Malam itu, Ana terbangun dengan napas terengah-engah. Kegelapan di kamarnya terasa tebal, menyesakkan, seolah-olah dinding-dindingnya menyempit mendekatinya. Ia memegang dada, merasakan jantungnya berdetak kencang, sementara perasaan aneh menyelinap ke dalam benaknya—sesuatu sedang mengawasinya.
Namun, itu bukan hal yang baru. Selama beberapa malam terakhir, rasa takut yang tak dapat dijelaskan terus menggerogotinya. Bayangan-bayangan di rumahnya bergerak dengan sendirinya, suara-suara samar terdengar dari balik dinding, dan lorong panjang yang menghubungkan ruang tengah dengan kamarnya berubah menjadi tempat yang tak lagi terasa nyata.
Ana menyalakan lampu di samping tempat tidurnya, berusaha menenangkan diri. Namun, cahaya kecil itu tampak tak mampu melawan kegelapan yang ada di sekitarnya. Ia tahu ia harus keluar dari kamar, mencari udara segar, sesuatu untuk menghapus rasa takut yang terus melekat.
Dengan langkah ragu, Ana membuka pintu kamarnya. Di depannya terbentang lorong yang seharusnya pendek, tapi malam ini terasa lebih panjang. Lampu-lampu yang seharusnya menerangi lorong itu padam satu per satu, membuat kegelapan semakin tebal. Ana menelan ludah, mendengar suara langkah kakinya sendiri yang terpantul di lantai kayu.
Lorong itu kini terasa seperti jalan tanpa ujung. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat, seolah-olah waktu melambat, dan dinding di sekelilingnya terus bergerak, seperti ditarik oleh kekuatan tak terlihat. Ada sesuatu yang bergerak di balik dinding—bukan bayangan biasa, melainkan sosok yang tak seharusnya ada di dunia ini.
Langkah Ana terhenti ketika ia melihatnya: sebuah pintu di ujung lorong yang tidak pernah ada sebelumnya. Pintu itu terbuat dari kayu tua, usang, dan diukir dengan simbol-simbol aneh yang tak pernah dilihat Ana sebelumnya. Simbol-simbol itu tampak hidup, berdenyut seiring dengan detak jantungnya. Udara di sekelilingnya terasa semakin dingin, membuat napasnya keluar dalam kepulan kabut.
Namun, meskipun rasa takutnya semakin menjadi, Ana tak bisa berhenti. Ada sesuatu di balik pintu itu yang memanggilnya, sebuah bisikan halus namun memaksa.
"Kau harus masuk... semuanya akan berakhir di sini."
Suara itu begitu dekat, seperti berbisik langsung ke telinganya. Ana menggigil, tetapi entah kenapa, kakinya terus bergerak maju. Tangannya meraih gagang pintu yang dingin seperti es, dan dengan tarikan napas panjang, ia mendorong pintu itu terbuka.
Begitu pintu terbuka, aroma busuk yang menyengat menerjang wajahnya. Ruangan di balik pintu itu gelap gulita, tapi ada sesuatu yang berkilat di dalamnya. Ana memfokuskan pandangannya, dan apa yang ia lihat membuat jantungnya hampir berhenti berdetak.
Di sana, tergantung dari langit-langit, terdapat tubuh-tubuh manusia yang sudah lama membusuk. Mata mereka terbelalak, seolah-olah mati dengan ketakutan yang luar biasa. Suara gemerisik datang dari sudut ruangan, dan Ana merasakan kehadiran sesuatu yang lain. Sesuatu yang hidup, namun bukan manusia. Suara napasnya kasar, seperti binatang buas yang sedang mengintai mangsanya.
Ana mundur, namun kakinya tersandung sesuatu. Ia menunduk dan menemukan sebuah tangan yang mencengkeram pergelangan kakinya—sebuah tangan yang berasal dari salah satu tubuh yang tergantung itu. Ana menjerit, mencoba melepaskan diri, tetapi cengkeraman tangan itu begitu kuat, seolah-olah ia masih hidup meskipun jasadnya telah lama mati.
Tiba-tiba, ruangan itu dipenuhi suara bisikan. Bisikan yang tak henti-hentinya, mengisi setiap celah ruangan, menghancurkan kewarasan Ana. Ia menutupi telinganya, berusaha mengabaikan bisikan-bisikan itu, tapi sia-sia. Bisikan itu terus mendesaknya, berbicara tentang kematian, kegelapan, dan penderitaan tanpa akhir.
"Kau akan menjadi milik kami... kami telah menunggumu..."
Ana merasa kehilangan kontrol atas tubuhnya. Tangan-tangan dingin dan tak terlihat mulai merayap ke seluruh tubuhnya, menariknya menuju kegelapan yang semakin pekat. Saat ia mencoba melawan, pandangannya mulai kabur, dan tubuhnya terasa lemas, seolah-olah diisap oleh kekuatan yang lebih besar dari apapun yang pernah ia hadapi.
Suara derak keras terdengar dari atasnya, dan langit-langit mulai retak, mengeluarkan sesuatu yang lebih menakutkan dari apapun yang bisa Ana bayangkan. Sebuah sosok besar dengan wajah yang hampir tidak berbentuk, namun matanya—mata kosong itu menatap Ana dengan kebencian murni. Sosok itu turun perlahan, menyeret tubuhnya yang tidak manusiawi mendekat ke arah Ana, sementara bisikan di sekelilingnya semakin memekakkan telinga.
Ana berteriak, namun suaranya lenyap dalam suara bisikan yang semakin keras. Sosok itu melingkarkan lengannya di sekeliling Ana, menariknya semakin dekat ke wajah tanpa ekspresi itu. Napasnya dingin dan menusuk, membuat seluruh tubuh Ana membeku dalam ketakutan yang tak terkendali.
"Ini akhirmu," suara serak itu berkata, pelan namun mematikan.
Dengan satu gerakan cepat, sosok itu menghilang, membawa Ana bersamanya ke dalam kegelapan yang tak terhindarkan. Lorong yang dulu ia kenal kini lenyap, digantikan oleh jurang tanpa dasar yang menunggu untuk menelan jiwanya.
Kegelapan telah menang, dan Ana... hilang tanpa jejak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pantulan yang Tak Sama
TerrorPantulan yang Tak Sama adalah kisah menegangkan tentang Ana, seorang wanita muda yang dihadapkan pada bayangan dirinya sendiri yang hidup dari balik cermin. Saat pantulan itu berubah menjadi ancaman nyata, Ana harus berjuang melawan kegelapan yang b...