Uncharted Emotions

380 59 13
                                    

Valerine hanya menatapi handphone-nya yang terus-menerus bergetar. Pesan demi pesan dan telepon dari Alya hanya dipandanginya dengan tatapan kosong. Saat ini, Valerine duduk di sebelah Sabda, orang yang baru saja ia kenal namun sudah memperkenalkan dirinya sebagai tunangannya kepada klien-kliennya.

Kepalanya terasa berat, tidak tahu bagaimana memproses apa yang baru saja terjadi. Valerine melirik pria di sampingnya. Sabda mengenakan turtle neck hitam dengan jas yang serasi, sangat cocok dengan dress yang ia kenakan saat ini.

Sabda memiliki wajah tampan dengan garis rahang yang jelas, memberikan kesan tegas namun tetap lembut. Mata coklatnya yang besar dan ekspresif, alisnya tebal dan teratur, menambah kesan tajam pada wajahnya. Hidungnya lurus dan proporsional, sedangkan bibirnya penuh, menyempurnakan penampilannya. Secara garis besar, dia tampan.

Valerine menghela napas, lalu meraih botol air mineral di depannya. Namun, entah kenapa tutup botol itu sulit untuk dibuka. Tanpa aba-aba, Sabda mengambil botol tersebut dari tangannya dan langsung membukanya. Valerine hanya bisa menatap Sabda dengan bingung—tidak terbiasa ada orang yang membantunya dengan hal-hal kecil seperti itu.

Sabda tersenyum, menuangkan air ke dalam gelas di depan Valerine, lalu menyerahkannya kepadanya sebelum kembali berbicara dengan kliennya. Valerine memandangi gelas di tangannya, jari-jarinya menyentuh permukaan kaca yang dingin. Rasanya canggung. Dia terbiasa melakukan segalanya sendiri, dan perhatian sederhana ini membuatnya terdiam. Ia tak tahu harus berterima kasih atau hanya menerima gestur itu dengan diam-diam.

Tiba-tiba Sabda berdiri, membuyarkan lamunan Valerine. Terkejut, Valerine secara tak sengaja menumpahkan sedikit air dari gelasnya ke bajunya. Dengan cepat, Sabda mengambil tisu dan membantu Valerine mengelap bajunya dengan sigap.

"Hati-hati dong, sayang." Sabda tersenyum santai, tetapi ada sedikit candaan dalam suaranya.

Pretend fiancé, Valerine mengingatkan dirinya sendiri, sambil mengangguk pelan dan tersenyum malu.

Klien mereka juga ikut berdiri, dan Valerine buru-buru mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Terima kasih, sampai bertemu lagi," ucapnya sambil tersenyum sopan. Klien tersebut berpamitan kepada mereka berdua sebelum akhirnya pergi.

Begitu klien Sabda keluar dari ruangan, senyum di wajah Valerine dan Sabda pun hilang. Valerine menghela napas untuk kesekian kalinya hari itu.

"So bold of you, introducing me as your fiancée," Valerine berkomentar sambil mengambil gelasnya dan meminum sisa air, berusaha menenangkan diri.

"Well, I don't usually bring a woman to my meetings, so it seemed like a plausible excuse," jawab Sabda, menatap Valerine dengan tajam tapi tenang.

Valerine hanya mengangguk, berusaha mencerna logikanya. "So, you said earlier that you needed my help?" tanyanya, langsung to the point.

"Yes," jawab Sabda singkat, membuat Valerine sedikit mengernyitkan dahi.

Valerine menghela napas lagi. "Well, this is where you have to elaborate," katanya, tidak bisa menyembunyikan kekesalannya.

Sabda tersenyum tipis. "Ah, sorry. I'm not used to explaining myself."

Valerine menatapnya dengan kesal, tetapi tidak berkata apa-apa lagi. Namun, di dalam hatinya, dia tahu ini hanya awal dari masalah yang lebih rumit antara mereka.

**

"My assistant will contact you later." Itulah kata-kata terakhir dari Sabda sebelum mereka berpisah malam itu, setelah mereka bertukar kartu nama.

CollideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang