Bisikan di Dalam Cermin

1 0 0
                                    

Malam itu, suasana di kamar Ana begitu sunyi dan mencekam. Langit di luar telah berubah kelam, diguyur hujan yang tak henti-hentinya turun sejak sore. Rintik hujan menampar jendela dengan ritme yang tak beraturan, disertai angin kencang yang melolong di antara celah-celah jendela tua yang mulai renggang. Lampu redup yang tergantung di sudut kamar berkelip-kelip, memberikan kesan seolah-olah sesuatu yang asing tengah mengintai dari kegelapan.

Ana duduk di tepi tempat tidurnya, menatap ke sekeliling kamar yang didekorasi dengan barang-barang antik peninggalan neneknya. Di tengah-tengah semua benda kuno itu, berdiri sebuah cermin besar dengan bingkai kayu berukir yang tampak berusia puluhan tahun. Cermin itu tidak biasa—ada sesuatu yang selalu membuat Ana merasa aneh setiap kali melihat ke arahnya, seolah ada yang bersembunyi di balik permukaannya yang memantulkan bayangannya sendiri. Ia tidak pernah tahu mengapa, tapi perasaan gelisah itu selalu ada setiap kali ia melewati cermin tersebut.

Semakin malam, suasana semakin menyeramkan. Ana tidak bisa mengusir perasaan bahwa ada sesuatu yang mengawasi dari cermin itu. Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan membaca buku, tapi pikirannya terus kembali ke cermin. Bayangan dirinya yang terpantul di sana terasa asing, meskipun ia tahu itu hanyalah bayangannya. Namun, ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Ia berdiri dan mendekati cermin dengan hati-hati, matanya tertuju pada pantulan yang mulai tampak lebih jelas seiring langkahnya semakin dekat. Ana mengamati wajahnya di cermin—semua tampak normal pada awalnya. Namun, ketika ia menatap lebih lama, tiba-tiba ia merasa ada yang berubah. Matanya... pantulan matanya terlihat kosong dan mati. Ana terkejut, melangkah mundur dengan cepat, jantungnya berdegup kencang.

Kemudian, sebuah suara halus terdengar, seperti bisikan yang datang dari dalam cermin.

"Ana..."

Ana menoleh cepat ke segala arah, tapi tidak ada orang lain di kamar itu. Ruangan masih sama sunyinya. Namun, bisikan itu terdengar lagi.

"Ana..."

Suara itu datang dari dalam cermin. Ana berdiri diam di tempatnya, bingung dan takut. Ia tahu tidak mungkin ada suara dari pantulan, tapi ia tidak bisa menolak kenyataan bahwa suara itu jelas terdengar.

Ketakutan mulai menyelimuti dirinya. Ia ingin pergi dari kamar itu, tapi kakinya terasa berat, seolah-olah ada sesuatu yang menahannya. Cermin itu bergetar halus, dan di sudut kanan atasnya, retakan kecil muncul. Retakan itu perlahan-lahan merambat ke seluruh permukaan cermin, menghasilkan suara retakan yang aneh dan mencekam.

Tangan Ana gemetar saat ia mencoba melangkah mundur. Namun, pantulan di dalam cermin itu tidak bergerak seperti dirinya. Bayangannya tetap diam, bahkan ketika Ana beranjak semakin jauh dari cermin. Seolah-olah pantulan itu hidup sendiri, terpisah dari gerakannya. Ana menatap cermin itu dengan penuh ketakutan. Kini, pantulan dirinya mulai tersenyum. Senyum yang bukan miliknya.

"Siapa kau?" Suara Ana terdengar pelan dan tergagap. Namun, cermin itu tidak menjawab. Sebaliknya, pantulan Ana di dalam cermin mulai bergerak, meskipun tubuh Ana diam di tempat. Bayangan itu melangkah maju, mendekati permukaan cermin seakan ingin keluar dari sana.

Ana terpaku di tempat. Ia ingin menjerit, namun suaranya tak keluar. Tangan pantulannya terangkat, dan perlahan-lahan menyentuh permukaan cermin dari dalam. Retakan semakin meluas, dan dari dalam retakan itu, bayangan hitam merayap keluar, seperti kabut gelap yang menyelimuti ruangan.

"Ana...," suara itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat, lebih dingin. "Aku sudah menunggumu."

Ana mencoba melarikan diri, tapi pintu kamar tertutup rapat. Tangan-tangan hitam yang keluar dari cermin itu semakin mendekat, melayang di udara dengan gerakan lambat tapi pasti. Udara di kamar itu berubah menjadi dingin, begitu dingin hingga Ana merasa tubuhnya beku.

Tiba-tiba, cermin itu pecah dengan suara yang memekakkan telinga. Pecahan kaca terlempar ke segala arah, namun yang mengejutkan, tak satu pun dari pecahan itu menyentuh Ana. Bayangan hitam yang kini memenuhi kamar itu mulai membentuk sosok. Bentuknya mirip dengan Ana, tapi tak ada kehidupan dalam sosok itu. Wajahnya kosong, tanpa ekspresi, dan matanya... matanya adalah lubang gelap yang tak berdasar.

"Aku adalah dirimu," sosok itu berbisik. Suara yang keluar dari mulutnya begitu asing, namun terasa akrab. "Kau tidak bisa lari dariku, Ana."

Ana mundur hingga punggungnya menyentuh dinding. Kakinya lemas, dan ia jatuh terduduk di lantai. Bayangan itu melayang mendekatinya, dan setiap kali sosok itu bergerak, udara di sekitarnya terasa semakin mencekik. Bayangan itu mengulurkan tangan, jari-jarinya panjang dan kurus, seolah-olah terbuat dari kegelapan itu sendiri. Saat tangan itu hampir menyentuh Ana, ia merasakan sesuatu yang menusuk kulitnya—dingin, tajam, dan menyakitkan.

"Aku akan selalu menjadi bagian darimu," suara itu berbisik lagi, tepat di telinganya. Ana ingin berteriak, tapi tubuhnya kaku. Bayangan itu mulai menyatu dengannya, menyerap dirinya ke dalam kehampaan yang tak terbayangkan. Mata Ana terbelalak saat ia merasakan kesadarannya mulai memudar, perlahan-lahan tenggelam dalam kegelapan.

Namun, di saat-saat terakhir, sebelum semuanya hilang, Ana mendengar sebuah suara lain—suara yang datang dari dalam dirinya, bukan dari bayangan itu. Suara itu memanggilnya, memintanya untuk melawan. Dengan kekuatan yang tersisa, Ana mencoba bangkit. Ia tidak tahu dari mana kekuatan itu datang, tapi ada sesuatu yang membangkitkan keberanian dalam dirinya. Mungkin karena ia tahu bahwa jika ia menyerah sekarang, maka ia akan hilang selamanya.

Ana mengerahkan seluruh kekuatan yang tersisa. Ia menjerit, dan pada saat itu, bayangan itu terlempar ke belakang. Sosok hitam itu berteriak, suaranya menggema di seluruh ruangan, penuh kemarahan dan rasa sakit. Ana merasa tubuhnya mulai kembali normal, meskipun rasa dingin masih menyelimuti.

Bayangan itu menghilang ke dalam cermin, dan perlahan-lahan, cermin itu kembali seperti semula—tak retak, tanpa jejak dari kejadian yang baru saja terjadi. Ana jatuh terduduk di lantai, terengah-engah. Ia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Cermin itu, yang selama ini hanya menjadi bagian dari kamarnya, ternyata menyimpan rahasia kelam yang tak pernah ia duga.

Setelah beberapa menit berlalu, Ana mencoba bangkit. Tubuhnya masih gemetar, tapi ia tahu bahwa ia harus segera keluar dari kamar itu. Namun, ketika ia beranjak menuju pintu, cermin itu kembali bergetar. Kali ini, Ana tahu bahwa sesuatu telah berubah selamanya. Cermin itu tidak akan pernah menjadi benda mati lagi—ia hidup, dan ia menunggu.

"Ana..." suara itu terdengar lagi, lembut dan dingin. "Kita akan bertemu lagi."

Ana menatap cermin itu untuk terakhir kalinya sebelum meninggalkan kamar. Hatinya dipenuhi rasa takut yang tak berujung. Ia tahu, malam ini hanyalah permulaan dari sesuatu yang jauh lebih mengerikan.

Saat Ana menutup pintu kamar di belakangnya, bisikan-bisikan dari dalam cermin terus terdengar, seakan mengikuti setiap langkahnya, menanti waktu untuk kembali.

4o

Pantulan yang Tak SamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang