun ke arah sosok wanita dengan penampilan lusuh yang kini berlutut di hadapannya, tubuhnya gemetar ketakutan. Dia tampak begitu kecil dan tak berdaya, namun tak ada belas kasih di mata suaminya. Di sekeliling mereka, seluruh rakyat menyaksikan pemandangan yang mengerikan di panggung eksekusi alun-alun kerajaan, tempat di mana keadilan ditegakkan dengan tangan besi, tanpa ada belas kasihan. Hembusan angin seolah membawa keheningan yang mencekam, mengisi setiap sudut alun-alun dengan ketegangan yang tak tertahankan.

~o0o~

Lampu-lampu terang yang menghiasi bingkai cermin besar di ruang make up itu hampir menyilaukan mata. Ruangan itu dipenuhi dengan aroma parfum mahal, campuran bedak, dan sedikit aroma kopi yang menguar dari cup berukuran besar di sudut meja. Di atas meja rias, berbagai palet make up tersusun rapi di samping tumpukan majalah mode dan satu novel tebal dengan sampul yang mencolok. 

Di tengah ruangan, seorang wanita duduk di kursi riasnya, diam membisu, meski amarah yang membara di matanya berbicara lebih keras dari seribu kata. Dia adalah seorang artis papan atas, idola banyak orang, dengan senyum yang bisa menghentikan waktu dan talenta yang menaklukkan dunia. Tapi sekarang, senyum itu lenyap, tergantikan oleh rahang tirus yang mengeras dan tangan yang gemetar. Ruang make up itu mendadak terasa sempit, penuh dengan kemarahan yang siap meledak kapan saja. 

"Si bajingan ini, dia bahkan belum menyelidikinya!" umpat wanita itu dengan nada penuh amarah, surai caramelnya bergoyang liar saat ia memukul meja riasnya dengan kuat, membuat peralatan make up dan cermin bergoyang sedikit. Novel itu terhempas ke lantai dengan bunyi gedebuk yang berat, cukup kuat untuk membuat dua orang yang tengah memoles wajahnya tersentak kaget. Mereka saling bertukar pandang, lalu menghela napas panjang, seolah adegan seperti ini sudah menjadi bagian rutin dari pekerjaan mereka.

"Dasar aneh, aku baru tahu ada orang yang bisa membenci tokoh utama dari novel yang sedang dibacanya," sahut seorang gadis berkulit eksotis, senyumnya tipis namun tak lepas dari tumpukan kertas di hadapannya.

"Ayolah, ini hanya novel romansa. Sebuah kisah dongeng klasik, semacam Cinderella. Kisah pangeran dan gadis jelata, cinta yang mengatasi batasan kasta, cinta yang begitu kuat hingga semua orang terpesona—kecuali kau, tentu saja," lanjutnya sambil mengayunkan nada bicaranya seolah tengah berpuisi, dan berakhir dengan kekehan kecil.

"Aku tidak suka tokoh utama wanitanya. Dia terlalu lemah, hanya bisa diam dan menangis. Bagaimana bisa seseorang selemah itu menjadi pusat cerita? Dan si bajingan itu, aku punya segudang umpatan untuknya," jawab wanita itu, matanya yang besar seperti manik rusa memancarkan kilatan kebencian, sementara bibir tipisnya mencebik dengan kesal.

Tak peduli seberapa banyak pujian yang diberikan pembaca lain untuk sang pangeran, di matanya, dia hanyalah seorang pengecut yang menyembunyikan kekejian di balik topeng cinta. Dia berani menentang seluruh dunia demi cintanya, tapi apakah cinta bisa menghapus dosa-dosa yang telah diperbuatnya? Ugh, dia mual membacanya, merasa muak pada semua kebohongan yang dibalut oleh kata-kata manis itu.

"Itu bukan alasan yang masuk akal hingga kau memilih berpihak pada tokoh antagonis. Novel yang seharusnya berakhir dengan kebahagiaan justru menjadi tragedi di matamu. Lagipula, tokoh utama selalu menjadi pemenang pada akhirnya," sambut gadis berkulit eksotis itu, suaranya ringan, namun terdapat secercah rasa ingin tahu yang terpancar dalam tatapannya.

"Kalau begitu, aku harus melawan takdir. Akan ku teror penulis cerita ini sampai dia mengganti endingnya," jawab wanita itu dengan nada menggoda, senyumnya tipis namun penuh arti. Namun di balik sorot matanya yang penuh kilauan karamel, tersimpan keseriusan yang tak bisa diabaikan, seakan tekadnya adalah sesuatu yang mutlak.

"Kau ingin menciptakan skandal?" omel Hailey dengan nada menyoal, sambil bangkit dari tempatnya. Ia menoyor pelan kepala sang aktris, sebuah gestur penuh keakraban yang disertai senyuman kecil di bibirnya. Lalu dengan gerakan elegan, ia menyerahkan sebuah kotak perhiasan berlapis beludru biru, di dalamnya terletak sebuah kalung berlian yang memancarkan kilau cahayanya sendiri. "Sudahlah, ini hadiah dari fansmu. Lagipula, sepertinya cocok dengan pakaianmu."

Suasana tegang yang sempat menyesakkan ruangan itu perlahan-lahan mencair, berganti dengan gelak tawa yang lembut, mengalir di antara mereka seperti angin musim semi yang menyapu lembut. Namun di balik tawa itu, ironi masih terasa menggantung di udara, seperti bayangan samar yang enggan benar-benar menghilang.

~o0o~

"Zayliee Avyanna!" seruan MC menggema di udara, memanggil nama sang aktris papan atas yang beberapa saat lalu dipenuhi amarah lantaran sebuah novel. Kini, dengan anggun dan memukau, Zayliee melangkah di atas karpet merah, senyum manis menghiasi wajahnya yang sempurna. Seolah badai emosi yang baru saja melandanya hanyalah bayang-bayang masa lalu yang tak meninggalkan jejak.

Kerumunan penonton bersorak dengan riuh rendah, seruan mereka berlomba-lomba memanggil namanya, memperlihatkan seberapa besar daya tarik dan ketenaran yang dimilikinya. Kilatan lampu kamera berkilau seperti bintang-bintang yang bersinar terang di malam hari, berusaha mengabadikan setiap detik dari kehadirannya.

"Lihat ke sini!"

Seruan itu membuat Zayliee menoleh dengan anggun, mengarahkan tatapan matanya yang tajam ke arah sumber suara yang memanggilnya. Namun, dalam sekejap, sebuah cahaya yang amat terang menerjang pandangannya, jauh lebih menyilaukan daripada kilatan flash kamera biasa. Cahaya putih itu menyerbu matanya dengan kekuatan yang tak terduga, seperti pisau tajam yang menusuk langsung ke dalam kesadarannya.

Zayliee merasakan kepala berdenyut hebat, rasa sakit itu datang begitu tiba-tiba, seperti gelombang yang menghantam tanpa peringatan. Refleksnya membuat dia menutup matanya dengan kasar, seakan mencoba menghalau rasa sakit yang menyerang secepat kilat itu. Sensasi mual bercampur pusing mulai merayapi pikirannya, membingungkan inderanya.

Sejenak, dunia di sekitarnya terasa memudar, suara-suara riuh yang tadinya memenuhi udara menjadi samar, seolah-olah tertelan oleh pusaran yang terpusat di sekitar kilauan cahaya menyakitkan itu. Zayliee berdiri terpaku di tengah gemerlap karpet merah, berjuang untuk menjaga keseimbangannya yang mendadak terasa goyah. Pikirannya berputar, kabur oleh cahaya yang seolah-olah ingin merenggut seluruh kesadarannya, menyelimuti dunianya dalam kehampaan yang menakutkan.

Panggung Kraton: Mahkota Untuk Sang SelirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang