Bisikan yang Tak Pernah Diam

1 0 0
                                    

Malam semakin larut ketika Ana kembali berdiri di hadapan cermin tua di kamarnya. Cermin itu selalu ada, seakan menunggu sesuatu—atau seseorang. Permukaannya tampak biasa di siang hari, hanya pantulan samar seorang wanita muda yang kelelahan. Namun, begitu gelap mulai menyelimuti dunia luar, sesuatu yang lain mulai muncul di balik bayangannya. Setiap kilatan cahaya, setiap desahan napas yang terpantul, menciptakan bayangan samar yang tampak seperti bisikan dari dunia yang tak terlihat.

Ana menatap dalam-dalam, namun kali ini ada yang berbeda. Bisikan halus mulai terdengar, semakin jelas setiap detiknya. Suara-suara yang tidak seharusnya ada, tidak berasal dari kamarnya, tapi dari balik cermin itu sendiri. Ada sesuatu yang berbicara padanya—atau mungkin mencoba memperingatkannya. Suara itu begitu lirih, tetapi Ana bisa merasakan ketakutan yang mendesak dari nada suara tersebut.

"Ana..."

Suaranya bergaung dengan lembut namun menembus tulang sumsum. Tubuh Ana seketika membeku. Bibirnya kering, dan jantungnya berdegup kencang. Ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua ini hanyalah imajinasi, tetapi bayangan di cermin itu mulai berubah. Refleksi dirinya yang seharusnya statis kini bergerak dengan sendirinya, perlahan-lahan menarik diri dari cermin, membentuk sosok yang tidak sepenuhnya milik Ana.

Wajah di cermin itu berubah—terdistorsi, mulut ternganga dalam jeritan tanpa suara. Di sudut matanya, Ana bisa melihat ruangan di sekitarnya mulai berubah, seperti ditarik ke dalam kekosongan. Dinding-dinding kamar menjadi retak, dan langit-langitnya perlahan menghitam, menyelimuti segala sesuatu dalam kegelapan yang menyesakkan.

Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia meraih meja di samping cermin untuk menjaga keseimbangannya, namun benda-benda di sekitarnya pun terasa aneh, seolah semuanya menjadi bagian dari mimpi buruk yang nyata. Ana ingin lari, tetapi tubuhnya terperangkap oleh bisikan yang tak berhenti.

"Dengar kami..."

Bisikan itu semakin kuat, seolah ada banyak suara yang mencoba berbicara sekaligus. Setiap suara memancarkan rasa sakit dan penderitaan, seakan mereka adalah jiwa-jiwa terperangkap dalam dimensi yang tak terjangkau manusia. Bayangan di cermin itu kini sepenuhnya terlepas dari refleksi Ana. Sosok itu melangkah maju, mendekatinya dengan tatapan hampa dan tangan yang kurus meraih ke arah Ana. Setiap gerakan sosok itu membawa rasa dingin yang menusuk tulang, seperti seluruh ruangan tenggelam dalam es.

"Apa... siapa kau?" Ana akhirnya menemukan suaranya, meski tersendat. Namun, sosok di depannya hanya tersenyum, senyuman dingin yang menimbulkan rasa takut mendalam. Sosok itu terus mendekat, dan Ana merasa terperangkap—tidak bisa bergerak, tidak bisa bernapas. Setiap detik terasa seperti keabadian.

"Ini bukan soal siapa aku," jawab sosok itu dengan suara yang terdistorsi, "tapi soal siapa kau sebenarnya."

Cahaya dari luar jendela tiba-tiba padam, meninggalkan Ana dan sosok itu dalam kegelapan yang mencekam. Hanya bayangan yang tersisa, saling berhadapan, dalam keheningan yang penuh teror. Ana mencoba melangkah mundur, tetapi di belakangnya tidak ada lagi lantai. Tidak ada lagi dinding. Hanya kehampaan yang menganga, menariknya masuk.

Teriakannya tenggelam oleh bisikan yang kembali menghantui telinganya. Bisikan-bisikan itu kini berubah menjadi jeritan, ribuan suara bercampur dalam kekacauan, memenuhi ruang pikiran Ana hingga ia tak mampu lagi membedakan mana yang nyata dan mana yang hanya ilusi. Jeritan di dalam pikirannya semakin keras, membuat tubuhnya bergetar dan nyaris kehilangan kendali.

Saat itu, Ana merasa seolah dirinya sudah terlalu dalam terseret. Dunia di sekitarnya kini hanyalah serpihan kegelapan yang berputar tak karuan, sementara sosok dari cermin terus mendekat. Sosok itu kini hampir di hadapannya, menatap lurus ke dalam matanya. Sesuatu di dalam tatapan itu membuat Ana tersadar bahwa sosok itu tidak hanya sekadar bayangan—ia adalah bagian dari dirinya yang telah lama terkubur dalam.

"Aku... adalah kau," kata sosok itu sambil menyentuh pipi Ana dengan tangan dinginnya. Ana merasakan jiwanya seakan ditarik keluar, seperti dipecah menjadi bagian-bagian yang tak lagi utuh.

Dan kemudian, semuanya menjadi gelap.

Ana terbangun di atas lantai kamarnya. Cermin itu kembali seperti semula, tidak ada lagi bayangan menyeramkan, tidak ada lagi sosok yang mendekat. Namun, bisikan itu masih terdengar di telinganya—lembut, berbahaya, dan abadi.

Tidak ada yang benar-benar hilang, hanya tersembunyi, menunggu saatnya untuk muncul kembali.

Pantulan yang Tak SamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang