Gala turun dari mobil dengan tergesa, pria itu bahkan melupakan kakinya yang terluka dan berlari layaknya tidak terjadi apa-apa, dia bahkan meninggalkan Rey yang masih mempersiapkan bodyvest, senjata dan mengantongi flashdisk yang berisi pengakuan tak resmi milik Jenderal Bumi.
Gala mengetuk pintu utama dengan brutal, pria itu berteriak seperti kesetanan memanggil nama ayahnya dengan lantang.
"Papiiii buka pintunya, Gala tau Papi ada di dalam." raungnya.
"Gal, apa kamu pikir ini cuma jebakan? Nggak mungkin Jenderal Bumi sebodoh itu kan?" Rey memperingatkan, saat ia bisa menyusul Gala dan berdiri dalam posisi awas.
"Saya yakin Bang, Kak Peter ada disini."
Sesaat kemudian daun pintu di hadapan mereka terbuka, menampakkan sosok seseorang yang terlihat menyeringai, namun Gala tidak bisa melihat jelas wajahnya karena tertutup tudung hoodie yang ia kenakan.
"Selamat malam Sersan, selamat malam Letnan." ucap orang itu menyapa Gala dan Rey. Rey yang berdiri di belakang Gala sontak menodongkan moncong senjatanya kearah orang itu. "Katakan dimana Peter?" hardik Rey, namun hanya di balas seringai meremehkan dari orang yang perlahan menarik tudung hoodie nya kebelakang.
"Haikal?" pekik Gala dan Rey hampir bersamaan.
"Apa yang ...."
Ucapan Gala terputus setelah merasakan seseorang mendorong tubuhnya masuk kedalam rumah dan secepat kilat pintu tertutup dari dalam. Dua orang pria berperawakan gagah berdiri tegak di belakang Gala dan Rey.
"Apa maksudnya ini? Kenapa kamu ada disini?" Gala masih menanyakan hal yang sama.
"Bawa Letnan ini kedalam, saya ada urusan empat mata dengan Sersan Galaksi saja." titah Haikal yang secepat kilat di balas oleh anak buahnya dengan anggukan dan langsung menyeret tubuh Rey tanpa permisi, bahkan senjata yang semula ia pegang terjatuh begitu saja.
Kini hanya ada Gala dan Haikal yang berdiri saling berhadapan, Haikal menyungging senyum angkuh di wajahnya, menatap remeh Galaksi dengan penampilan berantakan dan peluh yang membasahi seluruh tubuhnya. "Dimana Peter?"
"Peter ada di dalam. Nanti kita bertemu, tapi aku masih ada urusan dengan Sersan Galaksi Armawan ini."
"Apa?" ucap Gala mencoba menguasai dirinya, ia tak mau kalah dan menatap Haikal tajam. "Ini bagian dari rencana? Semacam jebakan? Kau bersekongkol dengan Ayah ku? Kaki tangannya?"
Haikal terkekeh. "Anggap saja jamuan selamat datang."
"Jadi kau sudah menemukan bukti yang di maksud dokter Faisal? Apa kau membawanya?"
Gala memicingkan mata. "Dokter Faisal? Jadi kalian yang mencelakai Beliau?"
"Kalian? Kalian siapa? Aku ... Aku yang mencelakainya. Aku juga yang melesatkan dua butir peluru ke kaki kirimu itu." Haikal semakin percaya diri.
Gala menatap Haikal tak percaya, bagaimana mungkin rekan satu tim sekaligus satu angkatannya di Akademi ternyata berada di pihak musuh.
"Pengkhianat." teriak Gala sebelum berlari menerjang Haikal dengan kepalan tangannya. Namun Haikal tak kalah gesit ia menghindar tepat waktu.
"Masih mau berduel dengan kondisi seperti ini? Kakak?" ejek Haikal.
"Keparat, bebaskan istriku." Gala kembali melayangkan pukulannya, kali ini tidak sepenuhnya gagal, ia berhasil menyerang pelipis kanan Haikal. Haikal tak mau kalah, pemuda itu juga melayangkan pukulan-pukulan terarah pada Gala, namun kemampuan bertarung satu lawan satu Gala tak bisa dibilang biasa, ia berhasil menghindar meski dengan tumpuan kuda-kuda yang tidak sempurna.
Haikal terus mencoba menargetkan kaki Gala yang terluka, namun polisi muda itu terlalu gesit dan menghindar dengan tepat, hingga ia berhasil memposisikan tubuh di belakang Haikal dan membanting lawan dengan posisi memutar sehingga Haikal jatuh tersungkur dengan punggung menyentuh lantai lebih dulu. Gala yang sudah kadung emosi, dengan cepat menaiki tubuh Haikal dan menarik leher hoodie orang itu kemudian melayangkan satu pukulan keras ke pelipisnya, darah segar sontak mengalir dari sudut bibirnya. "Apa untungnya?" geram Gala dengan tinju yang masih menggantung di udara.
Haikal yang terengah-engah di bawah kungkungan Galaksi tetap menyeringai seolah tak merasakan sakit. "Kau pilih Papi atau isterimu?" tanyanya.
Bukannya menjawab Gala malah melayangkan pukulan kedua ke pelipis Haikal, sepertinya tujuannya saat ini adalah merontokkan gigi orang itu. "Tidak usah bicara omong kosong, mending kau antarkan aku dimana Peter sekarang ... Kalau kau tak mau dan memilih berbaring disini juga tak masalah, aku mengenal setiap jengkal rumah ini."
"Kau memilih isterimu kan?" ucap Haikal begitu Gala berlalu meninggalkannya yang berusaha bangkit.
"Begitu juga dengan Papi, Papi memilih isterinya, Papi memilih Mami, karena Mami adalah hidupnya."
Gala menoleh dengan cepat. "Omong kosong apa itu? Mencoba mengecoh ku?" sinis Gala.
"Kakak bahkan kehilangan ikatan batin dengan adikmu sendiri, tidak bisa merasakan keberadaanku yang begitu dekat di samping Kakak selama ini." Haikal mencoba berdiri dengan bertumpu pada lututnya. "Kakak sudah menganggap Bima mati." lanjutnya. Tiba-tiba saja pria itu menangis, ada bingkai rasa sakit yang Gala lihat di wajahnya.
"Apa maksudmu?" tanya Gala tak mengerti.
"Aku Bimasakti Kak. Aku adikmu yang menghilang, aku adikmu yang tak pernah kau khawatirkan keberadaannya itu." airmata mengalir deras di pipi Haikal, ia menatap Gala dengan sendu dari tempatnya.
Gala tersenyum miring. "Trik sialan, bermimpilah. Kalau kau ingin mengelabuiku kau tidak akan berhasil. Adik ku sudah mati."
"Ya itulah yang kau tau, kau tak akan peduli dengan aku dan Papi yang melewati trauma dan rasa malu menghadapi kisah masa lalu yang kelam, aku harus mengganti identitas agar orang-orang tidak mencemooh ku sebagai putra seorang kriminal besar. Sementara kau? Kau malah menikahi putra pembunuh itu, dan bahkan membantunya untuk mengungkap kembali kasus kematian ayahnya dan mengorbankan ayahmu sendiri."
"Kau baru saja menkonfirmasi bahwa Jenderal Bumi benar membunuh Inspektur Evan." ujar Gala memprovokasi.
"Ya ya ... Sekalian ku buka saja, kenapa memangnya, Kakak percaya diri sekali akan memenangkan permainan ini?"
"Berhenti memanggilku kakak sialan." Gala kembali menyerang Haikal, dia tak mampu lagi membendung emosinya, berani-beraninya keparat itu mengaku sebagai adik yang sudah lama ia lupakan.
"Darah itu lebih kental dari air Sersan." ucap Haikal sebelum tertawa menang, saat dua orang anak buahnya meringkus Gala dan membuat pria itu tidak berkutik. "LEPASKAN AKU."
***
"GALAAA..." Peter histeris begitu melihat sosok yang di seret dengan tidak manusiawi dan di hempas begitu saja ke lantai. "Gala ... Gala." Peter sontak menangis meraih tubuh suaminya dan segera memeluk erat sosok yang sangat ia rindukan itu.
"Kak Pete." gumam Gala pelan, ia membalas pelukan Peter tak kalah eratnya, tangisan kedua insan itu pecah bersamaan.
Setelah melepas pelukannya, Gala menangkup wajah Peter, memperhatikan paras tampan yang tampak tak terawat itu dengan pilu, bibirnya kering dan pecah-pecah, tak ada lagi rambut rapi khas Peter seperti saat terakhir kali mereka bertemu. Ntah penderitaan apa yang sudah di lewati kekasihnya selama ia pergi. "Kakak sudah makan kak?"
Peter kembali menangis mendengar pertanyaan itu, ia membenamkan wajah di dada sang suami, untuk sesaat mereka lupa sedang berada di mana dan situasi seperti apa, yang mereka ingat mereka adalah dua hati yang sudah menahan rindu untuk waktu yang tidak sebentar. Bahkan Rey yang terduduk di belakang mereka hanya mampu mengusap bulir kristal yang ikut membasahi pipinya.
"Kamu nggak papa? Kenapa pakai baju rumah sakit?" tanya Peter dengan suara rendah.
Gala menggeleng sambil memamerkan senyum di wajahnya, tangannya sibuk membersihkan wajah Peter dengan lengan jaket yang ia kenakan. "Aku baik, maaf karena terlalu lama menjemputmu, Kak."
"Kita bukan menjemput, tapi menambah jumlah sandera." potong Rey dari arah belakang.
YOU ARE READING
A SECRET [POOHPAVEL]
Fanfiction"Berlututlah sebelum timah panas ini menembus kepalamu" ~Peter Jayden