Suara tawa mereka melayang lembut, terhanyut bersama angin sepoi-sepoi yang menyelinap di antara pepohonan rindang, bagai desahan rahasia alam yang berbisik di bawah sinar mentari. Dua gadis itu duduk di tepi danau yang tenang, permukaannya berkilauan seperti dipenuhi serpihan emas yang menari bersama riak kecil. Kain basah yang masih melilit tubuh mereka mulai mengering di bawah terik matahari yang perlahan-lahan menghangatkan kulit mereka. Hutan di sekeliling menyelimuti mereka dalam keheningan, hanya diiringi oleh gumaman serangga dan gemerisik dedaunan yang tersapu angin.
"Ke mana para pria itu? Apa lebah-lebah itu benar-benar berhasil mengusir mereka?" gumam gadis dengan manik teduh, matanya menyipit, mencoba menembus kabut kesunyian yang menyelimuti hutan, seolah ingin menemukan jawaban di antara pepohonan yang diam.
Zayliee tertawa kecil, suaranya nyaris tenggelam oleh semilir angin yang sejuk. "Entahlah, tapi yang jelas mereka sudah jauh dari sini. Dan yang paling penting, kita selamat," katanya, matanya berkilat-kilat, mencerminkan kelegaan yang tak sepenuhnya terucapkan.
Si gadis mengangguk pelan, senyum lega menghiasi bibirnya, pandangannya kembali jatuh pada permukaan danau yang tenang. "Bagaimana bisa kau terpikirkan cara seperti itu?" tanyanya, suaranya terdengar bimbang, penuh keingintahuan.
Zayliee mengangkat bahu dengan santai, seolah ide cemerlang itu hanyalah gerak spontan tanpa pemikiran mendalam. "Tidak tahu, mungkin naluri? Yang pasti, itu berhasil menyelamatkanmu, kan?"
Si gadis tersenyum tipis, kemudian menarik napas panjang, membiarkan udara hutan yang sejuk memenuhi paru-parunya. Matanya beralih, menatap Zayliee dengan lebih tajam, ada sesuatu yang tak terucap dalam tatapannya. "Tapi... siapa kau sebenarnya? Dan bagaimana bisa kau menemukanku di tempat seperti ini?"
"Oh, itu..." Zayliee tersenyum penuh teka-teki, senyumnya mengandung rahasia yang belum terungkap. "Seorang wanita paruh baya yang putus asa memintaku menolongmu."
Ia kemudian menepuk dadanya dengan ringan, bibirnya melengkung dalam canda. "Kenalkan, Bhintari Arundaya, putri dari Rakryan Tumenggung," katanya, menambahkan nada bangga dalam suaranya, seolah perkenalan itu adalah bagian dari permainan.
Si gadis terbelalak, alisnya terangkat dalam keterkejutan yang tak tersembunyikan. "Bhintari Arundaya? Kau gadis manja itu?" tanyanya dengan tatapan penuh selidik, menelusuri Zayliee dari atas hingga bawah, seolah mencari sesuatu yang tak cocok dengan kabar yang ia dengar.
"Apa yang salah dengan manja?" Zayliee mengerling tajam, meski senyum nakal masih menghiasi wajahnya. Sebuah kerlip kecil di matanya seakan menantang balik penilaian si gadis.
"Hei, kelihatan sekali kau suka menggunjing," Zayliee menyahut cepat, bibirnya melengkung dalam senyum nakal, jari telunjuknya berayun-ayun, menggoda gadis di sampingnya.
Si gadis tersenyum malu, pipinya memerah samar. "Apa kau juga suka? Jika iya, kita bisa menggunjing bersama," katanya, matanya bersinar penuh harapan dan tawa yang belum usai.
Zayliee tertawa lepas, suaranya mengalir bagai aliran sungai yang jernih, membelai suasana yang hangat. "Baiklah, kalau begitu, beri aku kabar terbaru," katanya dengan senyum yang belum sepenuhnya hilang dari wajahnya, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
Si gadis di depannya tersenyum penuh kemenangan, bibirnya melengkung seperti seseorang yang siap menyampaikan rahasia besar. "Kabar terbaru... tentang dirimu," katanya sambil menahan tawa kecil. "Mereka bilang kau dikeluarkan dari daftar calon istri Yuwaraja."
Mendengar itu, Zayliee memutar matanya, menghembuskan napas seolah menahan geli. "Hei! Bagaimana bisa kau mengatakan hal itu langsung di depanku?" tegurnya, nada suaranya masih mengandung kelakar meski ada sedikit kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panggung Kraton: Mahkota Untuk Sang Selir
Historical FictionKetika dunia panggung dan layar menjadi bagian dari hidupnya, Zayliee Avyanna tak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam sekejap. Aktris papan atas yang terkenal dengan kemapuan aktinya yang tak pernah gagal, tiba-tiba menemukan dirinya terban...