Air Mata Buaya

271 19 1
                                    

Zayliee menatap wajah Yuwaraja yang rupawan, kini tampak pucat seperti pualam yang kehilangan sinar kehangatannya. Kulit yang biasanya bercahaya kini kelabu, seolah jiwa yang bersemayam di dalamnya tengah berkelana di ambang batas kehidupan. Di sisi ranjang, Gusti Kanjeng Ratu duduk dengan punggung bergetar halus, tangan lembutnya mengelus pipi putranya, berusaha menemukan sisa hangat yang kini memudar. Setiap napas yang ia hembuskan terdengar berat, seolah dengan belaian itu ia berharap bisa memanggil kembali kehidupan yang perlahan menjauh.

"Ibunda yakin kamu kuat," bisiknya, lirih namun penuh keteguhan hati, menantang kehampaan yang menyelimuti ruang kamar itu. Di kejauhan, seorang pria mendekat dengan langkah tenang, bisikannya samar saat berbicara di telinga Kanjeng Gusti Prabu. Tanpa suara, sang Prabu menggenggam lengan istrinya dengan kelembutan yang penuh wibawa, mengisyaratkan agar mereka meninggalkan ruangan. Sebelum pergi, Gusti Kanjeng Ratu menoleh sekali lagi ke arah putranya, pandangannya dipenuhi kasih dan kerinduan yang menyayat. Dengan penuh sayang, ia mengelus puncak kepala Zayliee, menghadiahi gadis itu senyum lembut yang mengandung sejuta harapan dan kesedihan.

"Romo akan menunggumu di luar, Nduk," suara Rakyan Tumenggung terdengar berat namun penuh keyakinan, seolah tahu bahwa Zayliee memerlukan waktu sendiri dengan Yuwaraja. Suara langkah kaki mereka perlahan menjauh, diikuti Rakan, Saka, dan para pelayan dengan setia. Saat pintu besar itu tertutup, keheningan menyelimuti ruangan, hanya diterangi oleh sinar redup lilin yang berkedip, seolah turut merenungi nasib yang belum pasti. Dalam sunyi itu, Zayliee berjalan mendekati tempat Yuwaraja terbaring, senyum kecil menghiasi wajahnya, penuh misteri. Ia duduk di tepi ranjang, jemarinya yang lentik meraih tangan Yuwaraja yang besar dan kokoh, mengelusnya perlahan dengan kelembutan.

"Kang Mas," bisik Zayliee, suaranya selembut angin senja yang membelai pucuk-pucuk bunga di tepi danau. Suara itu berbisik, melayang di udara yang hening. Sesuai dugaannya, ada sedikit gerakan di leher Yuwaraja, tanda samar bahwa kesadarannya masih bersarang di tubuh kekarnya. Sebuah senyum tipis, nyaris tak kasatmata, terlukis di wajah Zayliee. Tanpa ragu, tangannya yang lentik meraih sebuah bantal dan menghantamkannya dengan tepat ke wajah Yuwaraja.

"Beraninya Anda mempermainkan perasaan saya," desisnya, penuh amarah yang tertahan. Suara benturan bantal menggema dalam keheningan ruangan, tetapi belum cukup untuk memaksa Yuwaraja membuka matanya. Zayliee menghela napas, lalu memutar bola matanya dengan gemas.

"Berhenti berpura-pura, Yuwaraja," suaranya kini terdengar tegas, seperti perintah yang tak dapat dibantah. Manik kelam Yuwaraja akhirnya terbuka, memancarkan kilau layu namun penuh ketenangan. Sebuah senyum lemah menghiasi wajahnya.

"Dhiajeng," panggil Yuwaraja dengan suara yang lebih pelan dari biasanya, seakan setiap kata adalah butiran harapan yang disulam dengan kesakitan. Ia menggenggam tangan Zayliee, mata mereka bertemu, dan waktu seakan berhenti sejenak. "Saya sudah menepati janji saya," bisiknya pelan, sebelum bibirnya yang pucat mengecup lembut punggung tangan Zayliee.

Saat Yuwaraja mencoba bangkit, Zayliee dengan sigap menahan gerakan itu. Saat matanya menangkap kerutan di dahi Yuwaraja, bahkan urat lehernya menonjol seakan berjuang melawan rasa sakit. "Meskipun cara Anda tidak bisa dibenarkan, tapi saya mengakuinya," ucap Zayliee, senyum tipis penuh ironi menghiasi bibirnya, yang membuat lekukan di bibir Jagsha semakin lebar. Kekasihnya yang keras kepala kini berbicara tanpa kromo, seolah jarak di antara mereka kian pupus.

"Kalau begitu, bukankah saya pantas mendapat imbalan, Dhiajeng?" jawab Yuwaraja, kali ini dengan nada yang penuh kelakar, memancing Zayliee untuk mengangkat satu alisnya penuh curiga. "Kang Mas, coba ucapkan lagi," desak Yuwaraja, senyum nakalnya berhasil membuat Zayliee mendengus.

"Saya pikir setelah ditusuk pedang beracun, otak Anda akan lebih bijak. Nyatanya, masih sama saja," sindir Zayliee, membuat Yuwaraja terkekeh meskipun tawanya terputus oleh desakan nyeri yang menjalar di perutnya.

Panggung Kraton: Mahkota Untuk Sang SelirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang