Jeritan Terkunci dalam Bayangan

0 0 0
                                    

Ana berdiri di depan pintu kayu tua yang berderit, penuh ukiran aneh seolah hidup, berdenyut pelan di bawah cahaya suram. Pintu itu tampak seperti sebuah entitas yang menunggu, mengundang tetapi menakutkan, dengan cairan hitam pekat merembes dari celah-celahnya. Udara di sekitar Ana tiba-tiba terasa berat, seakan menekan dada, membuat setiap tarikan napas menjadi perjuangan. Sebuah suara halus, nyaris seperti bisikan, bergema di telinganya: "Buka... atau kau tak akan pernah tahu."

Dengan tangan gemetar, Ana meraih gagang pintu, dingin dan licin, seperti disentuh oleh entitas yang bukan dari dunia ini. Perasaan takut menyelimuti tubuhnya, namun ada dorongan yang lebih kuat yang memaksanya untuk maju, untuk menghadapi apa pun yang menunggunya di balik pintu tersebut. Saat gagang pintu berputar dengan suara gemeretak panjang, pintu terbuka perlahan, menyingkap kegelapan pekat yang membentang seperti mulut jurang yang menelan cahaya.

Di balik pintu, lorong panjang terbentang di hadapannya, gelap gulita, tanpa ujung yang terlihat. Dinding-dindingnya tampak bergerak, seolah bernapas dalam ritme yang tidak alami. Langkah kaki Ana bergema aneh, seperti ada ribuan bayangan yang mengikuti dari belakang, jejak-jejak tak kasatmata yang merayap di udara, mengintai dengan dingin. Setiap tarikan napas di lorong itu membawa bau kematian, busuknya darah dan daging yang telah lama membusuk, dan suara samar-samar jeritan yang tertahan.

Ana terus melangkah, rasa takut yang menyergapnya semakin dalam. Udara di sekelilingnya membeku, napasnya tersengal. Tiba-tiba, terdengar suara. Bukan lagi bisikan, melainkan jeritan panjang yang menyayat hati, penuh derita. Suara-suara itu berasal dari segala arah, menggema di sepanjang lorong sempit itu, membuat Ana merinding dari kepala hingga kaki. Dinding-dinding lorong terasa semakin mendekat, menekan dari setiap sisi, seolah ingin menghancurkannya dalam pelukan gelap yang mencekam.

Di ujung lorong, sebuah cermin besar berdiri sendiri, permukaannya tampak berkerut, retak, dan menyerupai urat-urat hidup yang memompa cairan hitam di balik permukaan kaca. Ana mendekati cermin itu dengan hati-hati, namun bayangan yang terlihat di sana bukanlah dirinya. Bayangan itu adalah sosok lain—seorang Ana yang bukan dirinya, dengan mata hitam pekat tanpa bola mata, dan mulut yang menyeringai lebar, menunjukkan deretan gigi tajam yang tidak manusiawi.

Bayangan itu berbicara dengan suara yang lebih gelap dan lebih dalam dari apa yang seharusnya Ana miliki. "Selamat datang, Ana. Kau tak bisa lari."

Dengan satu gerakan kilat, bayangan itu merentangkan tangan keluar dari cermin, mencengkeram Ana dengan kekuatan yang luar biasa. Jari-jari hitam panjangnya mencengkeram pergelangan tangan Ana, dingin seperti kematian, menariknya ke arah permukaan cermin. Ana meronta-ronta, berteriak dengan seluruh tenaga, namun jeritannya hanya tenggelam dalam gelombang suara-suara lain yang memenuhi lorong.

Di sekelilingnya, bayangan-bayangan lain mulai bermunculan dari dinding. Bukan hanya bayangannya sendiri, melainkan bayangan orang-orang yang tampak terjebak dalam siklus kegelapan yang tak berujung. Mereka semua merangkak mendekat, dengan tangan-tangan mereka yang kurus dan mengerikan, wajah-wajah mereka yang hancur, penuh luka, memancarkan kebencian yang mendalam. Bayangan-bayangan itu menangkap Ana, menariknya lebih dalam ke kegelapan yang memerangkapnya.

Ana merasakan tubuhnya melemah, tenaga yang tersisa mulai lenyap saat makhluk-makhluk itu menyeretnya ke tanah. Cakar-cakar mereka mencabik-cabik kulitnya, membuat darahnya mengalir deras. Jeritan sakit yang tak tertahankan keluar dari bibirnya, namun sia-sia, karena lorong itu telah menjadi kuburan jeritan-jeritan yang tak terdengar. Makhluk-makhluk itu menjerit bersamaan, melolong dalam euforia kesadisan mereka, seolah-olah merayakan penderitaan Ana yang semakin mendekati akhir.

Ana tahu bahwa ini adalah akhir, tapi sesuatu di dalam dirinya terus berjuang. Dengan kekuatan terakhirnya, dia meraih sebuah pecahan kaca dari lantai, mungkin bagian dari cermin yang telah hancur. Dengan gerakan yang cepat dan putus asa, Ana menusukkan kaca itu ke salah satu bayangan yang mencengkeramnya. Makhluk itu melolong kesakitan sebelum lenyap dalam ledakan asap hitam. Namun, bayangan lain segera menggantikan tempatnya, terus menyeret Ana ke dalam kegelapan yang tak terhindarkan.

Tubuh Ana mulai mati rasa, dan pandangannya semakin kabur. Di tengah kekacauan itu, dia melihat sesuatu yang lebih mengerikan dari bayangan-bayangan itu—dinding-dinding lorong mulai bergerak, mendekat dengan kecepatan yang mengancam. Seperti rahang raksasa, dinding-dinding itu menutup perlahan, siap menelan segala sesuatu di dalamnya. Di saat-saat terakhir, Ana menatap ke cermin yang mulai retak di ujung lorong.

Bayangan dirinya tersenyum puas dari balik cermin, seolah-olah tahu bahwa inilah akhir dari segalanya.

Saat dinding-dinding itu menutup sepenuhnya, membawa serta seluruh kegelapan dan makhluk-makhluk yang ada, hanya satu suara yang tersisa—sebuah bisikan pelan, menggetarkan, dan abadi: "Kau telah menjadi bagian dari kami, selamanya."

Lorong itu lenyap. Tidak ada jejak Ana, tidak ada jejak cermin, hanya kegelapan yang abadi.

Tidak ada yang bisa melarikan diri dari bayangan yang memanggil.

Pantulan yang Tak SamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang