On the Edge of Us

373 48 8
                                    


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Valerine bergerak perlahan, masih terbungkus dalam sisa-sisa malam tadi—aroma tubuh Sabda masih menempel di kulitnya, kehangatan tubuhnya di sampingnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Valerine bergerak perlahan, masih terbungkus dalam sisa-sisa malam tadi—aroma tubuh Sabda masih menempel di kulitnya, kehangatan tubuhnya di sampingnya. Untuk sesaat, semuanya terasa sempurna. Valerine mengulurkan tangan, berharap menemukan Sabda, tetapi jarinya hanya menyentuh seprai dingin di tempat Sabda seharusnya berada.

Mata Valerine terbuka pelan dan dia melihat Sabda duduk di tepi tempat tidur, punggungnya menghadap ke arahnya, bahunya tegang. Ada sesuatu dengan caranya duduk—kaku, jauh—membuat dada Valerine terasa sesak.

"Sabda?" gumamnya, suaranya berat oleh kantuk.

Sabda tidak bergerak, bahkan tidak menoleh ke belakang. "I... I need to go," kata-katanya kaku dan dingin.

Jantung Valerine mencelos. Kehangatan yang menyelimutinya hanya beberapa saat yang lalu mulai menghilang, digantikan oleh dingin yang menjalar. Dia menopang diri dengan satu siku, mengamati garis punggungnya yang keras, berusaha memahami perubahan mendadak ini. Had she done something wrong? Last night had been... intense, raw in a way she hadn't expected. Dia merasa lebih dekat dengan Sabda daripada sebelumnya, tetapi sekarang seolah ada lautan di antara mereka.

"Sabda," Valerine memanggilnya lagi, sedikit lebih tegas kali ini, berharap Sabda akan berbalik dan mengatakan bahwa semua ini hanya ada di kepalanya.

Akhirnya, dia bergerak, berdiri dan mengambil kemejanya yang tergeletak di lantai. Masih tidak mau menatap Valerine.

"What's wrong?" Pertanyaan itu keluar dari mulutnya sebelum Valerine bisa menghentikannya, suaranya mengungkapkan lebih banyak emosi daripada yang dia inginkan. Dia tidak ingin terdengar needy, tetapi sikap dingin Sabda yang mendadak terasa lebih menyakitkan daripada yang ingin Valerine akui.

Sabda berhenti sejenak, punggungnya masih menghadapnya, jari-jarinya menggenggam kemeja di tangannya. "Gak ada yang salah," katanya, terlalu cepat, terlalu datar.

Valerine merasakan perih yang menusuk di dadanya. Bukan sifat Sabda untuk berbohong, tidak seperti ini. Valerine mengayunkan kakinya ke tepi tempat tidur, menarik selimut ke sekitar bahunya seperti perisai. "Then why are you acting like this?" Suaranya bergetar, meskipun dia berusaha untuk tetap tenang.

CollideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang