Mekarnya Bunga Cinta

320 25 6
                                    

"Aku hanya ingin berteman. Jika kau tidak suka, katakan saja baik-baik padaku. Mengapa kau melakukan ini?" Suara gadis itu terdengar lirih, seperti serpihan bisikan yang hampir hanyut ditiup angin, getir dan takut. Kepalanya tertunduk, sementara bayangan ketakutan bersemayam di matanya yang berkabut.

"Beraninya kau!" Teriakan menggema dari bibir seorang pria paruh baya, wajahnya merah padam, penuh murka—sang Prabu dari negeri seberang. Di sisinya berdiri Kanjeng Gusti Prabu dan Gusti Kanjeng Ratu, sosok-sosok agung yang diam namun menyiratkan kewibawaan menekan. Para pejabat berkumpul di sekitar mereka, termasuk Rakyan Tumenggung, yang tatapannya sarat dengan kecemasan saat menyaksikan putrinya diperlakukan seperti itu. Sejenak, Tumenggung ingin bicara, namun lidahnya kelu ketika sebuah suara berat dan dalam tiba-tiba memecah keheningan.

"Dhiajeng..." Panggilan itu berasal dari Jagsha, yang tengah melangkah cepat melewati kerumunan yang kini membeku, setiap orang menoleh, terpaku oleh getaran lembut namun mengintimidasi dalam suara itu. Tubuh Zayliee menegang, kenangan samar akan kisah yang pernah ia baca menyeruak ke benaknya, menghidupkan kembali babak pahit yang begitu ia kenali. Hatinya mencelos, seakan panas tamparan yang tertulis dalam novel kini menyengat pipinya, membayangi takdir kelam yang menanti.

"Bagaimana bisa Anda memilih gadis rendahan seperti ini?" ujar Prabu dari negeri seberang, nadanya tajam penuh penghinaan, matanya menyipit seakan Zayliee tak lebih dari bayangan di lantai. "Lihat apa yang dia lakukan pada putriku!" lanjutnya, jari telunjuknya menuding dengan keangkuhan yang nyaris melukai udara.

Jagsha berbalik menghadap Zayliee, matanya menyapu wajahnya dengan intensitas yang tidak bisa ia sembunyikan. Suaranya, lembut namun menusuk, bertanya, "Apakah itu benar?" Pertanyaan sederhana itu meluluhlantakkan pertahanan Zayliee, dadanya serasa dihimpit, namun ia menguatkan diri, mengabaikan ketegangan yang merambat di tengkuknya.

"Benar. Apa ada masalah?" jawabnya datar, nadanya sengaja diredam, seperti mencoba menantang takdir. Di balik ketenangannya, detak jantungnya menggebu, resah menanti jawaban Jagsha. Akankah pria itu memilih jalur yang sama seperti di novel—tamparan keras dan kata-kata tajam yang mengoyak hatinya?

"Mengapa Dhiajeng masih bertanya?" balas Jagsha, lembut, nyaris berbisik. Senyum gadis di hadapannya perlahan memudar, keyakinan semunya retak saat pria itu melanjutkan dengan tegas, "Bagaimana jika teh panas itu mengenai Dhiajeng? Jika dia menyinggung Dhiajeng, katakan saja pada saya. Jangan mengotori tangan Dhiajeng untuk hal semacam ini."

Dengan gerakan lambat namun pasti, Jagsha menangkup wajah Zayliee, telapak tangannya yang hangat menyentuh lembut pipi Zayliee, memberikan kehangatan yang asing namun menenangkan. Zayliee terperanjat, tatapannya membulat, dikejutkan oleh kedalaman kasih yang mendadak menyelimuti dirinya. Sejenak, ia lupa pada segala ketakutan yang membayangi, seolah perlakuan Jagsha menghapus noda kecemasan yang membelenggu hatinya.

Zayliee akhirnya menyadari situasi ini dengan seulas senyum yang pelan-pelan menghiasi wajahnya. Keraguan yang menyelimuti hatinya lenyap, berganti dengan rasa percaya yang baru saja bertunas untuk pemuda di hadapannya. "Saya selalu mengakui kesalahan yang saya lakukan," katanya tenang, sembari jemarinya menyentuh lembut jari kokoh Jagsha sebelum ia melepaskan diri. Dengan ketenangan yang tidak terduga, ia berbalik, mengangkat teko porselen di meja belakangnya, dan tanpa ragu, menyiramkan isinya ke arah gadis itu.

Gadis itu pun menjerit, suaranya memecah udara sementara teh panas menyengat kulitnya, meninggalkan bercak merah yang terlihat jelas di lengan dan pipinya. Sang Prabu dari negeri seberang bergerak cepat, memeluk putrinya yang gemetar ketakutan, lalu menatap Zayliee dengan mata yang berkilat penuh kemarahan. "Apa orang tuamu tidak mengajarkan tata krama?" sambarnya dengan nafasnya berderu, menghembuskan amarah yang begitu kuat hingga udara di sekitarnya terasa bergetar. Tangan besarnya terangkat, hendak melayangkan tamparan.

Panggung Kraton: Mahkota Untuk Sang SelirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang