Jerat Kegelapan yang Terungkap

0 0 0
                                    

Malam telah jatuh, menutupi langit dengan selimut kegelapan tanpa bintang. Ana berdiri di depan rumah tua peninggalan neneknya, tempat di mana semuanya dimulai—cermin, bisikan-bisikan aneh, bayangan yang selalu membuntutinya, dan kengerian yang tak kunjung usai. Rumah itu tampak seperti raksasa bisu yang diam menantinya, siap menelan siapa pun yang berani masuk. Tidak ada yang tahu bahwa di balik dinding-dinding tuanya, ada rahasia yang begitu kelam dan menakutkan.

Langkah Ana berat, tapi tekadnya lebih kuat daripada ketakutannya. Ia tahu bahwa tidak ada jalan mundur lagi. Bayangan yang selalu menghantui kehidupannya semakin kuat; bisikan-bisikan dari dalam cermin mulai memanggil lebih sering dan lebih nyaring. Malam ini, ia harus mengakhirinya—atau semuanya akan berakhir dengan dirinya yang terjerat selamanya dalam kegelapan.

Saat Ana membuka pintu depan, deritannya memecah keheningan malam. Udara dingin segera menyambutnya, menusuk tulang dan membuat bulu kuduknya meremang. Di dalam, rumah itu terasa lebih mencekam dari sebelumnya. Dinding-dindingnya tampak lebih suram, dan cahayanya, meskipun ada, terasa lemah dan tak berdaya, seperti sedang disedot oleh sesuatu yang tak kasat mata. Ana tahu ke mana dia harus pergi—ke cermin besar di ruang loteng, sumber segala misteri yang selama ini membelit hidupnya.

Tangga menuju loteng berderit di setiap langkah yang diambil Ana. Semakin ia mendekat ke loteng, semakin berat atmosfer di sekitarnya. Rasanya seperti ada sesuatu yang menariknya, memaksanya untuk tetap di tempat, tetapi sekaligus mendorongnya maju. Nafasnya semakin cepat, dan ia merasakan jantungnya berdebar keras, namun dia tidak bisa berhenti sekarang.

Setibanya di loteng, Ana melihat cermin itu berdiri di sudut ruangan, gelap dan menakutkan, meskipun tidak ada pantulan cahaya dari permukaannya. Cahaya bulan yang redup menyelinap masuk dari jendela loteng, menciptakan bayangan samar di lantai, namun cermin itu seakan menelan segala bentuk cahaya yang ada. Tidak ada pantulan dari cermin tersebut, tidak ada gambar yang terlihat—hanya kegelapan yang mendalam, seperti portal menuju sesuatu yang jauh lebih buruk daripada kematian.

Ana mendekati cermin itu, dan saat ia berada beberapa langkah dari sana, ia mendengar suara yang sudah tidak asing lagi. Bisikan itu kembali, lebih kuat, lebih jelas daripada sebelumnya.

"Akhirnya, kau datang, Ana...," suara itu terdengar seperti gabungan dari beberapa suara, semuanya bergaung dan memanggil namanya dengan nada mengancam.

Ana berdiri diam, mencoba menahan ketakutannya. Ia melihat ke dalam cermin, dan tiba-tiba bayangan itu muncul—bukan pantulannya, melainkan sosok hitam yang selama ini menghantuinya. Sosok itu muncul dari kedalaman cermin, bergerak perlahan ke arahnya. Kali ini, bayangan itu lebih besar, lebih jelas. Matanya kosong, seperti lubang gelap yang tak berujung, dan dari setiap sudut tubuhnya tampak kabut hitam yang menggeliat, seolah-olah cermin itu tak lagi bisa menahan kegelapan di dalamnya.

"Aku sudah lama menunggumu," kata bayangan itu dengan suara yang dingin. "Kau tahu, Ana, kau tidak bisa melawan takdirmu."

Ana mundur beberapa langkah, tapi bayangan itu semakin mendekat. "Aku bukan bagian darimu!" teriaknya, meskipun hatinya dipenuhi keraguan.

Bayangan itu tertawa kecil, suara tawa yang penuh ejekan. "Oh, tapi kau sudah menjadi bagian dariku sejak lama. Kau tahu kenapa? Karena cermin ini... adalah jalanmu menuju kehancuran."

Tangan Ana gemetar, tapi ia tahu dia harus melawan. Dengan segala kekuatan yang tersisa, ia mengangkat tangan dan mencoba memecahkan cermin itu dengan benda pertama yang ia temukan—sebuah paku tua yang tergeletak di lantai. Dengan teriakan penuh keberanian, Ana menghantamkan paku itu ke permukaan cermin. Namun, bukan cermin yang pecah—melainkan suara jeritan yang keluar dari dalamnya.

Bayangan itu mundur, terhempas oleh kekuatan yang tak terlihat. "TIDAK!" teriaknya dengan kemarahan yang meluap-luap. "Kau tak akan bisa menghancurkan aku begitu saja, Ana!"

Cermin itu bergetar, dan retakan mulai muncul di seluruh permukaannya. Dari dalam retakan tersebut, sosok-sosok hitam lainnya mulai muncul—mereka adalah bayangan-bayangan lain yang selama ini terperangkap di dalam cermin, tertarik keluar oleh kekuatan yang Ana bangkitkan.

Ana melihat sosok-sosok itu mulai menyebar ke seluruh ruangan. Mereka bergerak cepat, seperti asap yang ditiup angin, mengelilinginya dari segala arah. Jeritan-jeritan mengerikan terdengar dari bayangan-bayangan itu, memecah keheningan dengan suara yang begitu mencekam. Namun, Ana tidak mundur. Ia tahu bahwa ini adalah ujung dari segala kengerian yang selama ini mengikatnya.

Dengan napas yang berat, Ana mengangkat paku itu sekali lagi dan menghantamkannya ke cermin. Kali ini, retakan semakin besar, dan seluruh permukaan cermin mulai pecah perlahan-lahan. Suara jeritan semakin keras, dan bayangan-bayangan itu bergerak semakin liar. Namun, cermin itu akhirnya menyerah.

Dalam sekali hentakan, cermin itu pecah menjadi ribuan kepingan. Bayangan-bayangan yang ada di dalamnya seketika menghilang, terserap kembali ke dalam kehampaan dari mana mereka berasal. Suara jeritan pun lenyap, dan suasana menjadi hening. Ana jatuh tersungkur ke lantai, terengah-engah, tubuhnya dipenuhi keringat dingin. Akhirnya, semuanya berakhir.

Atau setidaknya itulah yang ia pikirkan.

Ketika Ana mengangkat kepalanya, ia melihat bahwa di balik cermin yang telah hancur, ada sebuah pintu. Pintu itu tidak ada sebelumnya, seolah baru muncul begitu cermin tersebut hancur. Dengan gemetar, Ana mendekati pintu tersebut. Ia tahu, apa pun yang ada di baliknya, mungkin lebih buruk dari apa yang baru saja ia hadapi.

Namun, tanpa ragu, Ana membuka pintu itu, melangkah masuk ke dalam kegelapan yang menunggunya di sisi lain. Ini adalah akhir dari satu perjalanan—dan awal dari sesuatu yang jauh lebih kelam.

4o

Pantulan yang Tak SamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang