Bisikan Kegelapan

2 0 0
                                    

Ana terbangun di tengah malam, terengah-engah, dengan napasnya berat seolah-olah baru saja berlari dalam mimpi buruk yang tak kunjung berhenti. Kamar yang semula terasa nyaman kini berubah menjadi dingin dan menyesakkan. Bulan tidak lagi tampak di balik jendela, digantikan oleh gelap gulita yang membingungkan. Di sudut-sudut kamar, bayangan mulai bergerak, berkelit di luar batas pandangannya, tapi Ana tahu mereka ada di sana—mengawasinya.

Jantungnya berdegup kencang ketika dia menyadari bahwa ini bukan sekadar mimpi buruk. Ini adalah panggilan dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang lebih jahat. Ana bisa merasakan kehadiran itu, kehadiran yang pernah dia lawan namun kini kembali lebih kuat dari sebelumnya. Bisikan-bisikan yang samar mulai memenuhi kepalanya, melingkari pikirannya dengan kata-kata yang tak dimengerti namun menakutkan.

"Kau tidak bisa melarikan diri selamanya..."

Ana mencoba menenangkan dirinya, memejamkan mata dan menarik napas panjang, namun rasa dingin yang merambat dari lantai hingga ke tulang-tulangnya membuatnya tak bisa tenang. Dia bangkit dari tempat tidur dengan tubuh yang gemetar, tangannya bergetar saat dia menyentuh lantai yang kini terasa licin dan dingin, seolah-olah ada sesuatu yang merembes dari bawahnya.

Di sudut kamar, cermin kecil yang terletak di meja rias mulai bergetar perlahan. Ana mendekatinya dengan hati-hati, langkah-langkahnya nyaris tak terdengar di lantai kayu yang retak. Ketika dia sampai di depan cermin itu, refleksinya tampak berbeda. Bukan hanya karena cahaya redup, tapi ada sesuatu yang salah dengan bayangan yang terlihat.

Refleksi dirinya tampak lebih buram, seperti diliputi kabut hitam yang menempel erat di seluruh tubuhnya. Wajahnya tampak memudar, hanya menyisakan bayangan samar dengan mata yang berkilauan dalam gelap. Sebelum Ana bisa menyentuh cermin itu, bayangan di dalamnya mulai bergerak sendiri—memutar tubuhnya berlawanan dengan arah Ana.

Bayangan itu tersenyum, memperlihatkan gigi-gigi yang tajam dan mata merah menyala yang bersinar di tengah kegelapan. "Sudah waktunya," bisik bayangan itu dengan suara yang menggema di seluruh ruangan.

Ana tersentak mundur, matanya terbuka lebar dengan rasa ngeri yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Bayangan itu, meski berada di dalam cermin, terasa begitu nyata. Lebih dari sekadar pantulan, ia adalah makhluk yang telah lama mengintainya, menunggu momen ini untuk kembali menyusup ke dunia nyata.

"Kau tak bisa lari dari takdirmu," suara bayangan itu terdengar lagi, kali ini lebih tajam, lebih mengintimidasi.

Ana tidak punya pilihan. Dia tahu bahwa berdiam di tempat hanya akan memberinya celah untuk masuk. Dia harus keluar dari sini, mencari tempat di mana bayangan ini tidak bisa menjangkau dirinya. Namun saat dia berbalik untuk melangkah menuju pintu, tubuhnya terasa berat, seolah-olah ada sesuatu yang menariknya kembali ke dalam kegelapan.

Tiba-tiba, pintu kamar terbanting tertutup dengan sendirinya, meninggalkan Ana terperangkap di dalam ruangan yang semakin dipenuhi oleh hawa dingin. Asap hitam mulai merembes dari celah-celah lantai, merayap ke arah kakinya dengan kecepatan yang tidak biasa. Ana menendang balik, mencoba melarikan diri, namun asap itu bergerak terlalu cepat, menggenggam pergelangan kakinya dengan erat seperti sebelumnya.

"Asap ini lagi...!" Ana berbisik, jantungnya berdetak lebih cepat.

Dengan rasa panik yang mulai meluap, Ana menendang-nendang, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman kegelapan yang semakin kuat. Namun, kali ini asap itu terasa lebih dingin dan kuat, hampir seperti tangan yang tak kasatmata, meremas kakinya dan menariknya semakin mendekat ke cermin. Setiap kali dia mencoba melawan, bayangan di dalam cermin tertawa, suaranya terdengar seperti ribuan jeritan jiwa yang terperangkap di dalam dunia lain.

Ana tahu bahwa jika dia terseret masuk, tidak akan ada jalan keluar. Kegelapan itu akan mengambil jiwanya, meninggalkan tubuhnya sebagai wadah kosong yang siap diisi oleh makhluk-makhluk yang mengintai di balik dunia cermin.

"Tidak! Aku tidak akan menyerah!" Ana berteriak, menarik kekuatan terakhir yang tersisa di dalam dirinya.

Namun, sebelum dia sempat bertindak lebih jauh, cermin di depannya mulai retak. Garis-garis retakan menyebar dari tengah, menciptakan pola yang menyerupai jaring laba-laba yang terurai. Dari celah retakan itu, sebuah tangan muncul—tangan yang berwarna hitam pekat dengan jari-jari panjang yang mengerikan. Tangan itu bergerak cepat, mencengkeram bahu Ana dan menariknya dengan kekuatan yang luar biasa.

Ana menjerit, tubuhnya terhempas ke arah cermin dengan keras. Cermin itu pecah seketika, namun alih-alih terpotong oleh pecahan kaca, Ana mendapati dirinya ditarik ke dalam kekosongan yang dingin. Dunia di sekelilingnya berubah, tidak lagi berupa kamar yang dia kenal, melainkan ruang tanpa batas yang dipenuhi oleh kabut dan bisikan. Kabut itu mengelilinginya, menutupi pandangannya, sementara bayangan-bayangan bergerak cepat di sekitarnya.

Di kejauhan, Ana bisa mendengar suara tawa yang mengerikan, tawa bayangan yang kini memegang kendali atas dirinya. Dia mencoba bergerak, tapi tubuhnya terasa terjebak di antara dua dunia, tidak bisa kembali ke realitas, namun belum sepenuhnya terperangkap di dunia bayangan.

Suara bisikan-bisikan mulai memenuhi kepalanya, memanggil-manggil namanya dengan nada mengancam. "Ana... Ana... kau milik kami sekarang..."

Kegelapan itu mulai merayap ke dalam pikirannya, menciptakan ilusi-ilusi yang mengerikan. Dia melihat dirinya sendiri, tapi bukan dirinya yang biasa. Ana yang lain, berdiri di tengah kegelapan dengan mata yang kosong dan senyum jahat. Ana itu menatapnya, tidak berbicara, hanya menyeringai sebelum menghilang kembali ke dalam kabut.

"Ini tidak nyata," bisik Ana pada dirinya sendiri, mencoba melawan rasa takut yang mulai menguasai pikirannya.

Namun, semakin dia berusaha menyangkal, semakin nyata semuanya terasa. Dunia yang dia masuki ini penuh dengan ketakutan terbesarnya, dengan bayangan yang bergerak tanpa suara, mengikuti setiap gerakannya. Tubuh Ana gemetar hebat, dan napasnya menjadi lebih pendek dan berat. Dia merasa seperti tenggelam, tenggelam dalam lautan kegelapan yang tak berujung.

Di tengah kebingungannya, Ana mendengar suara yang berbeda, suara yang lebih lembut, seperti bisikan dari jauh yang tidak bisa dijangkau. Suara itu memanggilnya, tapi kali ini dengan nada yang penuh kehangatan. Suara itu familiar, seperti seseorang yang dia kenal, tapi dari mana? Dia tidak bisa mengingatnya.

"Ana... ikuti aku..."

Ana berusaha keras mengikuti suara itu, mengabaikan segala bisikan jahat yang masih memenuhi telinganya. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah ada yang menariknya kembali ke dalam kegelapan, namun suara itu tetap menjadi panduan, memberikan harapan di tengah keputusasaan.

Di depan, kabut mulai terbuka, memperlihatkan sebuah pintu tua yang terbuat dari kayu usang. Pintu itu berdiri sendiri di tengah kegelapan, seolah menjadi satu-satunya jalan keluar dari neraka ini. Ana tahu dia harus mencapai pintu itu, namun di sekelilingnya, bayangan-bayangan mulai mendekat dengan cepat, mencoba menghalangi jalannya.

Ana berlari sekuat tenaga, merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. Bayangan-bayangan itu berusaha menangkapnya, meraih tubuhnya dengan tangan-tangan gelap yang menakutkan. Namun, Ana terus berlari, fokus hanya pada pintu di depannya. Ketika dia hampir mencapainya, salah satu bayangan berhasil menangkap lengannya, menariknya kembali dengan kekuatan yang luar biasa.

Dengan teriakan penuh kemarahan, Ana meronta, melepaskan dirinya dari cengkeraman bayangan itu dan mendorong pintu kayu di depannya. Saat pintu terbuka, cahaya terang menyelimuti dirinya, menembus kegelapan dan mengusir bayangan-bayangan yang mencoba mengejarnya.

Ana terjatuh ke tanah di sisi lain pintu, terengah-engah dan kelelahan. Cahaya itu perlahan memudar, meninggalkannya di dalam keheningan yang aneh. Dia merasa aman, namun juga sadar bahwa pertarungan ini belum benar-benar selesai. Ana menatap sekeliling, mencoba memahami di mana dia sekarang, tapi yang bisa dia lihat hanyalah ruang kosong yang membentang jauh ke depan. Namun, dia tahu satu hal—ini belum berakhir. Bayangan itu masih menunggunya, dan suatu saat nanti, mereka akan kembali.

Pantulan yang Tak SamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang