Agar suamiku tidak curiga, aku katakan padanya aku pergi ke rumah manajer Finance, Ani, yang notabenenya adalah sahabatku untuk menyelesaikan lemburan kantor. Untungnya suamiku tidak mengenal teman-temanku, jadi seharusnya dia tidak mungkin mengecek temanku untuk memastikan keberadaanku.
Aku sudah memberitahu Mahendra untuk menjemputku didepan rumah Ani. Aku memanggil taksi dan memintaku mengantarku ke rumah Ani yang letaknya cukup jauh dari rumahku. Suamiku tidak mengantarku karena kemarin ia kecapekan habis nonton final liga champion. Kebetulan deh.
Jam lima subuh kurang, aku sudah sampai di depan rumah Ani. Tidak lama kemudian, Mahendra datang menjemputku dengan mobil kijang-nya. Aku pun langsung naik, dan Mahendra langsung tancap gas. Hanya dalam dua jam saja, kami sudah sampai di daerah Puncak.
Kami mengunjungi banyak obyek wisata di puncak. Sekitar jam sebelasan, kami turun di Kebun Teh untuk berjalan-jalan disana. Terkadang, kami juga mengambil spot yang bagus untuk berfoto.
"Ndra, jangan dipasang di medsos atau di chatting service ya." Kataku.
"Tenang aja, ci." Kata Mahendra.
Aku lega karena sepertinya perkataannya bisa dipegang. Sesekali, ia juga menggandeng tanganku di Kebun Teh. Entah kenapa, aku tidak berusaha menepisnya. Malah, aku enjoy-enjoy saja digandeng tangan. Ahh sudahlah, setelah besok juga kami akan semakin jauh dan akhirnya lost contact.
Kami makan siang di suatu restoran seafood di Puncak. Bahkan, sesekali ia menyuapiku makan. Yang lebih anehnya lagi, aku terima-terima saja disuapi olehnya. Gawat, apakah sebetulnya aku juga sudah kepincut oleh Mahendra? Ah, tenang-tenang. Hari ini terakhir. Setelah besok, dia juga hilang. Aku memilih untuk tidak ambil pusing mengenai masalah ini.
Setelah selesai makan siang, jam sudah menunjukkan pukul empat belas. Aku mengajaknya untuk segera pulang, karena takutnya kemalaman. Mahendra pun menyetujui ajakanku. Kami pun segera naik ke mobil, dan Mahendra pun mengemudikan mobilnya menuruni Puncak Pass. Di tengah perjalanan, aku melihat Mahendra sepertinya agak kelelahan. Maklum. Habis makan siang itu bawaannya ngantuk.
"Kenapa, Ndra? Ngantuk?" Tanyaku.
"Dikit doang, ci." Kata Mahendra sambil tetap fokus ke depan.
"Kayaknya mendingan istirahat dulu deh di suatu tempat. Daripada bahaya." Kataku.
"Galah, ci. Lagian bahaya mah ga apa-apa, aku kebiasa kok sama bantingan." Kata Mahendra.
"Yeee, siapa yang mikirin kamu? Aku takut kena bahaya tau!" Kataku.
"Hahahaha. Yaudah deh, kayanya mending kita istirahat dulu. Gimana, ci?" Tanya Mahendra.
"Oke-oke aja sih. Tidur dulu aja dua jam gitu, abis itu baru nyetir lagi ke Jakarta." Kataku.
"Oke. Di Losmen Kariya saja ya." Kata Mahendra.
"Terserah." Kataku.
Losmen Kariya? Aku belum pernah dengar sih. Akan tetapi, sepertinya Mahendra tahu jalan. Hingga akhirnya, ia memasuki suatu jalan kecil yang sepertinya menuju losmen. Setelah menyusuri jalan kecil ini, kami tiba di suatu losmen yang cukup besar dan sepertinya cukup bersih dan terawat.
Setelah kami turun dari mobil, kami langsung menuju kasir untuk memesan kamar. Mahendra menyewa satu kamar. Aku pun juga hendak memesan satu kamar. Sebelum resepsionis sempat memproses reservasi, ia terlebih dahulu menyerahkan kunci kamar kepada Mahendra. Mahendra pun langsung menggandengku.
"Yuk, ci." Kata Mahendra.
"Eh, tunggu, Ndra. Aku belum pesen." Kataku.
"Udah, bareng aja." Kata Mahendra sambil menunjukkan kunci kamar yang ia dapatkan.
"Loh, jangan dong, Ndra. Ntar kamu jadi sempit loh kalo aku juga numpang di kamar kamu." Kataku.
"Udahlah, tuh bed-nya ada dua. Kamarnya emang sengaja aku pesan yang gede-an. Udah bareng aja, ci. Ngapain boros-boros?" Kata Mahendra.
"Aduh, Ndra. Udahlah nggak apa-apa. Aku sewa satu kamar lagi aja, masa kamu yang bayar kamar, terus aku tinggal numpang. Nggak enak aku." Kataku.
"Udah, ga apa-apa, ci. Emang aku pesen yang gedean tuh biar cici bisa sekalian." Kata Mahendra sambil menarik tanganku.
Ya, kalau begini sih ya sudahlah. Daripada debat tiada akhir, malu-maluin di depan kasir. Akhirnya aku mengalah, Mahendra tetap menggandeng tanganku sambil berjalan ke arah kamar yang disewa oleh Mahendra. Aku berjalan saja mengikutinya. Kamar yang disewa oleh Mahendra tidak begitu jauh dari kasir. Sebelah kamar kami terbuka, sepertinya kosong. Yang sebelahnya lagi tertutup, sepertinya ada yang menyewa. Kamar ini lumayan besar, berukuran sekitar lima kali enam meter persegi. Ada dua tempat tidur terpisah dalam kamar ini.
Aku segera mengambil tempat tidur yang di kiri, kemudian langsung berbaring. Mahendra pun duduk di ranjang yang sama denganku, persis disebelahku. Ia pun kemudian membelai-belai rambutku dengan lembut.
"Capek ya?" Tanya Mahendra dengan lembut.
"Nggak sih, baringan aja." Kataku.
Aku tetap membiarkan Mahendra membelai-belai rambutku. Aku mulai memejamkan mataku. Berbagai macam pikiran terus bermunculan dalam kepalaku. Hari ini, lumayan menyenangkan sih. Ternyata, jalan-jalan dengan Mahendra itu asik juga. Meskipun seringkali ia merangkul pundakku, menggandeng tanganku, dan membelai-belai rambutku, aku tetap tidak merasa risih. Justru sebaliknya, aku merasa nyaman diperlakukan begitu olehnya. Bahkan, aku semakin menikmati belaian tangannya di rambutku sekarang. Ah, rasanya betul-betul seperti jaman pacaran dulu, begitu dimabuk oleh cinta.
Tiba-tiba, Mahendra mengangkat tubuhku dan langsung mendudukanku di pangkuannya. Tanpa berkata apa-apa, dia langsung mencium bibirku. Aku tidak sempat menghindar, bahkan aku juga membiarkan ketika bibir dan kumis halus Mahendra menempel di bibirku hingga beberapa saat. Dadaku semakin berdegup kencang ketika kurasakan bibir halus Mahendra melumat mulutku. Lidah Mahendra menyusup ke celah bibirku dan menggelitik hampir semua rongga mulutku. Mendapat serangan mendadak itu, darahku seperti berdesir, sementara bulu tengkuk aku merinding. Semua itu dilakukannya dengan sangat lembut.
Namun, tiba-tiba kesadaranku timbul kembali. Maka, kudorong dada indra supaya ia melepaskan pelukannya pada diriku.
"Ndra, jangan Ndra. Ini nggak pantas kita lakukan!" Kataku terbata-bata.
Mahendra memang melepaskan ciumannya di bibirku, tetapi kedua tangannya yang kekar dan kuat masih tetap memeluk pinggang rampingku dengan erat. Aku juga masih terduduk di pangkuannya.
"Kenapa ga pantes, ci? Aku ini betul-betul sayang kok sama Ci Lisnawati. Ci Lisnawati juga sayang sama aku kan?" Kata Mahendra yang terdengar seperti desahan.
Aku tidak bisa menjawab apa-apa. Jujur, aku kebingungan sekali jika harus menjawab pertanyaan itu.
"Ga apa-apa, ci. Tenang aja. Aku ga akan ngecewain cici. Aku beneran sayang kok sama cici." Kata Mahendra sambil membelai-belai rambutku.
KAMU SEDANG MEMBACA
21+ Pilihan Jalan Seorang Istri (Cuck Warning)
RomanceAku bekerja sebagai accounting manager pada sebuah perusahaan distributor yang cukup besar di kota Jakarta. Aku juga menjadi instruktur bermacam-macam kelas di tempatku fitness, seperti body combat, body language, dan body pump. Aku merupakan orang...