Ana berdiri mematung di depan cermin yang tampak buram, dengan napas yang terengah-engah. Seluruh tubuhnya terasa kaku, seperti dibalut ketakutan yang tak kasat mata. Kegelapan di dalam kamarnya seolah merangkak naik dari lantai, menyelimuti tubuhnya perlahan-lahan. Di dalam pantulan, ada sesuatu yang tak beres. Matanya membelalak saat ia menyadari bahwa pantulannya tak lagi mengikuti gerakannya. Jantung Ana berdegup kencang, menimbulkan suara yang menggema di telinganya.
Dia melangkah mundur, berharap cermin itu mengembalikan bayangan normalnya, tetapi justru sebaliknya. Pantulan itu tetap di tempat, berdiri kaku dengan ekspresi yang jauh berbeda dari Ana. Ada seringai di bibir pantulan itu—seringai yang dipenuhi oleh ancaman dan rasa puas yang mengerikan.
Tiba-tiba, pantulan itu bergerak sendiri, memiringkan kepalanya dengan gerakan perlahan, seolah sedang mempelajari Ana. "Kau pikir bisa lari dariku, Ana?" suara itu terdengar jelas, meski bibir pantulan itu tak bergerak. Suara yang dalam, penuh dengan kemarahan dan dendam yang terkubur.
Ana menahan napas. Suara itu bukan berasal dari dalam kepalanya. Itu berasal dari pantulan yang berdiri di depannya. "Apa... apa yang kau inginkan?" Ana berbisik, merasa tubuhnya semakin berat. Tidak ada jawaban. Hanya senyum menyeramkan yang semakin melebar di wajah pantulan itu.
Tanpa peringatan, cermin itu bergetar keras. Ana tersentak mundur, namun pantulan itu justru melangkah keluar dari cermin dengan kecepatan yang mustahil. Sosok itu kini berdiri nyata di depannya, menyerupai Ana dalam segala hal kecuali mata. Mata itu berkilau merah menyala, seperti bara api yang membakar dari dalam. Sosok itu tampak lebih gelap, lebih kuat—seperti manifestasi dari semua rasa takut dan keraguan yang pernah Ana rasakan.
"Kau tidak bisa lari dariku," sosok itu berbisik, suaranya seolah mengisi seluruh ruangan. Ana merasakan dorongan panik yang begitu kuat. Dia berbalik untuk melarikan diri, tetapi sosok itu terlalu cepat. Dalam sekejap, bayangan itu sudah berada di hadapannya lagi, dengan gerakan halus yang tidak wajar. "Kau pikir hidupmu selama ini adalah milikmu?" tanya sosok itu dengan suara yang mengandung ejekan. "Tidak, Ana. Aku adalah bagian darimu—bagian yang selalu kau coba lupakan, namun selalu mengikutimu, bersembunyi di setiap keputusanmu."
Ana terhuyung mundur, jantungnya seperti mau meledak. Dia tak tahu harus berbuat apa. Sosok bayangan itu mendekat dengan langkah perlahan, setiap langkah menambah tekanan di dada Ana. "Sudah cukup kau menolak kebenaran, Ana. Sekarang waktunya kau menerima siapa dirimu sebenarnya!" Sosok itu tiba-tiba meluncur ke depan, menyerang Ana dengan kecepatan yang tak dapat ditangkap oleh mata.
Refleks Ana bergerak. Dia menghindar, meski terlambat. Sosok itu berhasil menjangkau pergelangan tangannya, mencengkeramnya dengan kekuatan yang luar biasa. Ana menjerit kesakitan, merasakan sensasi terbakar di kulitnya seolah-olah sosok itu menghisap kekuatannya.
Dengan sisa kekuatannya, Ana meraih sepotong kaca pecah dari cermin yang berantakan di lantai. Tanpa berpikir panjang, dia menebas kaca itu ke lengan sosok tersebut. Darah hitam pekat mengalir dari luka yang terbuka, namun sosok itu hanya tertawa. "Kau pikir kau bisa melukaiku? Aku adalah kau!" Tawa sosok itu menggema di seluruh ruangan, menembus kepala Ana, membuatnya merasa semakin terpojok dan kehilangan harapan.
Namun di saat yang sama, sesuatu dalam dirinya mulai bangkit. Di tengah ketakutan yang melumpuhkan, Ana mendengar suara kecil di dalam dirinya—suara yang menegaskan bahwa ini bukanlah akhir. Bahwa dia masih punya kekuatan untuk melawan.
"Aku tidak akan kalah," Ana berbisik pada dirinya sendiri, meskipun tubuhnya terasa lemah. Sosok itu tersenyum licik, seolah mengejek tekadnya. Tapi Ana tidak peduli. Dia mulai memusatkan pikirannya pada satu hal—pada kenyataan bahwa bayangan itu hanya bisa ada jika ada cahaya. Dan Ana menyadari, dialah sumber cahayanya. Tanpa dia, bayangan itu tidak akan pernah ada.
"Pantulan hanyalah bayangan dari cahaya," ucap Ana, lebih keras kali ini, menatap langsung ke mata sosok itu. Sosok itu tampak terkejut sejenak, seringainya memudar, digantikan oleh kilatan marah di matanya.
Dengan dorongan tiba-tiba, Ana melompat maju, langsung menerjang sosok bayangan itu dengan kekuatan terakhirnya. Mereka bertabrakan, dan seketika dunia di sekitar Ana berputar cepat. Seolah-olah dia tersedot ke dalam pusaran gelap yang tak berdasar. Tawa sosok itu semakin memudar, dan akhirnya, hilang sepenuhnya.
Ana terbangun di lantai kamarnya, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Napasnya berat, tetapi tidak ada lagi sosok yang mengancam di depannya. Dia menatap cermin, yang kini hanya menunjukkan pantulan dirinya sendiri—tanpa bayangan aneh, tanpa ancaman.
Namun Ana tahu ini belum berakhir. Dia tahu pantulan itu masih ada di dalam dirinya, menunggu saat yang tepat untuk bangkit kembali. Tapi kali ini, Ana tidak takut. Dia sudah siap menghadapi apapun yang datang, karena dia tahu kekuatan sesungguhnya ada di dalam dirinya. Bayangan itu tidak akan pernah bisa menghancurkannya, selama dia percaya pada cahaya yang dimilikinya.
Ana menatap cermin sekali lagi, mengambil napas panjang, dan berbalik meninggalkan ruangan. Pertarungan yang lebih besar masih menanti, tapi kini dia tahu, dia sudah lebih kuat dari sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pantulan yang Tak Sama
УжасыPantulan yang Tak Sama adalah kisah menegangkan tentang Ana, seorang wanita muda yang dihadapkan pada bayangan dirinya sendiri yang hidup dari balik cermin. Saat pantulan itu berubah menjadi ancaman nyata, Ana harus berjuang melawan kegelapan yang b...