Bayangan yang Membisu

24 5 1
                                    

Pagi itu dimulai dengan keheningan yang tidak biasa. Matahari bersembunyi di balik awan tebal yang menyelimuti langit, membuat seluruh kota tampak terbungkus dalam lapisan abu-abu. Udara terasa lembap, dan kabut tipis melayang di antara bangunan-bangunan tua. Ana duduk di tepi ranjangnya, memandang keluar jendela, merasakan kegelisahan yang semakin mengakar di dalam dirinya. Ada sesuatu yang terasa tidak beres, sesuatu yang telah menghantui pikirannya selama beberapa minggu terakhir, namun ia tidak dapat menamai apa itu.

Ana menghembuskan napas panjang dan menundukkan kepalanya, mengusap wajah dengan kedua tangannya. Matanya beralih ke cermin besar yang tergantung di dinding seberang. Cermin itu tampak biasa saja pada pandangan pertama, benda sehari-hari yang menjadi bagian dari rutinitasnya. Tapi, akhir-akhir ini, cermin itu tampak berbeda. Ada sesuatu yang tidak nyaman setiap kali Ana berdiri di depannya. Seolah-olah bayangannya bukan lagi sekadar pantulan—ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang mengintai di balik permukaan kaca yang mengkilap.

Ana berdiri dan melangkah menuju cermin. Setiap langkah terasa lebih berat dari yang terakhir, seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang menghalangi gerakannya. Ketika akhirnya ia sampai di depan cermin, ia menatap pantulan dirinya sendiri. Wajah yang sama seperti biasa—rambut hitam panjang tergerai, kulit pucat, dan mata yang tampak lelah karena kurang tidur. Namun, sesuatu tentang pantulannya terasa salah. Sesuatu yang sulit dijelaskan. Matanya menatap balik kepadanya, tapi ada ketidaknyamanan yang merambat melalui tubuhnya.

Ia merapatkan jari-jarinya pada bingkai cermin, merasakan dinginnya logam yang sedikit berkarat. Mengapa cermin ini begitu mengganggu? Ia menggelengkan kepalanya, mencoba menepis pikiran itu. "Aku hanya terlalu lelah," bisiknya pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanyalah hasil dari malam-malam panjang tanpa istirahat yang cukup.

Namun, cermin itu tetap menarik perhatiannya, bahkan ketika ia mencoba untuk tidak melihatnya. Di dalam pikirannya, bayangannya tidak bergerak sebagaimana mestinya. Setiap kali ia berpaling dari cermin, ia merasa ada sepasang mata yang tetap menatapnya, meskipun ia tahu itu tidak mungkin.

Setelah beberapa saat, Ana menjauh dari cermin dan melanjutkan rutinitas paginya. Ia berpakaian dengan cepat, mencoba menghindari cermin itu sebisa mungkin, namun perasaan tidak nyaman itu tetap ada. Setiap kali ia bergerak, ia merasa seolah-olah ada yang mengamatinya—bukan dari dunia luar, tetapi dari dalam kamar itu sendiri.

**

Hari itu di kafe tempat Ana bekerja berlalu seperti biasanya—pelanggan datang dan pergi, beberapa bersikap ramah, beberapa menggerutu tentang kopi yang terlalu panas atau terlalu pahit. Namun, Ana merasa terputus dari semua itu. Ia bekerja dengan otopilot, mengisi cangkir, membersihkan meja, dan tersenyum kepada pelanggan, tetapi pikirannya terus menerawang kembali ke cermin di kamarnya.

"Hey, kau baik-baik saja?" Maya, rekan kerjanya, melirik Ana dengan tatapan prihatin. "Kau kelihatan... tidak seperti biasanya."

Ana tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan rasa gelisah yang terus menghantuinya. "Aku baik-baik saja, mungkin hanya kurang tidur," jawabnya dengan suara serak. Ia tidak ingin membicarakan tentang cermin itu. Bicarakan sesuatu yang aneh dan tak masuk akal, seperti pantulan yang terasa hidup, dan orang akan mengira kau sudah gila, pikirnya.

Maya menatapnya lebih lama dari biasanya, tampaknya tidak sepenuhnya yakin. "Kalau kau butuh istirahat, aku bisa ambil alih sementara."

"Terima kasih, tapi aku baik-baik saja," Ana menjawab sambil berusaha tersenyum lebih meyakinkan, meskipun jauh di dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang benar-benar salah.

Hari itu berlalu dengan lambat. Ketika akhirnya Ana bisa pulang, suasana senja semakin menebal, memberikan kesan lebih kelam pada kota yang sudah abu-abu sejak pagi. Kembali ke apartemennya yang sunyi, Ana merasa seolah-olah udara di dalam kamar lebih berat, lebih pengap. Cermin itu berdiri tegak di sudut ruangan, diam namun memancarkan aura yang tidak wajar. Ana menghela napas dalam-dalam, memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya.

Namun, saat malam menjelang dan lampu kamar mulai meredup, bayangan di cermin mulai terlihat berbeda lagi. Ana duduk di ranjangnya, menatap cermin dari kejauhan. Cahaya lampu yang lembut seharusnya menciptakan pantulan yang menenangkan, tetapi yang ia lihat hanyalah kegelapan yang terasa semakin pekat.

Perasaan dingin merayap ke dalam dirinya, bukan dingin fisik, tetapi dingin yang menusuk ke dalam tulang. Napasnya tersendat ketika ia menyadari bahwa pantulannya tidak sepenuhnya sinkron. Ia berkedip, dan bayangannya berkedip sedikit terlambat. Tangannya bergerak pelan ke arah wajahnya, menyentuh kulitnya yang tiba-tiba terasa lebih dingin dari biasanya.

Lalu sesuatu yang lebih aneh terjadi. Di sudut mata, ia melihat sesuatu bergerak—sesuatu di balik pantulannya. Itu bukan bayangan dari lampu atau benda di kamar. Itu adalah sosok samar, kabut gelap yang melayang di balik cermin, bergerak pelan tetapi jelas.

Ana merasa seluruh tubuhnya menegang. "Apa...?" bisiknya, hampir tidak bersuara. Ia ingin menjauh, ingin berlari keluar dari kamar itu, tetapi tubuhnya terasa terkunci di tempat. Ketakutan membanjiri dirinya, jantungnya berdegup kencang seperti hendak melompat keluar dari dadanya.

Sosok itu semakin jelas. Bayangan kabur itu mulai mengambil bentuk, meskipun bentuknya tidak sepenuhnya manusiawi. Ana tidak bisa menjelaskan apa yang ia lihat—wujud yang tampak seperti gabungan antara bayangannya sendiri dan sesuatu yang lebih gelap, lebih dingin, lebih asing. Bayangan itu bergerak, seolah-olah ingin keluar dari cermin, mendekat padanya. Ana merasa seperti terperangkap dalam mimpi buruk, tetapi ini nyata. Sangat nyata.

Dengan gemetar, ia mundur selangkah, namun cermin itu tetap menariknya. Seolah ada kekuatan yang memikatnya mendekat, meskipun segala insting di dalam dirinya memohon agar ia lari. Tangan Ana terangkat tanpa sadar, meraba-raba udara di depannya sebelum akhirnya menyentuh permukaan cermin. Permukaan kaca itu dingin seperti es, tetapi kali ini, jari-jarinya tidak terasa menyentuh benda padat. Kaca itu terasa licin, hampir seperti cairan.

Ana tersentak, menarik tangannya kembali dengan cepat. Napasnya terengah-engah, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Ia menatap ke dalam cermin, berharap bahwa semua ini hanyalah imajinasinya yang lelah. Tapi pantulan itu tetap ada—bayangan kabur itu tetap di sana, semakin mendekat.

Di dalam hatinya, Ana tahu bahwa apa pun yang ada di dalam cermin itu bukanlah dirinya. Itu bukan pantulan biasa. Itu adalah sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih gelap, lebih berbahaya, dan itu sedang menunggu.

Dengan perasaan campur aduk antara takut dan bingung, Ana melangkah mundur lagi, mencoba menjauh dari cermin. Bayangannya masih berdiri di sana, menatapnya dengan mata yang hampa, senyum samar di wajahnya seolah menantangnya. Cermin itu bukan lagi sekadar benda mati—itu adalah jendela ke sesuatu yang tidak bisa Ana pahami, sesuatu yang siap merayap keluar dari balik permukaan.

Malam itu, Ana tidak bisa tidur. Ia tetap terjaga, duduk di tepi tempat tidurnya, memandang cermin itu dengan hati yang berdebar-debar. Sesuatu telah berubah, sesuatu yang tidak bisa diabaikan lagi. Ia tahu bahwa cermin itu menyimpan rahasia yang lebih gelap daripada yang bisa ia bayangkan. Dan entah bagaimana, ia merasa bahwa rahasia itu terkait erat dengan dirinya.

Pantulan yang Tak SamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang