Part 9 Retak

81 19 9
                                    

Suatu hari, sekolah terasa lebih sibuk dari biasanya. Phan tampak sibuk berjalan ke arah Akk dengan wajah cemas, dan di tangan kanannya ada sebuah tas kecil. Dia langsung mendekatkan diri pada Akk yang sedang mengobrol dengan teman-temannya di lorong sekolah.

"Akk, purse aku hilang!" kata Phan dengan nada putus asa, hampir menangis.

Akk yang sedang berbincang santai langsung terdiam. Wajahnya langsung serius. "Apa? Di mana terakhir kamu lihat?"

Phan menggeleng. "Aku nggak tahu. Aku rasa tadi aku taruh di dalam laci, tapi sekarang sudah nggak ada!"

Mata Phan tampak memohon. "Kamu harus bantu aku, Akk. Aku curiga... mungkin Ayan."

Semua orang di sekitar langsung memperhatikan Phan dan Akk. Akk awalnya tidak bereaksi, tetapi setelah Phan mendesaknya, dia memutuskan untuk mengambil langkah.

"Kita cek saja. Mungkin memang cuma salah paham," ujar Akk, meskipun nadanya terdengar lebih tegang daripada biasanya.

Sekolah kemudian melakukan spotcheck, dan semua mata tertuju pada Ayan. Dia berdiri di tengah-tengah kerumunan dengan cemas, tidak mengerti kenapa tiba-tiba dia dituduh. Saat tasnya diperiksa, sesuatu yang tidak diduga muncul dari dalamnya—purse Phan.

Suasana mendadak senyap. Ayan mematung, tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Purse itu bukan miliknya. Bagaimana bisa ada di dalam tasnya?

Akk menatapnya dengan ekspresi marah dan kecewa. "Ayan... Kenapa kamu lakukan ini?" suaranya dingin, tak menyisakan ruang untuk penjelasan.

Ayan mundur setengah langkah, suaranya gemetar. "Aku nggak ambil itu, Akk. Aku nggak tahu kenapa bisa ada di tas aku!"

Namun, Akk yang sudah tersulut amarah tak mau mendengar. "Aku udah capek sama masalah yang kamu buat. Dari kecil, kamu selalu bikin onar, terus nangis, dan semua orang harus memaklumi kamu! Kamu harus mulai bersikap dewasa, Ayan!"

Kata-kata itu menghantam Ayan lebih keras daripada pukulan. Air mata yang sudah berusaha dia tahan mulai mengalir. "Aku nggak ngambil barang itu, Akk! Kamu harus percaya padaku!" Ayan berteriak, suaranya dipenuhi rasa sakit.

Tapi Akk hanya menggeleng, wajahnya tetap dingin. "Aku nggak bisa percaya kamu kalau begini."

Ayan merasa hatinya hancur berkeping-keping. Selama ini, dia selalu berusaha menarik perhatian Akk, tetapi sekarang semuanya terasa seperti berbalik melawannya. "Kamu nggak pernah percaya padaku... dari dulu," bisiknya, hampir tak terdengar.

Sementara itu, Phan yang berada di samping Akk hanya diam, tapi senyum licik di balik wajah cemasnya tak bisa disembunyikan. Phan berhasil memanipulasi situasi dan membuat Ayan terlihat bersalah.

Dia memeluk Akk dan menyembangkan kepalanya pada Akk, memohon simpati, Akk yang kaget hanya mengelus surai cewek itu, berharap tangisannya reda.

"Udah, jangan nangis lagi Phan.."

Ayan berbalik, berjalan cepat meninggalkan tempat itu. Air mata tak bisa lagi dia tahan. Di belakangnya, Akk tetap diam, tidak mengejar, masih terjebak dalam amarah yang tidak sepenuhnya dia mengerti.

Sementara itu, Phan melirik Akk dengan tatapan puas, tahu bahwa rencananya berhasil. Ayan kini terlihat sebagai pencuri di mata Akk, dan hubungan mereka yang semakin dekat perlahan mulai runtuh.

Luke melihat Ayan berlari menjauh dengan air mata yang mengalir di pipinya. Tanpa berpikir panjang, dia segera mengejarnya. Dia tahu betapa beratnya situasi itu bagi Ayan dan ingin menenangkan sahabatnya.

"Ayan! Tunggu!" teriak Luke, berusaha mengejar langkah Ayan yang cepat.

Ayan berhenti sejenak, menghapus air mata dengan punggung tangannya, tetapi dia tidak berbalik. "Apa lagi, Luke? Aku nggak mau lihat siapa pun sekarang!" suaranya bergetar, dipenuhi kesedihan.

Luke mendekat, berusaha menciptakan jarak antara mereka. "Ayan, please, jangan begitu. Aku cuma mau bicara."

Ayan akhirnya menoleh, wajahnya merah karena menangis. "Aku jelek banget saat nangis, Luke. Jangan lihat aku."

"Hey, kamu selalu imut, Ayan."

—————————

Ayan pulang ke rumah dengan wajah murung, langkah kakinya berat ketika dia melangkah masuk ke dalam rumah. Setiap hembusan napas terasa seperti beban, dan air mata yang sejak tadi dia tahan mulai mengalir perlahan. Tanpa bicara dengan siapa pun, dia langsung menuju ke biliknya dan menutup pintu rapat-rapat.

Sesampainya di dalam bilik, Ayan membiarkan dirinya tenggelam dalam emosi. Dia duduk di tepi tempat tidur, menggigit bibirnya untuk menahan isak, tetapi akhirnya melepaskan semuanya. Tangisannya pecah, dan dia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, merasa kesepian dan disakiti.

Di luar bilik, Gaipa, abangnya, mendengar isakan Ayan. Rasa bimbang mulai menyelimuti hatinya. Dia mengetuk pintu pelan-pelan, tapi tak ada jawaban dari dalam. Dengan lembut, Gaipa membuka pintu dan masuk ke dalam bilik.

"Ayan?" suaranya tenang dan lembut, mencoba mendekati adiknya yang sedang menangis. "Kamu kenapa? Ada apa ini?"

Ayan tak langsung menjawab, dia hanya menangis lebih keras ketika melihat Gaipa masuk. Gaipa berjalan mendekat, duduk di samping Ayan, dan meletakkan tangannya di bahu adiknya.

"Hey, pelan-pelan. Cerita sama hia, ada apa sebenarnya?" Gaipa memandang adiknya dengan penuh kasih sayang, menunggu Ayan mau bicara.

Ayan mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata, matanya bengkak karena menangis. "Akk... dia nggak percaya sama aku..." suaranya bergetar, penuh emosi.

Gaipa mengernyit. "Apa maksud kamu? Kenapa Akk nggak percaya sama kamu?"

"Akk marah sama aku... Dia pikir aku mencuri sesuatu. Phan... dia menuduh aku, dan ternyata barangnya ada di tas aku." Ayan menghela napas panjang, rasa sakit dan kecewa melingkupi suaranya. "Aku nggak tahu bagaimana itu bisa terjadi, hia... Tapi Akk nggak percaya sama aku... Dia cuma lihat aku sebagai pembuat masalah..."

Gaipa menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan emosinya sendiri. "Ayan, kamu nggak mungkin mencuri. Kamu tahu itu, kan? Dan hia juga tahu kamu nggak akan lakukan hal seburuk itu."

"Tapi Akk nggak percaya! Dia marah besar sama aku, dan dia bilang aku harus bersikap dewasa...," Ayan menjelaskan, suaranya semakin terisak. "Aku cuma pengen dia percaya sama aku. Tapi sekarang dia lebih percaya sama Phan daripada aku..."

Gaipa menarik Ayan ke dalam pelukannya, menenangkan adiknya yang masih terisak.

——-

Kasi Ayan sama luke aja lah

Osis Dingin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang