Lintasan Akhir

1 0 0
                                    

Ana terbaring di kegelapan, tubuhnya terasa berat, seolah-olah ditarik ke dalam jurang tanpa dasar. Kegelapan yang melilitnya kini bukan hanya sebuah bayangan, tetapi sesuatu yang hidup—sesuatu yang bernapas dan meresap ke dalam setiap pori-porinya. Dalam kesunyian yang memekakkan telinga, hanya suara napasnya yang terdengar samar, terengah-engah, seakan berusaha mencari udara di tengah kekosongan.

Di tengah kehampaan itu, Ana mulai merasakan sesuatu yang aneh. Ada sebuah tarikan dari dalam dirinya, tarikan yang tidak datang dari luar melainkan dari kedalaman jiwanya sendiri. Sebuah cahaya, samar tapi nyata, mulai muncul di dalam hatinya. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa disentuh oleh kegelapan, sesuatu yang selama ini selalu dia miliki tetapi terlupakan—harapan.

"Bangkit," bisik suara di dalam kepalanya, lebih jelas sekarang. "Kau bisa mengalahkannya."

Ana menggigit bibirnya, berjuang untuk bergerak, meski tubuhnya terasa seolah ditimpa beban yang luar biasa. Bayangan-bayangan yang membelitnya mulai bergerak lebih cepat, mencoba menekan cahaya yang mulai tumbuh dalam dirinya. Tapi kali ini, Ana tidak akan menyerah. Dengan segala kekuatan yang tersisa, dia berusaha bangkit. Perlahan tapi pasti, tubuhnya mulai merespons. Dia menarik napas panjang, dan cahaya di dalam dirinya semakin kuat, semakin terang.

Kegelapan meronta, mencoba mencengkram lebih erat, tapi Ana sudah tidak lagi terintimidasi. Dengan satu dorongan terakhir, dia menghempaskan bayangan yang melingkupinya, dan tiba-tiba, dunia di sekitarnya runtuh. Kegelapan itu hancur menjadi serpihan, dan Ana menemukan dirinya kembali di dunia nyata, tubuhnya bergetar akibat perjuangan yang baru saja dia hadapi.

Namun, dunia tempat Ana kembali sudah tidak sama lagi. Ruangan di sekelilingnya telah berubah menjadi medan perang antara cahaya dan bayangan. Dinding-dinding yang dulunya kokoh sekarang penuh dengan celah, dan dari celah-celah itu keluar sosok-sosok gelap yang bergerak dengan cepat, merayap di lantai dan dinding, mencari mangsanya.

Di tengah-tengah ruangan, pria berjubah hitam dari bab sebelumnya masih berdiri, namun kali ini dia tidak tersenyum. Wajahnya penuh dengan kemarahan, dan matanya menyala dengan kebencian yang tidak dapat disembunyikan.

"Kau tidak seharusnya bisa melarikan diri," suaranya bergemuruh di ruangan, mengguncang lantai dan langit-langit di atasnya. "Tidak ada yang pernah bisa keluar dari cengkraman bayanganku!"

Ana menatapnya dengan tatapan tajam, kini lebih yakin dari sebelumnya. "Kau salah. Aku tidak akan menjadi tawanan kegelapanmu lagi."

Pria itu mengangkat tangannya, dan bayangan-bayangan di sekelilingnya mulai membentuk pusaran besar, berputar dengan kecepatan yang mematikan. "Kalau begitu, kau akan menghadapi kekuatanku yang sebenarnya. Kegelapan ini adalah bagian dari dirimu, Ana. Kau tidak bisa melawannya. Semakin kau melawan, semakin kuat ia menjadi."

Ana merasakan angin dingin yang menyertai pusaran bayangan itu, tapi dia tidak gentar. Dia menutup matanya sejenak, merasakan cahaya di dalam dirinya berdenyut semakin kuat. Ada sesuatu yang berbeda kali ini. Cahaya itu bukan hanya harapan; itu adalah bagian dari dirinya yang selama ini tersembunyi, kekuatan yang hanya muncul saat dia benar-benar berada di ambang kehancuran.

Ketika Ana membuka matanya lagi, cahaya itu keluar dari tubuhnya, menerangi ruangan dengan sinar yang begitu terang sehingga bayangan-bayangan yang tadinya begitu kuat mulai terhuyung-huyung, bergerak mundur, berusaha menghindari cahaya itu. Pria berjubah hitam itu mundur selangkah, jelas tidak menyangka bahwa Ana memiliki kekuatan sebesar ini.

"Kau tidak mengerti, Ana," pria itu berkata, suaranya terdengar lebih ragu sekarang. "Kegelapan itu adalah bagian dari dirimu. Kau tidak bisa memisahkannya. Kau akan hancur bersamanya!"

Ana menggelengkan kepala. "Kegelapan memang pernah menjadi bagian dari diriku, tapi aku bukan milik kegelapan. Aku lebih dari sekadar bayanganku."

Dengan setiap kata yang dia ucapkan, cahaya di sekeliling Ana semakin terang, mendorong kembali kegelapan yang mencoba merayap mendekat. Pria itu mulai kehilangan keseimbangan, wajahnya dipenuhi kepanikan yang belum pernah Ana lihat sebelumnya.

Tanpa membuang waktu, Ana melangkah maju, membiarkan cahaya dalam dirinya menjadi tameng dan senjata sekaligus. "Ini saatnya mengakhiri semua ini," katanya tegas.

Pria berjubah hitam itu mengangkat tangannya, mencoba memanggil lebih banyak bayangan, tapi tidak ada yang datang. Kekuatan Ana telah melampaui batas yang bisa dia kendalikan. Dengan satu lambaian tangan, Ana melepaskan gelombang cahaya terakhir, menghantam pria itu dan menghancurkan bayangan yang mengelilinginya.

Pria itu menjerit, tubuhnya terurai menjadi kabut hitam yang lenyap dalam sekejap. Ruangan itu berguncang hebat, seolah-olah seluruh dunia yang diciptakan dari kegelapan ini mulai runtuh. Ana berlari ke arah pintu, yang kini terlihat jelas di ujung ruangan, dan dengan satu dorongan kuat, dia melewatinya.

Ana terbangun di suatu tempat yang berbeda. Udara di sekitarnya terasa lebih ringan, dan cahaya matahari menerpa wajahnya. Dia berbaring di padang rumput yang luas, dan suara burung-burung terdengar di kejauhan. Ana terdiam sejenak, tidak yakin apakah ini nyata atau hanya ilusi lain.

Namun, saat dia bangkit, dia merasakan sesuatu yang berbeda. Kegelapan yang dulu selalu mengikuti setiap langkahnya kini telah menghilang. Tidak ada bayangan yang menyertainya, tidak ada rasa takut yang mengintai di balik setiap sudut. Dunia ini, dunia yang dia tinggali sekarang, tampak nyata—dan bebas.

Ana menarik napas panjang, merasakan udara segar yang masuk ke paru-parunya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, dia merasa tenang. Meskipun perjalanannya belum sepenuhnya berakhir, Ana tahu bahwa dia telah berhasil mengalahkan musuh terbesarnya: ketakutannya sendiri.

Dia menatap cakrawala, matahari mulai terbenam di kejauhan. "Ini baru awal," bisiknya pada diri sendiri, kemudian melangkah ke depan, meninggalkan semua bayangan di belakangnya.

Tapi meskipun dunia ini terlihat damai, Ana tahu bahwa ancaman selalu ada di suatu tempat. Kegelapan mungkin tidak pernah sepenuhnya hilang, tapi Ana kini siap menghadapinya kapan pun ia kembali. Karena kini, dia tahu bahwa cahaya dalam dirinya selalu lebih kuat dari kegelapan apa pun yang mencoba menjatuhkannya.

Pantulan yang Tak SamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang