Part 14 mencari solusi

101 16 5
                                    

Sudah empat hari berlalu sejak kejadian itu, dan setiap hari Ayan semakin mengabaikan Akk. Di sekolah, Ayan duduk bersama Thua dan teman-teman lainnya, tertawa dan bercanda, tetapi tidak pernah melirik Akk. Rasa kesepian menggerogoti Akk setiap kali dia melihat Ayan, yang dulunya selalu ceria dan penuh semangat di sisinya.

Pagi itu, Akk masuk kelas dengan hati yang berat. Dia melihat Ayan sedang berbincang dengan Thua, wajahnya cerah dan senyumnya tidak pernah pudar. Akk merasakan sesuatu di dalam dadanya, seolah ada lubang yang menganga lebar. "Kenapa dia bisa baik-baik saja tanpa aku?" pikirnya, merasa seolah ada jarak yang semakin jauh di antara mereka.

Saat waktu rehat tiba, Akk duduk sendiri di kantin, seolah menikmati makanan di depannya, tetapi tidak ada satu pun suapan yang terasa enak. Dia melihat Ayan di meja yang jauh, dikelilingi teman-teman baru. Luke duduk di sampingnya, mengusap punggung Ayan dengan lembut sambil tertawa. Melihat momen itu membuat hati Akk semakin perih. "Seharusnya aku yang ada di sana," gumamnya pelan.

Akk merasa marah pada dirinya sendiri. Dia merindukan Ayan, ingin meminta maaf, tetapi egonya menghalanginya untuk melangkah maju. "Bagaimana aku bisa minta maaf jika dia tidak mau mendengarkan?" keluhnya dalam hati. Setiap kali Ayan tertawa, seolah ada jarum yang menusuk hatinya, mengingatkan bahwa dia telah menyakiti orang yang paling dia sayangi.

Satu hari, Akk memberanikan diri untuk mendekati Ayan, tetapi ketika dia melangkah, Ayan sepertinya sudah tahu dan langsung berpaling, seolah menghindarinya. Rasa malu dan sakit hati membuatnya kembali mundur, tidak berani mengambil risiko lebih jauh.

Menjelang akhir hari, Akk duduk di bangkunya, menunggu bel pulang. Dia merasa lelah dan putus asa. "Ayan, apa kamu benar-benar tidak ingin berbicara denganku?" bisiknya. Tapi jawaban itu hanya hampa, menghilang bersama angin. Dengan hati yang penuh penyesalan, Akk tahu dia harus melakukan sesuatu—sesuatu untuk mendapatkan kembali Ayan dan memperbaiki semua kesalahan yang telah dia buat.

————-

Akk duduk di ruang tamu, wajahnya terlihat kusut dan bingung. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum mengungkapkan isi hatinya kepada Mama. Akk mengusap wajahnya dengan kedua tangan, rasa bingung dan frustasi jelas terpancar. "Mama, aku benar-benar gak tahu lagi harus gimana," katanya dengan suara rendah, hampir putus asa. "Ayan udah empat hari gak mau bicara sama aku, bahkan dia ngehindar kalau aku coba deketin."

Mama menatapnya, amarahnya masih tampak di wajahnya. "Akk, kamu sadar gak, apa yang udah kamu lakuin? Kamu bukan cuma salah tuduh, kamu juga menghancurkan kepercayaan Ayan. Anak itu udah percaya sama kamu sejak kecil, dan kamu balas dengan gak percaya padanya."

Akk mengangguk pelan, merasa semakin tertekan oleh rasa bersalah. "Aku tahu, Mama. Aku salah. Aku terlalu keras sama dia, aku marah tanpa pikir panjang. Tapi sekarang... dia bahkan gak mau ngangkat teleponku."

Mama melipat tangan di dadanya, masih memandang Akk dengan tajam. "Dan kamu pikir permintaan maaf aja cukup setelah semua yang kamu lakukan? Ini bukan soal amarah kamu, Akk. Ini soal hati seseorang yang udah kamu sakiti. Kamu harus bertanggung jawab penuh."

Akk meremas tangannya, merasa malu dan hancur. "Aku tahu, Mama... Aku benar-benar menyesal. Aku mau perbaiki semuanya. Aku gak bisa kehilangan Ayan."

Wajah Mama mulai melunak. Dia duduk di samping Akk, meletakkan tangannya di bahu putranya. "Baiklah, Akk. Kalau kamu serius ingin memperbaikinya, kita harus lakukan sesuatu yang lebih dari sekadar minta maaf. Aku akan atur makan malam dengan keluarga Ayan. Mungkin, kalau kalian bisa duduk dan bicara baik-baik, ini bisa jadi langkah awal."

Akk menatap Mamanya dengan harapan. "Makan malam? Apa kamu pikir itu bisa membantu?"

Mama mengangguk. "Kamu ingat waktu kalian masih kecil? Kalian juga pernah bertengkar besar dulu. Kalian gak mau bicara satu sama lain, tapi kita bawa kalian ke taman tema, dan perlahan kalian berbaikan. Kadang, Akk, butuh momen seperti itu untuk melelehkan ego."

Osis Dingin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang