Di bawah cakrawala yang sudah meremang menjadi hitam pekat, Zayliee berusaha sekuat tenaga menyamarkan derap langkahnya, seolah-olah keheningan malam bisa menangkap setiap gerakan yang ia buat. Udara dingin berembus, menyusup melalui celah-celah kainnya dan membawa bisikan angin yang terdengar seperti rahasia yang ikut dijaga alam. Malam itu terasa begitu hidup, seakan setiap bayangan di bawah pendopo turut mengawasinya, mengintai dari kegelapan dengan mata tak terlihat. Zayliee menyelinap di antara tiang-tiang kayu yang memanjang, gerakannya terukur, nyaris tanpa suara.
Jika ini masih dunianya yang sebelumnya, mungkin pulang selarut ini bukan masalah. Ia sudah terbiasa dengan ritme kota yang tak pernah tidur, tempat gedung-gedung tinggi menjadi saksi bisu kebisingan yang tak pernah mereda, di mana lampu-lampu jalanan seperti bintang-bintang palsu yang menggantung rendah. Di sana, pulang setelah jam kerja panjang adalah hal biasa. Namun, di sini, di zaman kuno yang penuh dengan norma ketat, ia tahu betul bahwa seorang perempuan yang pulang setelah matahari tenggelam akan menjadi buah bibir—dipergunjingkan di balik pintu-pintu kayu yang tertutup, dibicarakan dalam bisik-bisik tajam yang menyelinap dari mulut ke mulut, menyerupai racun yang menetes perlahan.
Zayliee terlalu larut dalam permainan kecilnya bersama pemuda ia pikir adalah Yuwaraja. Dengan senyum nakal yang tak pernah lepas dari bibirnya, ia menyuruh pemuda itu mengarit rumput di lahan luas yang baru saja ia beli. Lahan itu terbentang seperti karpet hijau yang dipenuhi dedaunan liar, dan Zayliee, bersama kedua sahabat pemuda itu dan pemeran utama wanita, hanya berdiri di kejauhan, mengamatinya dengan mata yang penuh godaan. Sesekali, tawa kecil keluar dari bibirnya, bergema samar dalam udara sore yang mulai mendingin, tanpa memedulikan waktu yang terus merayap maju.
Namun, malam kini sudah menyelimuti dunia dengan pelukannya yang dingin, menyulap segala sesuatu menjadi bayangan tak berwujud. Angin malam berhembus lebih tajam, mengangkat rambut Zayliee seakan mengingatkannya pada kenyataan. Baru sekarang, setelah semuanya terlambat, ia menyadari bahwa ia belum pulang sejak kemarin. Langit telah berubah dari senja yang berwarna jingga menjadi gelap gulita, dan detak jantungnya mulai berirama lebih cepat—bukan karena takut, tetapi karena kesadaran bahwa di sini, di tempat yang tunduk pada aturan-aturan usang, keterlambatannya bisa berakhir sebagai bisikan-bisikan tajam di pagi berikutnya.
"Baru ingat pulang, Nimas?" Sebuah suara menggema dari balik pintu yang setengah terbuka.
"Raka?" Zayliee terperangah, menahan napas. Matanya membulat ketika melihat sosok Rakanya duduk santai di atas ranjang empuknya, bersama pelayannya yang menunduk lesu di samping pemuda itu. "Kenapa Raka ada di kamar Nimas?" tanyanya dengan nada terkejut, berusaha mencari penjelasan yang logis di balik situasi ini.
"Tentu saja untuk menunggu Nimas Raka yang nakal ini pulang," jawab Warak dengan senyum setengah bercanda, matanya berkilat dalam cahaya lilin yang redup.
Zayliee menggigit bibir bawahnya, manik matanya mulai berkaca-kaca. "Raka marah?" cicitnya, suaranya mengecil, disertai getaran emosi yang tak bisa ia sembunyikan. Ini adalah pertama kalinya ada seseorang yang benar-benar menunggunya pulang. Selama ini, hidupnya sepi, sebatang kara—tak ada yang peduli kapan ia pulang, atau bahkan jika ia tak pulang sama sekali. Tetapi kali ini... ada seseorang yang peduli. Dan hatinya menghangat oleh perasaan itu, meski matanya berembun oleh rasa bersalah.
"Heh, jangan menangis," ujar Warak lembut, suaranya serak namun penuh kehangatan. "Raka tidak marah, Raka hanya khawatir sesuatu terjadi pada Nimas. Dunia ini tidak seaman yang Nimas kira. Jadi, lain kali jika Nimas ingin pergi, bilang dulu pada Raka, ya. Jangan pergi sendirian, ajak Banuwari bersamamu." Tambah Warak, beranjak dari tempat duduknya.
Mendekat dengan langkah penuh kelembutan. Ibu jarinya menyeka air mata yang tak mampu ditahan oleh mata indah Zayliee, lalu dengan lembut ia mengapit wajah kecil itu di antara kedua tangannya yang besar. Sentuhannya yang hangat, dan senyum pengertiannya menenangkan hati Zayliee yang bergemuruh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panggung Kraton: Mahkota Untuk Sang Selir
Ficção HistóricaKetika dunia panggung dan layar menjadi bagian dari hidupnya, Zayliee Avyanna tak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam sekejap. Aktris papan atas yang terkenal dengan kemapuan aktinya yang tak pernah gagal, tiba-tiba menemukan dirinya terban...