Part 11 Aku baik baik saja

75 18 4
                                    

Esoknya, Ayan datang ke sekolah seperti biasa. Senyumnya sudah kembali, wajahnya terlihat tenang, seolah-olah semua baik-baik saja. Namun, ada satu hal yang berbeda—dia tidak lagi duduk di sebelah Akk. Biasanya, Ayan akan dengan ceria menyapa Akk, bahkan mengganggunya dengan obrolan atau lelucon, tapi kali ini tidak. Ayan memilih duduk di sebelah Thua dan langsung terlibat dalam pembicaraan ringan dengan temannya itu.

Akk, yang duduk beberapa bangku dari mereka, tidak bisa menyembunyikan rasa gelisahnya. Dia menatap Ayan dari jauh, berharap Ayan akan melihat ke arahnya, menyapanya, atau bahkan sekadar menoleh. Tapi Ayan tidak melakukan itu. Dia tidak menoleh sedikitpun, tidak ada percakapan yang dimulai, dan bahkan tidak ada senyuman kecil yang biasanya selalu Ayan berikan untuk Akk.

Setiap kali Akk mencoba mencuri pandang, Ayan tampak asyik bercanda dengan Thua, seolah Akk tidak ada di sana. Hati Akk mulai terasa berat, rasa bersalah yang dia rasakan kemarin semakin nyata. Ini pertama kalinya Ayan benar-benar mengabaikannya, dan itu membuat Akk merasa kehilangan sesuatu yang penting.

Saat pelajaran dimulai, Akk berusaha fokus, tapi pikirannya terus kembali ke Ayan. "Apa aku sudah benar-benar kehilangan dia?" pikirnya, perasaan tidak nyaman meresap dalam dirinya. Dia tahu kalau Ayan masih marah, dan dia yang menyebabkan semuanya. Tapi bagaimana caranya memperbaiki ini?

——————-

Waktu rehat tiba, suasana kelas mulai ramai saat para siswa bersiap menuju kantin. Akk duduk diam di tempatnya, biasanya saat ini Ayan akan mendekatinya dengan senyum lebar dan mata berbinar-binar, memohon dengan suara manja, "Akk, ayo kita makan bareng, ya?" Bahkan jika Akk sering menolak dengan wajah datarnya, Ayan selalu saja gigih meminta sampai akhirnya Akk mengalah.

Tapi hari ini berbeda. Ayan tidak mendekatinya sama sekali. Sebaliknya, Ayan sudah berdiri dengan Thua dan beberapa temannya, bersiap menuju kantin tanpa sepatah kata pun untuk Akk. Akk merasakan perasaan hampa dan sepi yang aneh.

Saat di kantin, Akk mengambil tempat duduknya sendiri, lebih jauh dari biasanya. Pandangannya langsung tertuju ke arah Ayan yang tengah tertawa bersama teman-temannya. Thua duduk di sebelah Ayan, namun yang paling menarik perhatian Akk adalah Luke yang juga duduk di sebelah Ayan, terlihat sangat akrab.

Ayan terlihat ceria, lebih ceria daripada biasanya, seolah-olah tidak ada yang salah. Luke bahkan sesekali menyuap makanan ke mulut Ayan dengan senyuman lebar. Melihat itu, dada Akk terasa sesak, perasaan asing yang sulit dia pahami mulai menyelinap dalam dirinya.

Biasanya, momen-momen ini akan menjadi saat di mana Ayan mencoba menarik perhatiannya, membuat Akk kesal dengan kelucuannya. Tapi sekarang, Ayan tidak melihat ke arahnya sama sekali. Hanya ada Luke yang duduk di sana, mendominasi perhatian Ayan.

Akk mencoba fokus pada makanannya, tapi dia tak bisa menahan diri untuk terus melirik ke arah mereka. Rasa bersalah bercampur dengan rasa cemburu yang mulai dia rasakan, meskipun dia enggan mengakuinya.

"Ayan kelihatan baik-baik saja... mungkin terlalu baik," pikir Akk. Tapi di balik keceriaan Ayan, Akk tahu, ada sesuatu yang hilang. Hubungan mereka tak lagi sama, dan itu sepenuhnya kesalahannya.

—————————

Suatu siang setelah kelas selesai, Akk sedang beristirahat sendirian di bangku taman sekolah ketika tiba-tiba Prim dan Jane, dua teman sekelasnya, menghampirinya. Mereka tampak ragu-ragu, namun ada sesuatu di wajah mereka yang membuat Akk langsung waspada.

"Akk, kita perlu ngomong sama kamu," kata Prim, suaranya serius. Jane, yang biasanya ceria, juga terlihat tegang.

Akk menatap mereka dengan alis terangkat. "Ada apa?"

Jane menggigit bibirnya sebelum akhirnya berbicara, "Kita nggak bisa diam aja, Akk. Kami tahu tentang Ayan... soal barang Phan yang katanya dicuri sama Ayan."

Akk merasa dadanya tiba-tiba berat. Mendengar nama Ayan saja sudah cukup membuatnya gelisah belakangan ini. "Apa maksud kalian?" tanyanya dengan nada datar, meski dalam hatinya ada sedikit rasa harap.

Prim menatap langsung ke mata Akk, suaranya semakin pelan namun tegas, "Itu semua rencana keji Phan. Dia yang menyembunyikan barangnya di tas Ayan. Ayan nggak salah."

Akk tercengang mendengar pengakuan itu. Perasaannya campur aduk—antara marah, bersalah, dan bingung. "Apa kalian serius?" Dia menatap mereka, mencari kepastian.

Jane mengangguk cepat, "Iya, kami dengar sendiri Phan cerita soal rencananya. Dia memang nggak suka sama Ayan karena dia dekat sama kamu. Jadi dia sengaja menjebak Ayan."

Akk terdiam, pikirannya berputar cepat. Seharusnya dia tahu, seharusnya dia percaya pada Ayan. Tetapi, justru dia yang dengan bodohnya mempercayai tuduhan Phan tanpa mendengar penjelasan dari Ayan.

Prim menambahkan, "Kami rasa kamu harus tahu, Akk. Ayan nggak layak diperlakukan seperti itu. Dia sahabatmu, kan?"

Mendengar kata-kata itu, hati Akk semakin hancur. Rasa bersalah yang selama ini dia coba abaikan kini menghantamnya dengan keras. Bagaimana bisa dia mempercayai kebohongan Phan dan mengabaikan Ayan, orang yang selalu bersamanya sejak kecil?

"Ayan... nggak salah," gumam Akk, lebih kepada dirinya sendiri.

Prim dan Jane hanya mengangguk, memberi Akk waktu untuk mencerna semuanya. Mereka tahu ini bukan hal yang mudah untuk Akk hadapi, tapi mereka yakin ini adalah hal yang benar untuk dilakukan.

Akk tahu dia harus memperbaiki semuanya, meskipun mungkin sudah terlambat. Ayan telah terluka karena kesalahannya, dan dia harus menemukan cara untuk meminta maaf dan menunjukkan bahwa dia benar-benar menyesal.

——————

Tuhkan! Baru rasa kehilangan, kasihan akkkk

Osis Dingin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang