Duri Mawar

212 26 1
                                    

"Apa mereka sudah tiba?" tanya Jagsha, suaranya sedingin embun yang membeku, sementara tatapan matanya tajam dan menakutkan, seperti ujung bilah pedang yang siap menembus tubuh siapun yang menghalangi langkahnya. Dengan gerakan perlahan namun tak tergoyahkan, ia mengarahkan ujung surat yang baru saja dibacanya ke atas nyala lilin di meja. Nyala api kecil itu menyambar kertas, melalapnya dalam tarian panas yang diam-diam memusnahkan setiap kata. Lembar itu lenyap, berubah menjadi abu hitam yang terburai, beterbangan pelan di udara, seolah membawa pesan yang tak pernah ingin didengar oleh siapa pun.

"Belum, Yuwaraja," jawab Saka, suaranya rendah namun penuh kehati-hatian, seolah tiap katanya dapat memecah keheningan yang membebani ruangan itu.

Kerutan dalam tergambar di dahi Jagsha, tanda kegelisahan yang samar namun tak terabaikan di balik wajahnya yang biasanya tak tergoyahkan. Hatinya merasakan kekosongan tak biasa, firasat samar tapi dingin, seperti bayangan kelam yang tiba-tiba menyusup di sudut-sudut pikirannya. Tempat pengasingan tak begitu jauh, dan ibu serta anak itu seharusnya sudah tiba beberapa hari yang lalu. Ada sesuatu yang mengganjal—keterlambatan ini terlalu ganjil, seperti ada kekuatan tak kasat mata yang mengintai dari balik jarak.

"Segera kirim seseorang untuk mengawasi mereka," perintahnya, suaranya tetap tenang meski getaran halus kegelisahan terselip di dalamnya, seolah dalam ketenangan itu ada badai yang menunggu waktu untuk meledak. "Aku merasakan firasat buruk tengah mengintai."

Jagsha berbalik, melangkah keluar dengan langkah yang tegas namun dibayangi kegundahan, seakan-akan ada sesuatu yang tak kasat mata mengikuti dari belakang. Rakan dan Saka menundukkan kepala, bertukar pandang dalam diam, sejenak memahami beratnya suasana, sebelum bergegas menyusul langkah pemimpin mereka. Dalam keheningan yang membayang, keduanya menjaga jarak yang hormat, mengikuti dari belakang seperti bayangan yang setia namun tak ingin mengusik.

"Sesuai perintah Anda," jawab Rakan akhirnya, suaranya lirih namun tegas, nyaris tenggelam dalam dinginnya udara meski matahari telah meninggi, menebarkan sinar keemasan yang lembut di sela-sela pilar ruangan. Tanpa perlu tambahan kata, mereka mulai bergerak, langkah-langkah mereka bergema pelan di lantai batu. Sosok-sosok mereka tampak memudar, bergabung dengan bayangan panjang yang terbentuk dari sinar mentari, menyatu dalam permainan terang-gelap yang menghiasi ruangan.


~o0o~

Roda kereta kuda berhenti perlahan, menyibakkan debu lembut yang berputar sejenak di halaman istana. Kesibukan di sekeliling menyeruak, seakan menjadi irama tanpa jeda—para dayang berlalu-lalang dalam balutan kain berwarna gading, gemulai namun cekatan, sibuk mempersiapkan perayaan kemenangan bagi sang calon penerus takhta. Cahaya matahari pagi menyusup lembut, menyelimuti setiap sudut istana yang menjulang megah, menggoreskan kilau emas pada pilar-pilar dan gerbang tinggi yang terbuka lebar, seolah memberi sambutan kepada hari yang penuh harapan dan janji. Walau perayaan ini tertunda untuk menanti sang tokoh utama pulih dari luka-lukanya, persiapan telah disusun dengan cermat, memastikan tak ada satu pun detail kemegahan yang terlewat, siap memukau setiap mata yang menyaksikannya.

Dari balik kereta, sebuah kaki halus menjulur anggun, menyentuh tanah berlapis kerikil halus yang kokoh, seakan meresapi sejarah yang terkandung di dalamnya. Ketika kedua kakinya menjejak sempurna, seorang pelayan mendekat dengan sikap penuh hormat, menyodorkan setangkai mawar merah merekah, lalu menunduk dalam diam sebelum mundur pergi, menyisakan keheningan yang sarat akan misteri.

Zayliee mengangkat alisnya, senyum manis terlukis di wajahnya. Tatapan caramel yang bercahaya meneliti setiap inci tangkai mawar itu, yang seharusnya dipenuhi duri tajam, namun kini licin tanpa cela, seolah si pengirim ingin menjaga dirinya dari luka. Dengan langkah yang anggun namun pasti, ia melangkah memasuki istana, menerima setiap tangkai mawar yang disodorkan para pelayan di sepanjang jalan. Semakin jauh ia melangkah, semakin bertambah pula kuntum mawar dalam genggamannya, seperti simbol kasih yang tak kunjung surut.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 4 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Panggung Kraton: Mahkota Untuk Sang SelirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang