Part 19 Wat's hometown

71 13 1
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, dan mereka semua sudah berkumpul di dalam tenda yang cukup besar untuk lima orang. Suasana di luar hening, hanya suara lembut deburan ombak yang menemani malam itu. Di dalam tenda, Luke sudah membaringkan dirinya di sebelah Ayan, tapi tiba-tiba, Akk dengan lihai mengalihkan bantal Luke ke sisi lain, lalu meletakkan bantal Ayan di pojokan, memastikan hanya dirinya yang bisa tidur di samping Ayan.

"Aku cuma mau lebih nyaman aja," gumam Akk ketika Luke menatapnya bingung. Luke mengangkat bahu, tak mempermasalahkannya, dan akhirnya semua kembali ke posisi tidur masing-masing.

Sebelum benar-benar tertidur, mereka sempat berbincang kecil tentang rencana esok hari. Wat dengan semangatnya bicara soal tempat-tempat bersejarah yang akan mereka kunjungi di kampung halamannya, sementara Thua dan Khan hanya memberikan komentar ringan. Ayan ikut tersenyum mendengarkan, tapi pandangannya sesekali jatuh pada Akk, yang malam itu tampak lebih pendiam dari biasanya.

Satu per satu mereka mulai terlelap, tenggelam dalam keheningan malam. Ayan yang biasanya paling cepat tertidur, malam itu juga mulai mengantuk. Namun, di sisi lain, Akk masih terjaga. Matanya menatap langit-langit tenda, pikirannya melayang jauh entah ke mana. Rasa rindu yang lama tertahan, kenangan tentang kakeknya, serta segala beban yang tak pernah ia bagi pada siapa pun, terasa semakin berat malam itu.

Diam-diam, Akk keluar dari tenda, berharap udara malam dan suara ombak bisa menenangkan hatinya. Dia berjalan pelan menuju persisiran pantai, pasir dingin menyentuh kakinya, sementara angin malam lembut mengusap wajahnya. Akk berdiri mematung di sana, menatap ombak yang terus datang dan pergi, seperti perasaannya yang tak menentu.

Tanpa sadar, Ayan yang dari tadi memperhatikan gerak-gerik Akk, ikut keluar dari tenda. Dia mendekati Akk perlahan, langkahnya nyaris tak bersuara di atas pasir.

"Akk, i know you are not okay," suara Ayan memecah keheningan malam, membuat Akk sedikit terkejut, tapi dia tak menoleh.

Ayan mendekat lebih dekat, berdiri di sampingnya. "You are allowed to be weak, at least with me."

Dan saat itu juga, tanpa bisa lagi menahan semuanya, air mata Akk jatuh. Dia mencoba menyeka pipinya dengan cepat, tapi Ayan sudah melihat semuanya. Ayan, yang selalu kuat dan tegar, merentangkan tangannya, menawarkan dekapan yang selalu menjadi tempat teraman bagi Akk sejak mereka kecil.

Akk tanpa ragu masuk ke dalam pelukan Ayan, tubuhnya sedikit bergetar, air matanya mengalir deras di pundak Ayan. "Aku rindu kakek..." suaranya parau, penuh kesedihan yang selama ini dia sembunyikan.

Ayan diam sesaat, merasakan bagaimana tubuh Akk begitu rapuh di dalam pelukannya. Seperti saat mereka masih kecil, saat Akk selalu berjanji untuk melindunginya, sekarang Ayan ingin melakukan hal yang sama. Melihat Akk menangis, hatinya ikut teriris. Tanpa disadari, air mata Ayan pun mulai jatuh, menetes di pipinya. Seolah rasa sakit dan rindu yang dirasakan Akk, turut ia rasakan.

"Akk..." Ayan terisak, memeluk Akk lebih erat. "Kamu gak sendiri. Aku ada di sini. Kamu gak harus kuat setiap saat."

Akk hanya bisa mengangguk dalam diam. Rasanya, bebannya sedikit terangkat saat berada dalam pelukan Ayan.

Malam itu, mereka berdua berdiri di tepi pantai, dalam pelukan satu sama lain, membiarkan perasaan yang tertahan mengalir tanpa henti. Tangis mereka bercampur dengan suara ombak yang tenang, seolah memberikan penghiburan bagi dua jiwa yang terluka.

Dan seperti dulu, saat mereka masih kecil, Ayan yang selalu menangis ketika melihat Akk bersedih, kini kembali merasakan hal yang sama. Tak ada kata-kata lebih yang perlu diucapkan. Mereka hanya membutuhkan kehadiran satu sama lain, untuk saling menguatkan, untuk saling menjadi tempat pulang di saat dunia terasa begitu berat.

Osis Dingin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang