Pantulan yang Menghilang

6 3 0
                                    

Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Biasanya, malam di rumah tua itu akan dipenuhi suara angin yang menyapu pepohonan atau sesekali denting tetesan air dari atap yang bocor. Namun, malam ini berbeda. Tidak ada bunyi, tidak ada suara yang mengiringi kesendirian Ana. Kegelapan seolah menelan semuanya, meninggalkan ruangan dengan kesunyian yang mencekam. Ana duduk diam di kursi tua di depan cermin yang telah menemani hidupnya selama beberapa minggu terakhir. Sejak insiden terakhir, cermin itu tampak tenang, diam, dan tidak memberikan tanda-tanda aneh lagi. Tapi Ana tahu lebih baik daripada mempercayai ketenangan semu ini.

Sudah beberapa hari berlalu sejak cermin itu retak untuk kedua kalinya, dan Ana merasa lega sementara waktu. Retakan di permukaan cermin seolah-olah mematahkan kekuatan yang dimiliki oleh pantulan jahatnya. Namun, ketenangan itu hanya berlangsung sebentar. Ada sesuatu di balik cermin itu yang membuat Ana selalu merasa diintai, seolah ada mata yang mengawasi setiap gerak-geriknya, menunggu waktu yang tepat untuk menyerang lagi.

Sementara Ana menatap cermin yang kini terlihat biasa, ada perasaan aneh yang merambati tulang punggungnya. Sensasi dingin yang menjalar seperti es, membuat bulu kuduknya berdiri. Ana menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, tapi getaran kecil yang muncul dari dasar perutnya tidak bisa diabaikan.

"Apa yang sedang terjadi?" batinnya bertanya-tanya, namun ia tetap tak berani berpaling dari cermin di depannya.

Sejak peristiwa yang melibatkan cermin retak itu, hidup Ana berubah total. Setiap malam, mimpinya dipenuhi oleh bayangan-bayangan gelap. Sosok dirinya yang tak utuh terus menghantui, seolah-olah mencoba menariknya kembali ke dunia di balik cermin. Tidak hanya mimpinya yang terganggu, tapi juga kenyataannya. Ana merasa dirinya terus menerus diintai, bahkan ketika ia melakukan hal-hal biasa seperti menyeduh kopi atau berjalan di taman. Sesuatu, atau seseorang, selalu ada di pinggiran kesadarannya, siap menyelinap masuk kapan saja.

Malam ini, perasaan itu lebih kuat daripada sebelumnya. Ada sesuatu yang berbeda di cermin itu, meskipun ia tidak bisa melihatnya secara langsung. Ana mendekatkan wajahnya ke permukaan kaca, mengamati setiap detail dengan seksama. Tidak ada bayangan aneh, tidak ada retakan baru, tapi hatinya tahu bahwa ada yang salah. Pantulan dirinya terlihat lebih jauh daripada yang seharusnya. Meskipun ia berdiri tepat di depan cermin, bayangannya tampak menjauh, memudar, seolah-olah ditarik ke dunia lain.

Perlahan, cermin itu mulai bergetar. Awalnya halus, hampir tak terasa, tapi kemudian getaran itu semakin kuat. Dinding di sekitar ruangan berderak pelan, seperti ada tekanan tak terlihat yang mendorong dari luar. Angin dingin mulai menyelinap ke dalam kamar, meskipun jendela-jendela tertutup rapat. Ana merasakan hatinya berdegup kencang, namun kakinya seakan terpaku di tempat. Cermin itu kembali hidup, tapi tidak seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Kali ini, permukaannya mulai bergerak, beriak seperti air yang sedang dipermainkan angin. Riakan itu menyebar dari tengah, menciptakan pola-pola aneh yang membuat Ana semakin terperangah.

Tanpa peringatan, permukaan cermin berubah menjadi cairan hitam pekat. Suara seperti bisikan halus mulai memenuhi ruangan, dan dari balik permukaan cermin yang gelap, muncul bayangan samar yang semakin jelas. "Kembalilah..." Suara itu terdengar lebih jelas sekarang, tidak lagi hanya bisikan, tapi suara nyata yang menggema dari kedalaman.

Ana berusaha melangkah mundur, tapi tubuhnya tidak dapat bergerak. Ada sesuatu yang tidak terlihat menahannya di tempat, menariknya lebih dekat ke cermin. Cahaya di ruangan itu semakin redup, dan hanya ada cermin yang bersinar dengan aura kelam. Suara-suara itu semakin keras, seolah-olah banyak orang berbicara sekaligus, memenuhi pikirannya dengan kebingungan dan ketakutan.

"Ini tidak nyata... ini hanya mimpi..." Ana mencoba meyakinkan dirinya, namun ia tahu lebih baik daripada itu. Ini bukan mimpi. Ini adalah kenyataan yang mengerikan yang harus ia hadapi.

Pantulannya di cermin hilang sepenuhnya, digantikan oleh kegelapan yang tampak hidup. Ana merasakan dirinya disedot ke dalam ruang yang tidak dikenal, tubuhnya terasa ringan dan terangkat dari tanah. Ia merasa terjebak di antara dua dunia, di satu sisi masih berada di ruangan itu, namun di sisi lain, sebagian dari dirinya telah terseret ke dalam kegelapan cermin.

Di tengah segala kekacauan itu, Ana mendengar suara yang familiar—suara dirinya yang lain, suara dari bayangan yang selama ini mengintainya dalam mimpi buruknya. "Kau tak bisa lari lagi, Ana. Waktumu sudah habis."

Suara itu penuh dengan kesombongan dan kepastian. Ana ingin melawan, tapi seluruh tubuhnya terasa lemah. Kegelapan mulai menelan pikirannya, membuatnya semakin sulit untuk berpikir jernih. Bayangan di cermin, yang kini berbentuk sosok samar, semakin mendekat, dan Ana tahu bahwa jika ia tidak melakukan sesuatu, ia akan terseret sepenuhnya ke dalam dunia yang mengerikan ini.

Namun, di tengah kegelapan yang melingkupinya, sebuah cahaya kecil muncul. Cahaya itu berasal dari dalam dirinya sendiri—cahaya yang lemah tapi stabil, seperti percikan api kecil yang terus menyala meskipun diterpa angin kencang. Cahaya itu membuat Ana sadar bahwa ia masih memiliki kendali atas dirinya. Ia tidak sepenuhnya hilang. Dengan sisa kekuatan yang ada, Ana mulai memusatkan pikirannya pada cahaya itu, membiarkannya tumbuh dan menguasai tubuhnya.

"Aku tidak akan menyerah!" teriaknya dengan suara yang lebih kuat dari sebelumnya. Suara itu menggema di seluruh ruangan, memecahkan keheningan yang menyesakkan.

Cahaya dari dalam dirinya semakin kuat, menerangi ruang gelap yang mengelilinginya. Sosok bayangan yang tadi mendekat mulai mundur, tampak terancam oleh kekuatan baru yang muncul dari Ana. Kegelapan yang ada di cermin mulai bergetar, dan retakan-retakan muncul di permukaannya. Satu demi satu, retakan itu menyebar, seperti cermin yang pecah di bawah tekanan yang luar biasa.

Ana merasa dirinya kembali kuat. Ia merasakan bahwa cahaya itu bukan hanya sekedar harapan, tapi juga sumber kekuatan yang selama ini ia abaikan. Dengan tekad yang bulat, Ana melangkah maju, mendekati cermin yang kini hampir sepenuhnya pecah. Sosok bayangan di dalamnya tampak berusaha melarikan diri, namun cermin itu tidak memberinya kesempatan. Dengan suara gemuruh yang hebat, cermin itu pecah menjadi ribuan keping, menghancurkan bayangan yang selama ini menghantui Ana.

Ana terjatuh ke lantai, terengah-engah. Tubuhnya gemetar, tapi ia tahu bahwa ia telah memenangkan pertempuran ini. Cermin itu, yang selama ini menjadi sumber ketakutan dan kekuatannya, kini telah hancur sepenuhnya. Namun, di dalam hatinya, Ana tahu bahwa perjalanannya belum selesai. Masih ada misteri yang belum terpecahkan, masih ada bagian dari dirinya yang harus ia hadapi.

Di antara pecahan cermin yang berserakan di lantai, Ana melihat sekilas pantulan dirinya. Kali ini, pantulan itu berbeda- lebih nyata, lebih utuh. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Ana merasa damai, meskipun ia tahu bahwa jalan di depannya masih penuh dengan bahaya. Namun, satu hal yang pasti: ia telah menemukan kekuatan di dalam dirinya, dan tidak ada lagi yang bisa menghentikannya.

Pantulan yang Tak SamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang