Kepungan Bayangan

0 0 0
                                    

Dunia terasa seperti runtuh. Ana berdiri di tengah kegelapan yang mencekik, hanya mampu mendengar suara nafasnya sendiri yang terengah-engah, disertai dengan bisikan bayangan di setiap sudut. Cahaya tipis yang menembus dari langit-langit terasa semakin memudar, tenggelam dalam pekatnya malam yang tak berujung. Di hadapannya, sosok bayangan yang sudah lama memburunya semakin mendekat, menebarkan rasa takut yang mencekam.

"Kenapa kau di sini?" tanya Ana, suaranya gemetar, nyaris tercekik oleh ketakutannya sendiri. Tapi bayangan itu tidak menjawab. Sosok itu hanya melangkah maju, menatapnya dengan tatapan kosong, seolah memiliki kuasa untuk menghisap sisa keberanian dari dirinya.

Tiba-tiba, sosok bayangan itu terpecah menjadi dua—satu yang tampak seperti dirinya sendiri, dengan wajah kosong tanpa ekspresi, sementara yang lain adalah bayangan dari masa lalu, menyeret kenangan yang begitu pahit dan penuh luka. Ana mundur selangkah, berusaha memahami apa yang sedang terjadi. Setiap kali dia melangkah mundur, bayangan itu semakin mendekat.

"Sudah cukup!" teriak Ana, kali ini dengan suara yang lebih lantang, namun tangannya bergetar hebat. Bayangan yang menyerupai dirinya menatapnya dingin, seolah-olah mencerminkan kebencian dan rasa sakit yang selama ini dia kubur dalam-dalam. Suara tawa menyeramkan menggema di ruangan sempit itu, membelah kesunyian dengan dentuman yang menyakitkan telinga.

Air mata mulai mengalir dari mata Ana, bukan karena rasa takut semata, melainkan karena emosi yang selama ini dia tahan tak lagi bisa dia kendalikan. Semua rasa bersalah, kekecewaan, dan ketakutan yang telah lama dia hindari, kini menyeruak ke permukaan. Ana melihat sosok itu, dan dalam sekejap, dia tahu—ini bukan sekadar bayangan. Ini adalah bagian dari dirinya yang paling gelap, yang selama ini dia coba sembunyikan.

"Kau bukan aku!" teriak Ana, suaranya penuh dengan rasa putus asa.

Bayangan itu hanya tertawa lagi, kali ini lebih keras, lebih menyakitkan. "Aku adalah setiap ketakutanmu, setiap luka yang kau abaikan," jawab bayangan itu dengan suara yang tak kalah menyeramkan. "Aku selalu ada, meski kau berpaling. Kau tak bisa lepas dariku."

Ana jatuh berlutut, tangannya mencengkeram tanah, mencakar-cakar seakan mencari jalan keluar. Tapi kegelapan di sekelilingnya terasa seperti dinding yang semakin rapat, menutupinya dari segala arah. Setiap helaan nafas terasa berat, setiap detik seperti berlalu dalam rasa sakit yang tak tertahankan.

"Kenapa aku harus terus hidup dalam bayanganmu?" isak Ana.

Bayangan itu mendekat, berjongkok di hadapan Ana, matanya yang kosong menatap Ana dengan kejam. "Karena kau tak bisa lepas dari kenyataanmu," bisiknya pelan. "Semua yang kau tolak, semua yang kau coba lupakan, itulah aku. Kau terjebak di sini, bersama diriku yang tak akan pernah kau bisa lupakan."

Ana ingin berteriak, tapi tak ada suara yang keluar. Tubuhnya melemah, seolah setiap langkah yang diambil bayangan itu semakin menyedot kekuatannya. Di saat yang sama, rasa marah muncul dari dalam dirinya—campuran dari rasa bersalah dan kesadaran bahwa selama ini dia memang bersembunyi dari kebenaran yang tak ingin dia hadapi.

Dengan sisa-sisa kekuatannya, Ana bangkit. Mata yang sebelumnya penuh air mata kini menyala dengan keteguhan baru. "Kau mungkin bagian dari diriku," katanya, suaranya lirih tapi mantap. "Tapi aku akan bertarung."

Bayangan itu terhenti, seolah tak percaya dengan kata-kata Ana. Ana melangkah maju, meski tubuhnya gemetar, meski kegelapan terus menghimpitnya.

"Tidak, Ana," desis bayangan itu. "Kau tidak akan pernah menang."

Ana menggertakkan giginya, rasa sakit dari masa lalu menghantamnya seperti gelombang, tapi dia tetap bertahan. "Mungkin aku tidak bisa menang, tapi aku tidak akan menyerah."

Dengan kekuatan terakhirnya, Ana mengulurkan tangannya ke arah bayangan yang menyerupai dirinya. Saat tangannya menyentuh kulit dingin dari bayangan itu, ledakan cahaya membuncah dari dalam tubuh Ana, menyapu kegelapan di sekelilingnya. Bayangan itu berteriak dalam kesakitan, perlahan-lahan menghilang di bawah sinar yang semakin terang.

Ana jatuh ke lantai, tubuhnya lelah, tapi kali ini hatinya terasa ringan. Kegelapan yang selama ini menghantuinya mulai memudar, meninggalkan dirinya dalam keheningan yang damai. Ana tahu, perjuangan ini belum selesai. Bayangan mungkin akan kembali, tapi kali ini, dia tidak akan lari lagi.

Di tengah keheningan itu, Ana tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya, dia merasa bebas—bebas dari bayangan yang selama ini terus membayanginya. Tapi kebebasan ini datang dengan harga mahal, dan Ana tahu, dia harus terus berjuang.

Kegelapan mungkin masih ada di luar sana, menunggu saat yang tepat untuk kembali. Tapi Ana, dengan luka dan kekuatannya, kini siap menghadapi apapun yang akan datang.

Dia telah melihat sisi tergelap dari dirinya, dan dia bertahan. Kini, cahaya dalam dirinya lebih terang dari sebelumnya.

Pantulan yang Tak SamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang