Threads of Vulnerability

348 49 4
                                    

Sabda sudah beberapa hari menginap di apartemen Valerine sejak dia pulang dari rumah sakit, namun sikap Valerine berubah drastis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sabda sudah beberapa hari menginap di apartemen Valerine sejak dia pulang dari rumah sakit, namun sikap Valerine berubah drastis. Dia mulai meminta Sabda untuk pulang ke apartemennya, menghindarinya, dan nyaris tidak berbicara. Sabda paham betul bahwa Valerine mungkin masih trauma akibat serangan Dominic, tapi yang membuatnya bingung adalah bagaimana Valerine bisa tampak normal saat Alya dan Kemala datang menjenguk. Sikapnya seolah-olah tidak ada masalah, seolah-olah semua baik-baik saja, tetapi saat dia sendiri, wajahnya akan membeku dalam kesedihan yang dalam.

Dengan frustrasi, Sabda menyibak rambutnya, mencoba mengendalikan emosi yang mulai mendidih. Dominic belum ditemukan, dan Sabda yakin bahwa Valerine terus-menerus memikirkan kemungkinan terburuk—bagaimana Dominic mungkin akan kembali dan menyakitinya lagi. Dan lebih dari itu, Sabda tahu Valerine memikirkan sesuatu yang lebih buruk: bagaimana cara untuk melindungi dirinya—atau yang terburuk, mungkin bagaimana cara untuk meninggalkannya. Pikirannya berputar, membuat perasaan takut dan marah bergejolak dalam dirinya.

Rasa marah itu kini menguasainya sepenuhnya. Sabda merasakan dorongan kuat untuk menghancurkan sesuatu. Menyalurkan emosinya, dia bergegas pergi ke kantor Abigail. Dia tahu ini tidak adil, namun Sabda hanya ingin menyalahkan seseorang dalam hal ini, dan yang dia pilih adalah Abigail. Menurutnya, Abigail adalah penyebab Valerine semakin menjauh; Abigail yang datang tanpa aba-aba dan mulai menanamkan benih di kepala Valerine untuk meninggalkannya.

Tanpa permisi atau aba-aba, dia menerobos masuk ke ruang kerja kakaknya, diikuti oleh sekretaris yang terengah-engah mengejarnya. Begitu Sabda sampai di dalam, pemandangan yang ia temui hanya memperparah amarahnya. Donovan juga ada di sana. Good, maybe I can rip them to pieces, pikir Sabda dingin.

Hubungannya dengan Abigail mungkin bisa dibilang baik-baik saja—mereka bersaudara, dan meski sering bertengkar, masih ada rasa hormat di antara mereka. Tapi dengan Donovan? Itu cerita lain. Donovan selalu menganggap Sabda sebagai saingannya, yang mana Sabda anggap konyol. Donovan has everything served on a silver platter, but Sabda has to survive on scraps—scraps of attention, approval, or love from their parents.

"Sabda? Kamu nggak bisa sembarang masuk begitu saja," Abigail akhirnya berbicara, nada suaranya tajam namun tak mampu menyembunyikan keterkejutan yang ada di wajahnya.

Sabda tak mempedulikan ucapan itu, langkah kakinya berat dan tegas saat ia mendekat. Tatapannya sebentar berpindah ke Donovan yang masih duduk dengan di kursi tamu, menyilangkan tangan di depan dada dengan sikap angkuh. Seperti biasa, dengan sikap angkuh dan senyuman sinis yang membuat darah Sabda semakin mendidih. Seperti biasa, Donovan menikmati kekacauan ini. "Well, well, look who decided to grace us with his presence. katanya, nada suaranya seolah mengolok-olok. Sabda, what brings you here? Trouble in paradise?"

Donovan selalu punya cara untuk membuat Sabda merasa kecil. Selalu merendahkannya. Namun kali ini, ini bukan tentang Donovan. Sabda menahan napas, berusaha menekan desakan amarah yang berkobar dalam dadanya. Ia menatap Donovan dengan tajam, suaranya rendah dan penuh ancaman, "This isn't about you, Donovan. So shut the fuck up."

CollideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang