"Om...Om buka Om! Peter mohon buka."
Suara gedoran pada gerbang besi serta teriakan anak muda yang tampak seluruh tubuhnya di penuhi peluh itu, sukses membuat sang pemilik rumah yang sedang tertidur pulas mau tak mau terbangun.
"Ada apa?" tanyanya pada beberapa orang yang baru saja keluar dari kamar masing-masing dengan senapan yang sudah dalam posisi aktif.
"Siap tidak tahu Ndan, biar kami periksa." ucap salah satunya yang mengenakan piyama hitam.
"Om ini Peter Om tolong buka."
Suara teriakan itu kembali terdengar, lelaki baya yang dijaga itupun sontak menahan lengan salah satu ajudannya.
"Itu Peter, anak Inspektur Evan. Biar saya yang temui." ujarnya sambil melenggang keluar.
"Om Onal." lirih Peter begitu Ronald membuka gerbang rumahnya.
Laki-laki itu mengerutkan dahi saat melihat Peter yang hanya mengenakan celana pendek dan kaos putih ketat, tanpa alas kaki dan seluruh tubuhnya sudah basah karena keringat berdiri di depan gerbang rumahnya dengan ekspresi aneh.
"Ada apa Pete?" tanya Ronald mulai curiga.
"Papa Om... Papa...."
Tubuh Ronald menegang seketika, firasatnya sudah tidak baik. "Papa kenapa Pete?"
"Papa...gantung diri."
***
Peter terbangun seketika. Pria itu semakin panik saat sesak tiba-tiba memenuhi dadanya, nafasnya tercekat, bulir-bulir keringat di pelipisnya keluar semain banyak. Peter bahkan terjatuh dari sofa panjang tempatnya berbaring sembari terus memukul dadanya. Berusaha keluar dari situasi menyiksa itu sekuat tenaga.
"Gala...." panggilnya samar.
"Gala tolong aku...." Panggilnya lebih keras. Namun tak ada respon dari siapapun.
Hingga beberapa saat Peter menyadari kalau ia sendirian sekarang. Perlahan pria itu berusaha menenangkan dirinya, menutup mata dan menarik nafas pelan-pelan. Untungnya cara itu bekerja, semakin lama Peter merasa berat yang menghimpit dadanya perlahan menghilang, hingga selang beberapa waktu ia bisa kembali bernafas dengan normal.
Kemudian Peter memilih duduk bersimpuh di lantai, mencoba menenangkan diri dari kejadian barusan. Hal pertama yang muncul di kepalanya adalah, mimpi itu datang lagi. Mimpi buruk yang tak pernah ingin Peter kenang, mimpi yang menjadi trauma bagi dirinya selama bertahun-tahun.
Matanya berair, Peter menangis. Gambaran Peter muda yang berlari di pagi-pagi buta tanpa alas kaki dalam mimpinya barusan seperti mencabik habis hati Peter. Kejadiannya sudah lama berlalu, namun rasanya masih tetap sama. Sakit dan menyesakkan.
"Papa sudah bertemu Om Onal kan?" bisiknya lirih. Matanya menatap lurus kearah figura besar yang tersemat di dinding. Menampilkan ayahnya, Ronald dan beberapa polisi lain dalam balutan seragam yang sudah tidak dipakai lagi saat ini. Mereka tampak sangat muda saat itu.
Sesaat Peter membiarkan dirinya menangis, meratap penuh pilu tentang masa lalu kelam dalam hidupnya itu. Waktu sudah menyembuhkannya, tapi terkadang tanpa di minta Tuhan seperti berencana untuk membuat Peter tetap ingat, dan dia tak kuasa menolak.
Tak berselang lama, Peter menghapus air matanya dengan kasar, dirinya mulai menyadari sesuatu yang lain. Tangannya menjangkau ponsel pintarnya dari atas meja, jam sudah menunjukkan angka sebelas duapuluh sembilan. Namun Gala belum juga di rumah. Ada apa dengan anak itu.
"GALA?" Peter mengeraskan suaranya. Mungkin orang itu sudah pulang tanpa membangunkannya.
Peter bangkit, ia mencari kesana kemari. Tidak ada di kamar dan tidak ada dimana-mana, artinya Gala benar belum kembali.
YOU ARE READING
A SECRET [POOHPAVEL]
Fanfiction"Berlututlah sebelum timah panas ini menembus kepalamu" ~Peter Jayden