Ana terjaga di tengah malam, napasnya terengah, tubuhnya terbalut peluh dingin. Ruangan yang dulu hangat dan akrab kini terasa seolah berubah. Dinding-dinding sekitarnya tampak memudar dalam bayangan yang meliuk, sementara suhu ruangan turun drastis hingga menyentuh titik yang membekukan kulit. Perasaan gelisah membebani pikirannya, seakan ada sesuatu—atau seseorang—mengamatinya dengan intens, tersembunyi di balik kegelapan pekat yang tak tersentuh cahaya.
Dari arah sudut ruangan, sebuah suara muncul, begitu lirih namun menggelitik telinga. Awalnya hanya seperti bisikan lembut, seakan datang dari dalam pikirannya, namun semakin lama semakin jelas. Suara itu menggetarkan, mengirimkan rasa takut yang begitu dalam ke dalam tubuhnya.
"Ana... datanglah."
Bisikan itu terus memanggil namanya, namun kali ini dengan nada ancaman yang terselubung. Setiap katanya terdengar penuh kekejaman dan kesuraman. Ana mencoba menenangkan dirinya, namun tubuhnya terasa berat, terikat oleh ketakutan yang menyesakkan. Kakinya terasa seperti tidak berpijak di bumi lagi saat dia bangkit berdiri tanpa sadar, bergerak keluar dari kamarnya, menuju lorong yang gelap gulita.
Lorong itu tak seperti sebelumnya. Dinding-dinding yang dulu kukuh kini tampak bergerak perlahan, seolah hidup dengan denyut yang mengerikan. Cahaya lampu di sepanjang lorong berkedip-kedip, sebelum padam sepenuhnya, meninggalkan Ana dalam kegelapan yang total. Hanya ada suara itu, terus memanggil.
"Datanglah... Ana. Aku menunggumu."
Jantung Ana berdetak semakin cepat, dadanya naik turun dengan panik. Di kejauhan, di ujung lorong yang kini tak berujung, ia melihat sebuah pintu. Pintu itu bukanlah pintu biasa. Kayunya berlumuran darah, retak-retak, dan dari celah-celahnya, sesuatu tampak bergerak—seperti daging yang menggeliat, mencoba keluar.
Ana terdiam, sekujur tubuhnya dipenuhi rasa takut yang begitu intens, hingga tak mampu bergerak. Namun, langkah kakinya seakan tak bisa dihentikan, seakan dipaksa oleh kekuatan yang lebih besar untuk terus maju. Setiap langkah terasa seperti mendekatkan dirinya ke dalam mulut kematian. Tangan gemetar, jari-jarinya meraih gagang pintu yang terasa dingin seperti es. Perlahan, dengan napas tersengal, Ana mendorong pintu itu terbuka.
Pintu terbuka, dan seketika itu pula ia disambut oleh kegelapan pekat yang begitu tebal, tak ada satu pun cahaya yang bisa menembusnya. Namun, dari dalam kegelapan, sesuatu bergerak. Bayangan-bayangan gelap, tak berbentuk namun sangat nyata, meluncur keluar, mengelilingi Ana dengan bisikan-bisikan yang penuh kebencian dan kesakitan. Bayangan itu seolah terbuat dari kengerian yang hidup, bergerak seperti kabut hitam yang tak berujung.
Dan di antara bayangan-bayangan itu, muncul sosok yang membuat bulu kuduk Ana meremang. Tinggi, menjulang, dengan kulit pucat seperti mayat yang membusuk, sosok itu mendekat dengan langkah pelan namun pasti. Wajahnya—atau apa yang tersisa dari wajah itu—hancur, dengan mata yang tampak seperti bara api merah menyala dari kegelapan, menatap Ana dengan tatapan yang mengerikan.
"Sudah lama aku menunggumu."
Suara itu tidak keluar dari mulut sosok itu, tetapi langsung mengisi kepala Ana, menusuk-nusuk pikirannya seperti ribuan jarum tajam. Rasa sakit menjalar di sekujur tubuh Ana, membuatnya meringis dan jatuh ke lantai, memegangi kepalanya yang berdenyut hebat. Bayangan di sekelilingnya berputar lebih cepat, erangan mereka semakin keras, membuat Ana merasa terperangkap dalam pusaran neraka.
Tangan kurus sosok itu terulur ke arah Ana, mencengkeram lengannya dengan kekuatan yang luar biasa. Sentuhannya sedingin es, namun seakan-akan kulit Ana terbakar ketika disentuh. Rasa sakit yang tak terbayangkan menjalar dari lengannya ke seluruh tubuh, membuat Ana menjerit sejadi-jadinya. Sosok itu tertawa dengan suara rendah yang penuh kebencian.
"Rasakan penderitaanmu, Ana. Ini baru permulaan."
Ana mencoba melepaskan diri, tetapi tangan sosok itu semakin erat mencengkeram, semakin kuat menariknya ke dalam kegelapan. Pada saat itu, sesuatu yang jauh lebih menyeramkan terjadi. Bayangan-bayangan di sekitarnya mulai mendekat, menyatu dengan sosok itu, berubah menjadi semacam cairan hitam yang hidup, menggeliat di permukaan kulitnya. Cairan itu merangkak ke tubuh Ana, masuk melalui pori-porinya, merayap di bawah kulitnya. Setiap gerakan cairan itu seperti ribuan pisau kecil yang mengiris dari dalam.
Ana terjerat dalam mimpi buruk hidup yang tak berujung. Tangannya bergetar, darah mengalir dari setiap pori-porinya, sementara bayangan itu terus menguasainya. Di antara jeritan kesakitan, Ana bisa mendengar suara tawa yang menggema di sekelilingnya. Sosok itu menariknya lebih dekat, menatap langsung ke dalam jiwanya dengan mata merah yang menyala.
"Tidak ada jalan keluar, Ana. Kau milikku... selamanya."
Ana tersedak dalam ketakutan dan penderitaan. Cahaya kecil dalam dirinya berusaha melawan, namun kegelapan begitu kuat, menghisap setiap harapan yang tersisa. Ia bisa merasakan hidupnya perlahan-lahan ditarik keluar, seperti cahaya lilin yang sekarat di tengah badai. Bayangan itu semakin menyelimuti, menekan dadanya, membuatnya hampir tak bisa bernapas. Rasanya seperti ribuan cakar tajam yang menembus kulitnya, menyayat-nyayat setiap saraf, meninggalkannya dalam penderitaan yang tak terkatakan.
Sosok itu tertawa sekali lagi, puas dengan rasa sakit yang telah ia ciptakan.
Ana menjerit dalam kepedihan yang luar biasa, suaranya menggema di seluruh ruang, namun tak ada yang mendengar. Sosok itu menariknya lebih dekat, wajahnya yang hancur kini hanya beberapa inci dari wajah Ana. Dari mulut sosok itu, sesuatu merayap keluar—sebuah lidah hitam yang panjang, berlumuran darah, menjilati wajah Ana dengan kekejaman yang tak bisa dijelaskan.
"Rasakan ini, Ana... ini adalah takdirmu."
Dengan kekuatan terakhirnya, Ana mencoba melawan, tapi tubuhnya semakin lemah, sementara bayangan itu terus merayap lebih dalam ke dalam dirinya. Sensasi terbakar menyelimuti pikirannya, membuatnya hampir kehilangan akal. Ana bisa merasakan bayangan itu mengambil alih, menghisap semua yang tersisa dari dirinya, menyisakan hanya kekosongan yang gelap dan tanpa harapan.
Namun, tepat saat Ana berada di ambang kehancuran, sebuah suara lain muncul, begitu lembut namun kuat. Suara yang telah lama ia kenal, suara yang menenangkan, seperti cahaya di tengah kegelapan yang pekat. Suara ibunya.
"Ana... bangkitlah."
Sebuah cahaya kecil muncul dari dalam dirinya, tumbuh semakin besar, memaksa bayangan itu mundur sejenak. Ana tahu ini adalah kesempatan terakhirnya. Dengan semua kekuatan yang tersisa, ia berteriak dalam hatinya, menolak untuk menyerah. Cahaya itu semakin kuat, dan kegelapan mulai bergetar, seperti makhluk yang tersakiti oleh terang.
Sosok itu menjerit dalam kemarahan, tangannya yang kurus mencoba mencengkeram Ana lagi, tapi kali ini cahayanya terlalu kuat. Bayangan-bayangan di sekeliling mereka mulai meleleh, seperti lilin yang terkena panas, meninggalkan genangan hitam yang kental di lantai.
Ana, dengan napas yang terengah, berdiri. Cahaya dari dalam dirinya mengusir sisa-sisa kegelapan, memaksa sosok itu mundur, menjerit dalam kesakitan.
"Kau tidak bisa lari selamanya, Ana!" Sosok itu memekik, sebelum akhirnya lenyap dalam pusaran bayangan yang hancur, meninggalkan kegelapan yang sunyi.
Namun, Ana tahu ini belum berakhir. Dia telah selamat malam ini, tapi bayangan itu akan selalu menunggu, mencari kesempatan untuk kembali dan mengambilnya. Dan kali ini, mereka akan lebih kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pantulan yang Tak Sama
HorrorPantulan yang Tak Sama adalah kisah menegangkan tentang Ana, seorang wanita muda yang dihadapkan pada bayangan dirinya sendiri yang hidup dari balik cermin. Saat pantulan itu berubah menjadi ancaman nyata, Ana harus berjuang melawan kegelapan yang b...